Amr bin Al-Ash: Salah Seorang yang Pernah Didoakan Rasulullah SAW Agar Terkena Azab
Di antara orang-orang Quraisy, ada tiga tokoh mereka yang selalu menunjukkan perlawanan keras terhadap dakwah Rasulullah SAW dan menyiksa para sahabat beliau . Rasulullah SAW selalu berdoa dan memohon kepada Rabbnya agar menurunkan azab kepada mereka. Namun, saat beliau berdoa itu, tiba-tiba wahyu turun ke dalam kalbu beliau:
"Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah menerima tobat mereka, atau mengazabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang yang zalim." ( QS Ali Imran : 128)
Rasulullah SAW memahami bahwa maksud ayat itu merupakan perintah agar beliau menghentikan doa kebinasaan bagi mereka dan menyerahkan urusan mereka kepada Allah semata.
Mereka mungkin akan tetap dalam kesesatan, sehingga layak mendapatkan azab, atau mungkin juga bertaubat dan Allah menerima taubat mereka hingga akan memperoleh rahmat-Nya.
Muslim Utama
Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul "Rijalun haular Rasul" dan telah diterjemahkan Agus Suwandi menjadi "Kisah 60 Sahabat Nabi" menyebut Amr bin Al-Ash adalah salah satu dari ketiga orang tersebut. Allah memilihkan jalan bagi mereka untuk bertaubat dan menerima rahmat, serta memberikan petunjuk kepada mereka untuk menganut Islam.
Amr bin Al-Ash beralih menjadi seorang Muslim utama dan salah seorang panglima yang perkasa. Khalid mengatakan meskipun beberapa pendiriannya tidak dapat kita terima, perannya sebagai seorang sahabat mulia, yang telah mengerahkan jiwa raga, memberikan harta, berjuang dan berusaha, akan selalu membuka mata dan hati kita terhadap dirinya.
Di bumi Mesir sendiri, orang-orang selalu memandang Islam sebagai din yang lurus dan mulia. Mereka melihat Rasulullah SAW sebagai rahmat dan karunia, pendakwah kebenaran utama yang menyeru kepada Allah berdasarkan ilmu dan menginspirasikan banyak kebenaran serta ketakwaan dalam kehidupan.
Orang-orang yang beriman itu akan selalu merasakan asahan seorang lelaki yang oleh takdir dijadikan sebagai sebab untuk menghadiahkan Islam ke negeri Mesir dan menyerahkan Mesir ke pangkuan Islam. Betapa besar nilai hadiah dan jasa pemberinya. Lelaki yang dimaksud adalah Amr bin Al-Ash.
Para sejarawan menjuluki Amr dengan sebutan Penakluk Mesir. Hanya saja, Khalid Muhammad Khalid, mengatakan julukan ini tidak tepat dan bukan pada tempatnya.
"Mungkin julukan yang lebih tepat untuk Amr ialah Pembuka Mesir. Itu karena Islam membuka negeri itu tidak bisa dipahami sebagai penaklukan dalam persepsi masa modern ini, tetapi maksudnya tiada lain ialah membebaskannya dari cengkeraman dua kerajaan besar yang memperbudak dan menindas rakyatnya dengan kejam, yaitu Imperium Persia dan Romawi," ujar Khalid.
Mesir sendiri, ketika para perintis Islam memasuki wilayahnya, merupakan jajahan Romawi. Perjuangan penduduknya untuk melawan tidak membuahkan hasil apa-apa. Ketika dari tapal batas kerajaan-kerajaan itu bergema suara takbir dari pasukan orang beriman, “Allahu Akbar, Allahu Akbar", mereka pun berduyun-duyun menuju fajar yang baru terbit itu lalu memeluk agama Islam.
Mereka bebas dari kekejaman Kisra maupun Kaisar. "Dengan demikian, Amr bin Al-Ash bersama anak buahnya bukanlah menaklukkan Mesir. Mereka hanyalah merintis serta membuka jalan bagi Mesir agar dapat bersambung dengan kebenaran, terlindungi oleh keadilan, dan menemukan hakikat diri mereka dalam cahaya kalimat Allah dan prinsip-prinsip Islam," ujar Khalid lagi.
Amr bin Al-Ash sangat berharap dapat menghindarkan penduduk Mesir yang dikenal dengan suku Qibthi itu dari peperangan, agar pertempuran terbatas antara pasukannya dan tentara Romawi saja, yang telah menduduki negeri orang secara tidak sah dan mencuri harta penduduk dengan sewenang-wenang. Karena itulah, kita dapati ia berbicara kepada tokoh-tokoh Nasrani dan uskup-uskup besar mereka:
“Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad SAW membawa kebenaran dan menitahkan kebenaran itu. Beliau telah menunaikan tugas kerasulan itu dan kemudian wafat setelah meninggalkan jalan yang lurus dan terang benderang kepada kami. Di antara perintah yang disampaikan kepada kami ialah memberikan kemudahan bagi manusia.
Kami menyeru kalian kepada Islam. Barang siapa memenuhi seruan kami, ia termasuk golongan kami, memperoleh hak seperti hak-hak kami, dan memikul kewajiban seperti kewajiban-kewajiban kami. Namun, barang siapa yang tidak memenuhi seruan kami itu, kami tawarkan kepada mereka agar membayar jizyah, dan kami akan memberikan padanya keamanan serta perlindungan.
Nabi kami telah memberitakan bahwa Mesir akan menjadi tanggung jawab kami untuk membebaskannya dari penjajah, dan mewasiatkan kepada kami agar berlaku baik terhadap penduduknya. Beliau bersabda, 'Sepeninggalku nanti Mesir akan dibukakan untuk kalian. Perlakukanlah penduduk Qibthi itu dengan baik, karena mereka masih mempunyai ikatan dan hubungan kekeluargaan dengan kita.' Jika kalian memenuhi seruan kami ini, hubungan kita semakin kuat dan bertambah erat.”
Amr menyudahi ucapannya. Sebagian uskup dan pendeta menyerukan, “Sesungguhnya hubungan silaturahmi yang diwasiatkan Nabimu itu sebenarnya merupakan hubungan kekerabatan jauh yang tidak mungkin disambung kecuali oleh para nabi.”
Percakapan ini merupakan permulaan yang baik menuju saling pengertian yang diharapkan antara Amr dan orang-orang Qibthi penduduk Mesir, walau panglima-panglima Romawi berusaha untuk menggagalkannya.
Bukan yang Pertama
Amr bin Al-Ash tidaklah termasuk angkatan pertama yang masuk Islam. la baru masuk Islam bersama Khalid bin Al-Walid , tidak lama sebelum Mekkah dibebaskan. Agak berbeda memang, karena ia mengawali keislamannya di tangan Najasyi di Habasyah.
Hal itu terjadi karena Najasyi mengenal dan menaruh rasa hormat terhadap Amr yang sering bolak-balik ke Habasyah dan mempersembahkan barang-barang berharga sebagai hadiah bagi raja. Pada waktu kunjungannya yang terakhir ke negeri itu, muncul berita tentang seorang Rasul yang menyebarkan tauhid dan akhlak mulia di tanah Arab.
Raja Habasyah itu menanyakan kepada Amr mengapa ia tidak mau beriman dan mengikutinya, padahal orang itu benar-benar utusan Allah.Amr justru bertanya kepada Najasyi, “Benarkah begitu?”
“Benar, wahai Amr. Dengarkanlah kata-kataku, ikutilah ia. Karena, demi Allah, ia berada di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menentangnya," jawab Najasyi.
Amr pun bergegas mengarungi lautan untuk kembali ke kampung halamannya, lalu mengarahkan langkahnya menuju Madinah untuk menyerahkan diri kepada Allah Rabb semesta alam. Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid bin Al-Walid dan Utsman bin Thalhah, yang juga datang dari Mekkah dengan maksud hendak berbaiat kepada Rasulullah SAW.
Ketika Rasulullah SAW melihat ketiga orang itu datang, wajah beliau berseri- seri, lalu bersabda kepada para sahabatnya, “Mekkah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita.”
Khalid tampil lebih dahulu dan berbaiat, kemudian Amr maju dan berkata, “Wahai Rasulullah. Aku akan berbaiat kepadamu dengan syarat Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu."
Rasulullah SAW menjawab, “Wahai Amr, berbaiatlah, karena Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya."
Amr berbaiat dan sejak itu ia mendedikasikan kecerdikan dan keberaniannya kepada agamanya yang baru.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Amr sedang berada di Oman menjadi gubernurnya. Pada masa pemerintah Umar, jasa-jasanya dapat disaksikan dalam peperangan di Syria, kemudian dalam membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi.
Khalid Muhammad Khalid mengatakan seandainya saja Amr bin Al-Ash dapat menahan ambisi pribadinya untuk dapat berkuasa, tentulah ia akan dapat mengatasi dengan mudah sebagian kesulitan yang dialaminya disebabkan ambisinya ini. Tetapi, seberapa besar ambisinya ingin berkuasa, itu hanyalah merupakan gambaran lahir dari tabiat batinnya yang bergejolak dan dipenuhi bakat.
Bahkan, postur tubuh, cara berjalan dan berbicaranya memang memberi
isyarat bahwa ia diciptakan untuk menjadi pemimpin.
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab melihatnya datang. Ia tersenyum melihat caranya berjalan itu, lalu berkata, “Abu Abdillah tidak pantas berjalan di muka bumi kecuali sebagai amir.”
Sungguh, sebenarnya Amr atau Abu Abdillah tidak mengurangi hak dirinya ini. Bahkan ketika banyak bahaya besar datang mengancam kaum muslimin, Amr menghadapi peristiwa-peristiwa itu dengan cara seorang pemimpian yang cerdik dan licin yang memiliki kemampuan tinggi, sehingga ia tetap percaya diri dan yakin dengan keunggulannya.
Amr juga memiliki sifat amanah yang menyebabkan Umar bin Al-Khattab, seorang yang terkenal sangat teliti dalam memilih gubernur-gubernurnya, menetapkan sebagai gubernur di Palestina dan Yordania, kemudian di Mesir selama hidup Amirul Mukminin Umar.
Bahkan, ketika Amirul Mukminin mengetahui bahwa Amr dalam kesenangan hidup telah melampaui batas yang semestinya dijalani oleh para pembesarnya dalam pandangan Umar, di mana taraf hidup mereka harusnya setingkat atau hampir setingkat dengan taraf hidup rakyat biasa, khalifah tidak memecatnya.
Umar hanya mengirimkan Muhammad bin Maslamah dan memerintahkannya agar membagi dua semua harta kekayaan Amr, lalu meninggalkan separuh untuknya, sedangkan separuh lagi harus dibawa
ke Madinah untuk Baitul Mal.
Seandainya Amirul Mukminin mengetahui bahwa ambisi Amr terhadap kekuasaan sampai menyebabkannya lalai terhadap tanggung jawabnya, mestinya Umar yang selalu waspada itu tidak akan membiarkannya memegang kekuasaan walau sekejap pun.
(mhy) Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment