Haji Perspektif al-Ghazali
Al-Ghazali mengamalkan haji yang tidak sekadar perjalanan.
MUHYIDDIN
Dalam dunia tasawuf, ketokohan Imam al-Ghazali sudah begitu masyhur. Ulama dari Tus, Iran, itu dikenal dengan julukan “Pembela Islam”, Hujjatul Islam. Di sepanjang hayatnya, sosok yang wafat pada tahun 1111 M itu telah menghasilkan banyak karya. Di samping magnum opus Ihya Ulum ad-Din, ada pula Asraf al-Hajj yang merangkum sudut pandangnya mengenai ibadah haji.
Melalui bukunya itu, Imam al-Ghazali membahas secara perinci pemaknaan atas rukun Islam kelima itu. Menurut dia, haji sesungguhnya memiliki sisi spiritual yang lebih dalam dari apa yang tampak atau dikerjakan kebanyakan umat Islam. Ia berpandangan, ziarah ke Tanah Suci semestinya dilaksanakan dengan penuh penghayatan. Hal itu supaya jamaah tidak terjebak pada aspek-aspek lahiriah semata.
Pemilik nama lengkap Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Tusi asy-Syafii al-Ghazali itu mengamalkan haji yang tidak sekadar perjalanan. Sesudah meletakkan jabatan rektor Universitas Nizhamiyah Baghdad, ia berkelana ke berbagai kawasan Islam hingga akhirnya tiba di Makkah al-Mukarramah.
Tatkala berada di Masjidil Haram, ia merasakan pencerahan batin. Sepulangnya dari sana, ahli tasawuf itu menyebarluaskan gagasan kemajuan yang disebutnya Gerakan Islah ke tengah umat.
Buah pena al-Ghazali yakni kitab Asraf al-Haj kini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Edisi bahasa Indonesia tampil dalam buku berjudul Rahasia Haji dan Umrah, yang diluncurkan Penerbit Turos. Versi ini sudah melalui telaah atau verifikasi (tahqiq) yang dilakukan Musa Muhammad Ali.
Dalam karyanya itu, al-Ghazali menerangkan, ritual ibadah haji sudah terjadi sejak zaman Nabi Ibrahim AS. Bergenerasi-generasi kemudian, syariat haji juga dihidupkan dalam risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah SAW dalam sebuah hadis menjelaskan, ziarah ke Tanah Suci itu menjadi salah satu rukun Islam. Kaum Muslimin yang mampu dianjurkan untuk bersegera menunaikan ibadah tersebut, setidaknya sekali seumur hidup.
Haji merupakan salah satu fondasi agama Islam. Inilah ibadah seumur hidup yang sekaligus menjadi simbol kesempurnaan agama seseorang.
Seperti kitab-kitab klasik pada umumnya, buku karangan sang Hujjatul Islam ini diawali dengan bagian mukadimah. Dalam pendahuluannya itu, al-Ghazali menjelaskan bahwa sesungguhnya haji merupakan salah satu fondasi agama Islam. Inilah ibadah seumur hidup yang sekaligus menjadi simbol kesempurnaan agama seseorang.
Menurut dia, keutamaan ibadah haji sangatlah mulia. Tanpa melaksakannya, kesempurnaan agama akan hilang. Bahkan, dikutipnya sebuah hadis riwayat Tirmidzi. Isinya menyatakan, seorang Muslim yang meninggalkan haji dalam keadaan mampu melakukannya disejajarkan dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Sebab, mereka sama-sama tersesat. Rasululllah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mati dan belum sempat berhaji, padahal dia mampu, maka hendaklah dia mati sebagai Yahudi atau Nasrani.”
Pembahasan utama dalam buku ini terbagi menjadi tiga bagian. Masing-masing uraian selalu bersandar pada nash Alquran maupun hadis Nabi SAW. Pada bagian pertama, al-Ghazali menerangkan tentang keutamaan haji, Kota Makkah al-Mukarramah, dan Ka’bah. Di samping itu, ia juga memaparkan perihal himpunan rukun dan syarat haji.
Pada bagian awal ini, sang penulis mengungkapkan beberapa hal yang makruh dilakukan jamaah haji. Misalnya, menetap atau tinggal di Kota Makkah. Menurut al-Ghazali, para ulama menghukumi makruh hal itu karena tiga alasan yang mendasar.
Beberapa hal yang makruh dilakukan jamaah haji. Misalnya, menetap atau tinggal di Kota Makkah. Para ulama menghukumi makruh hal itu karena tiga alasan yang mendasar
Alasan pertama, jamaah dikhawatirkan merasa bosan atau nyaman dengan Baitullah. Perasaan ini ditakutkan akan berdampak pada hilangnya bentuk penghormatan terhadap Ka’bah atau Masjidil Haram. Karena itu, sebagai contoh, Umar bin Khattab mendesak jamaah haji agar segera kembali pulang ke negeri masing-masing usai lewat musim haji.
Alasan kedua, jamaah supaya terhindar dari tindakan-tindakan menyalahgunakan kerinduan terhadap Ka’bah. Sebagian pihak ada yang mengatakan, “Berada di suatu negeri dengan hati yang selalu merindukan Ka’bah lebih baik daripada berada dan menetap di Makkah, tetapi hatinya merindukan tempat lain.” Kata rindu itu sendiri mengandaikan adanya jarak. Dan, jarak antara negeri asal dan Tanah Haram sudah cukup ideal untuk menjaga kuatnya kerinduan itu.
Adapun alasan yang ketiga, jamaah ditakutkan akan berbuat kesalahan atau dosa kalau berlama-lama di Tanah Suci. Sebab, perbuatan tersebut dilarang. Berbuat fasik di Tanah Suci dapat menimbulkan kemurkaan Allah. Ingatlah bagaimana kisah tentara gajah yang digerakkan Abrahah, sebagaimana tercatat dalam Alquran surah al-Fiil.
Pada bagian kedua buku Asraf al-Haj, al-Ghazali berfokus pada pembahasan perihal amalan lahiriah haji. Bagian ini terdiri atas 10 himpunan pasal-pasal yang secara mendalam mengulas tata cara ibadah haji dan umrah. Itu dimulai dari persiapan keberangkatan hingga menjelang kepulangan dari Makkah menuju kampung halaman.
Pada pembahasan pertama, misalnya, al-Ghazali membicarakan hak-hak yang harus diperhatikan setiap jamaah. Ketika akan berangkat, ada sejumlah adab yang mesti dicamkan mereka mulai sejak keluar rumah. Penulis kitab ini mencatat sekurang-kurangnya delapan hal yang perlu diamalkan oleh mereka, baik sebelum, selama, maupun sesudah dari Tanah Suci.
Adapun bagian ketiga dalam buku ini merupakan pokok pembahasan. Dalam bagian inilah, al-Ghazali mengungkapkan perspektifnya mengenai rahasia-rahasia ibadah haji dan umrah. Penjelasannya dimulai dengan pemaparan ihwal 10 etika khusus dalam ritual tersebut.
Di antara amalan-amalan batin selama berhaji adalah mengikhlaskan niat. Ini aspek yang sangat penting. Tidak ada gunanya perjalanan jauh dari negeri asal ke Tanah Suci bila niat yang dibangun tidak tulus demi meraih ridha Allah SWT (lillahi ta’ala).
Maka dari itu, al-Ghazali mengajak pembaca untuk banyak-banyak merenung dan introspeksi diri. Jangan sampai lelah dan ikhtiar menjadi sia-sia belaka karena justru mendatangkan murka, alih-alih pahala dari-Nya.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa hal pertama yang perlu diperhatikan dalam ibadah haji adalah “pemahaman”. Maksudnya, memahami kedudukan haji dalam Islam.
Kemudian, seorang jamaah hendaknya merindukan pelaksanaan ibadah tersebut. Ia membulatkan tekad untuk menunaikannya dengan amat baik atau sempurna, serta menghapus hal-hal yang dapat menghambat kesungguhan ibadah.
Selanjutnya adalah aspek-aspek yang tampak praktis. Misalnya, membeli kain ihram, menyiapkan pembekalan, membayar biaya berangkat haji, dan mengikuti bimbingan manasik. Mulai dari keberangkatan, seorang jamaah sudah mesti memahami kepergiannya semata-mata untuk beribadah kepada Allah. Bukan jalan-jalan, apatah sekadar mencari popularitas di tengah manusia.
Sampai di titik mikat, ia mengenakan kain ihram. Lantas, ucapkanlah kalimat talbiyah. Saat memasuki Makkah, lakukan amalan-amalan manasik mulai dari awal hingga akhir.
Buku ini, di satu sisi, dapat menjadi panduan bagi mereka yang akan atau sedang berhaji. Di dalamnya, terdapat tuntunan fikih ibadah yang cukup komplet.
Sepulangnya dari Baitullah, insya Allah, hatinya dapat bersih kembali. Jiwanya jernih lagi.
Di sisi lain, buku ini bagaikan kawan baik yang mengajak pembaca untuk banyak-banyak bermuhasabah. Khususnya bagi mereka yang merencanakan keberangkatan ke Tanah Suci dalam waktu dekat. Penjelasan dari al-Ghazali dapat mengetuk pintu hati untuk selalu beribadah secara ikhlas, dan menjauhi riya.
Al-Ghazali mengatakan, seseorang yang sedang melaksanakan haji bisa mengerti rahasia-rahasia yang tersebunyi di setiap manasik yang dijalaninya. Maka sepulangnya dari Baitullah, insya Allah, hatinya dapat bersih kembali. Jiwanya jernih lagi. Akalnya tajam untuk melanjutkan rihlah, memperdalam ilmu-ilmu agama.
Tidak adanya pemahaman yang mendalam terhadap ibadah haji adalah ketidakmengertian atas rahasia-rahasia di balik ibadah yang dikerjakan. Namun, dengan memahami pemikiran al-Ghazali, kita akan mengetahui bahwa jiwa akan merasa takjub dalam melakukan kegiatan-kegiatan haji.
Buku ini menjadi istimewa karena di dalamnya banyak menyingkap apa yang umum dan khusus dari amalan-amalan lahiriah haji dan umrah. Dengan pembahasan yang mendalam sekaligus mudah dicerna, buku ini layak menjadi referensi bagi kaum Muslimin, baik itu yang belum ataupun sudah menjadi tamu Allah di Baitullah.
DATA BUKU
Judul: Rahasia Haji dan Umrah (terjemahan atas Asraf al-Haj)
Penulis: Imam al-Ghazali
Penerbit: Turos Pustaka
Tebal: 296 halaman
No comments:
Post a Comment