Kisah Rumah Paman Nabi Abbas bin Abdul Muthalib Digusur untuk Perluasan Masjid Nabawi
Masjid Nabawi di Madinah kian hari kian menjadi kecil karena bilangan kaum muslimin dari hari ke hari makin bertambah dengan pesatnya. Khalifah Umar bin Khattab berpikir akan memperluasnya dengan membeli rumah-rumah yang ada di sekitar masjid itu. Semua bangunan yang ada disekitarnya sudah dibeli kecuali rumah Abbas bin Abdul Muthalib .
Khalifah Umar datang menemui paman Nabi Muhammad SAW itu seraya berkata, "Ya Abai Fadhal, engkau lihat, masjid sudah sempit sekali karena banyaknya orang sholat di dalamnya. Aku sudah memerintahkan untuk membeli tanah dan bangunan yang ada di sekitarnya untuk memperbesar bangunan masjid, kecuali rumahmu dan kamar-kamar Ummahatul Mu'minin yang belum. Kalau kamar-kamar Ummuhatul Mu'minin rasanya tidak mungkin kami membeli dan membongkarnya, tapi rumahmu jual-lah kepada kami berapa pun yang engkau kehendaki dari Baitulmal supaya bisa meluaskan bangunan masjid."
Abbas menjawab, "Aku tidak mau."
Umar berkata; "Pilihlah satu di antara tiga: engkau menjual berapa pun yang engkau kehendaki dari Baitulmal, atau aku akan menggantinya dengan bangunan lain yang akan aku bangunkan untukmu dari Baitulmal di daerah manapun di Madinah yang engkau kehendaki, atau engkau berikan sebagai sedekah kepada muslimin untuk meluaskan masjid mereka."
Abbas berkeras, "Aku tidak mau terima semaunya."
Umar berharap, "Angkatlah seorang penengah antara kami berdua kalau engkau mau.”
Abbas menjawab, "Aku setuju mengangkat Ubai bin Ka'ab."
Keduanya pergi menemui Ubai bin Ka'ab, lalu kepadanya diceritakan segala sesuatunya dan dimintai pendapatnya.
Ubai berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Allah Subhanahu wata'ala pernah mewahyukan kepada Nabi Daud , 'Bangunlah untuk-Ku sebuah rumah tempat orang-orang menyebut nama-Ku di sana.' Nabi Daud lalu merencanakan pembangunannya di Baitul Maqdis.
Dalam perencanaan itu mengenai rumah seorang Bani Israel. Nabi Daud menawarkan kepada orang itu untuk menjual rumahnya, tapi ia menolak. Tiba-tiba terpikir dalam benak Nabi Daud untuk mengambilnya dengan paksa.
Allah Subhanahu wata'ala lalu mewahyukan kepadanya, 'Hai Daud, aku menyuruhmu membangun untuk-Ku sebuah rumah tempat orang menyebut nama-Ku pemaksaan itu bukan watak-Ku. Karena itu, sebagai sanksinya, kau tidak usah membangunnya!'
Nabi Daud menjawab, 'Ya Allah, aku lakukan pada anakku!'
Allah berfirman lagi, 'Siapa anakmu?""
Khafilah Umar tidak bisa lagi menahan marahnya, lalu ia menyambar baju Ubai bin Ka'ab dan menggiringnya ke masjid seraya berkata, "Aku mengharapkan dukunganmu, malah kau menyudutkan aku. Kau harus membuktikan keteranganmu di hadapan kaum muslimin!"
la membawanya ke tengah-tengah halaqah yang diselenggarakan sahabat Rasulullah di masjid Nabawi. Di sana hadir antara lain terdapat Abu Dzar radhiallahu 'anhu .
Umar lalu berkata kepada para hadirin, "Saya mengharap dengan nama Allah, adakah di antara kalian yang mendengarkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berbicara tentang Baitul Maqdis, ketika Allah memerintahkan Nabi Daud untuk mendirikan rumah-Nya tempat orang menyebut-nyebut namaNya?"
Abu Dzar radhiallahu 'anhu menjawab' "Ya, saya mendengar!" Disambut oleh yang lain, "Ya, saya juga mendengar!" Dari sudut sana ada pula yang menyambung, "Saya juga mendengar!"
Khalifah Umar radhiallahu 'anhu lalu berkata kepada Abbas radhiallahu 'anhu, "pergilah! Aku tidak akan menuntutmu membongkar rumahmu."
Abbas radhiallahu 'anhu berkata, "Kalau demikian sikapmu maka aku menyatakan bahwa rumahku kusedekahkan untuk kepentingan kaum muslimin. Silahkan perluas masjid mereka. Akan tetapi, kalau kau akan mengambilnya dengan tekanan dan pemaksaan, aku tidak akan mengalah."
Memang Khalifah Umar radhiallahu 'anhu bertindak setengah memaksa karena proyek itu menyangkut kepentingan kaum muslimin dan dianggap tidak bertentangan dengan hukum Allah.
Akan tetapi, apabila ada nash jelas maka tidak berlaku ijtihadnya, la harus tunduk dan menerima baik syariat Allah dan RasulNya. Sesudah Abbas melihat ketundukan Khalifah Umar kepada hukum dan perundang-undangan, ia tidak lagi mengandalkan kekuasaannya selaku kepala pemerintahan atau akan merampas haknya yang dijamin oleh undang-undang dan dilindungi oleh Islam, tetapi ia benar-benar berjuang demi kesehjahteraan kaum muslimin, maka ia pun memutuskan untuk menyerahkan rumahnya itu sebagai hibah dan sedekah untuk meluaskan masjid kaum muslimin.
(mhy) Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment