Al-Qur'an Dokumen Rahasia yang Mengandung Ajaran Sufi
Nawab-Zada Sayyid Idries Shah al-Hasyimi atau Idries Shah mengatakan bagi para sufi klasik, Al-Qur'an merupakan dokumen rahasia yang mengandung ajaran-ajaran sufi.
Dalam bukunya "The Sufis" dan diterjemahkan oleh M Hidayatullah menjadi "Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi" (Risalah Gusti, 2000), Idries Shah menjelaskan bahwa para teolog cenderung beranggapan bahwa interpretasi Al-Qur'an hanya bisa diterima jika sejalan dengan cara agama konvensional.
Sementara para ahli sejarah cenderung mencari sastra atau sumber-sumber agama zaman dulu dalam Al-Qur'an; selain itu juga sebagai bukti peristiwa-peristiwa kontemporer yang direfleksikan dalam tiap-tiap halaman.
Bagi sufi, kata Idries Shah, Al-Qur'an merupakan suatu dokumen yang disampaikan melalui tradisi riwayat, ayat yang disampaikan memiliki makna yang sesuai dengan kapasitas pemahaman pembacanya.
Sikap terhadap Al-Qur'an seperti inilah yang memungkinkan orang dapat memahaminya, baik yang berlatar belakang Kristen, Pagan atau Yahudi --suatu pengertian yang tidak bisa diterima kalangan ortodoks. Oleh sebab itu, Al-Qur'an pada dasarnya adalah dokumen yang memiliki kandungan psikologis.
Idries Shah adalah Syaikh Besar (Syaikh al-Kabir) Sufi dan anak sulung Nawab asal Sardana, dekat Delhi di India. Keluarganya berasal dari keluarga Kerajaan Pagham di Hindu-Kush, yang nenek moyangnya memerintah sejak 1221.
Idries Shah dilahirkan di Simla-Himalaya dan menetap di London. Ia mengarang beberapa buku tentang mistik-tasawuf, di antaranya Mahkota Sufi (The Sufis) dan Jalan Sufi (The Way of the Sufi), kumpulan cerita sufi, serta karya-karya lainnya.
Menurut Idries Shah, Surat al-Ikhlas h adalah contoh terbaik tentang kapasitas sintesis kitab ini:
Katakanlah, hai Rasul, kepada orang-orang itu,
"Allah itu Esa! Allah Mahakekal!
Tidak beranak dan tak diperanakkan,
dan tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya."
Bagi kalangan Muslim yang saleh, kata Idries Shah, ayat ini merupakan pernyataan dasar keimanan. Allah adalah Tuhan dan tiada yang menyerupai-Nya, Dia kekal abadi.
Para komentator kaum Kristiani beranggapan bahwa ayat tersebut menjadi serangan langsung atas doktrin ketuhanan agama Kristen, sehingga mereka menanggapi ayat tersebut dengan sangat sengit. "Ayat tersebut merupakan salah satu yang paling banyak dikutip oleh jutaan kaum Muslimin dalam bacaan sholat tiap hari," tulis Idries Shah.
Berdasarkan dari sudut pandang ini, ayat tersebut cenderung menggambarkan suatu garis pembatas antara orang-orang beriman dengan orang kafir.
Kaum muslim bisa menggunakan ayat tersebut untuk menentang kaum Kristiani yang dianggap telah menyelewengkan prinsip monotheisme.
Sedangkan kaum Kristiani beranggapan bahwa ayat tersebut menentang konsep Trinitas (keyakinan utamanya). Situasi yang demikian ini bagaimanapun hanya terjadi di suatu iklim psikologis tertentu --yakni suatu perbedaan antara dua kelompok yang selama Abad Pertengahan berupaya memperoleh kekuasaan dengan cara-cara pada waktu itu.
Bila kita menerima asumsi-asumsi ini, maka kita terlibat dalam konflik itu, dan menurut Sufi, kata Idries Shah, tidak ada harapan bagi orang-orang yang memilih suatu konflik dalam keadaan psikologis ini.
Interpretasi terhadap Surat al-Ikhlash tersebut tidak pernah diterima oleh para sufi. Di samping itu, sufi merasa mampu menafsirkan arti sebenarnya dari ayat itu, oleh karena itu kita menemukan suatu jembatan antara pemikiran biasa dan juga suatu maksud yang tepat dari ayat itu dengan merujuk pada pendapat al-Ghazali yang Agung.
Al-Ghazali menyatakan bahwa seperti semua surat dalam kitab Al-Qur'an, kitab ini tidak bisa direduksi seperti kitab-kitab yang lain dengan asumsi bahwa ia mempunyai makna tunggal dan sederhana bagi pemikir biasa. Keesaan itu tidak mempunyai makna sederhana, tunggal dan semata-mata superfisial. Dampaknya bergantung pada pemahaman dan pengalamannya, sebagaimana dampak ritme puisi.
Ia merujuk pada konteks ayat ketika ia diwahyukan. Ayat itu merupakan jawaban yang ditujukan kepada orang-orang Arab Badui yang mendatangi Nabi Muhammad SAW dengan maksud ingin bertanya, "Apakah boleh kita membandingkan Allah?" Bukan ditujukan semata kepada orang Kristiani ataupun orang Islam.
Jawabannya adalah bahwa Allah tidak boleh dibandingkan dengan segala sesuatu yang ada di dunia. Tidak akan ada analogi yang memungkinkan antara Wujud ini (Allah adalah tempat memuja) dengan apa pun yang telah dikenal manusia. Kata "Allah" digunakan untuk mendenotasikan suatu obyektivitas terakhir, keunikan, sesuatu yang tidak bisa diukur dengan jumlah, waktu dan segala sesuatu yang banyak dikenal oleh manusia.
Menurut Idries Shah, pada tataran inilah, dan bukan pada tataran pembaiatan ataupun mistik, dasar umum bagi muslim maupun Kristen diletakkan. "Dengan memahami ini, kita bisa jauh lebih mudah memahami bagaimana Sufisme menjembatani kesenjangan antara penafsiran resmi dari kaum Kristiani dengan orang Islam serta tuntutan pemikiran manusia," ujarnya.
Pengertian tentang makna "Allah" ini disepadankan dengan ritme puisi asli, yang bisa diuraikan dengan lebih mudah melalui rekonstruksi berikut ini:
Wahai Utusan ...
Katakanlah: "Dia, Allah, adalah Esa!
Tiada bermula tiada pula berakhir
Tiada berayah, tiada berputra --
Dan tiada sesuatu pun menyerupai-Nya!"
Menurut Idries Shah, ayat ini mengandung dorongan dan klaim terhadap kesatuan esensial dari transmisi ketuhanan yang diacu sebagai "doktrin rahasia".
Kecuali kalau penafsiran mengenai Al-Qur'an ini diuraikan secara tepat, kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang pertentangan yang sempit antara gereja Kristiani dan Islam formal hanya menjadi kerangka referensi sarjana. Ini mungkin berkembang sampai terjemahan-terjemahan berikut ini, kata Idries Shah, suatu terjemahan yang kehilangan konotasi kesufian.
"Allah adalah Tuhan Yang Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada yang menyamai-Nya." (QS al-Ikhlas: 1-4).
(mhy Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment