Ketika Pendiri Agama Sikh Akui Berutang Budi pada Sufisme
Nawab-Zada Sayyid Idries Shah al-Hasyimi atau Idries Shah mengatakan menurut sebuah fakta sejarah, agama Sikh didirikan oleh Guru Nanak, seorang sufi Hindu, yang secara terus terang mengakui berutang budi pada sufisme. Pengakuannya itu terungkap dalam buku Cultural History:
"Sebenarnya ia telah mendalami tradisi pengetahuan sufi, dan ternyata kita sangat sulit menemukan bahwa ia telah mengambil (ajaran-ajaran) dari kitab-kitab Hindu, karena ia jarang merujuk kitab-kitab Hindu itu. Maka orang beranggapan bahwa Nanak sebenarnya kurang mampu memahami khazanah Veda dan Puranik itu."
"Nama Sikh artinya "pencari", sebuah metafor yang menunjuk sang pengembara sufi," tutur Idries Shah dalam bukunya berjudul "The Sufis".
Menurut Idries Syah, Maharshi Devendranath Tagore (1815-1905) --ayah Rabindranath Tagore-- telah meluangkan waktu selama 2 tahun di Pegunungan Himalaya. Selama itu ia justru bukan mempelajari kitab-kitab Hindu warisan para leluhurnya, namun mempelajari sebuah syair dari seorang guru sufi, yaitu Hafizh, sehingga menurut seorang cendekiawan Hindu lainnya, yaitu Profesor Hanumantha Rao, setelah mendalami syair tersebut ia mencapai suatu pencerahan batin.
Sedangkan para guru sufi generasi berikutnya di India, banyak dari mereka yang mengikuti pendahulunya dari Turki, Afghan dan Persia, yang memiliki pengaruh kuat.
Salah satu konsekuensi dari kedatangan mereka di wilayah tersebut adalah orang-orang Hindu mengadopsi sebuah terminologi dari bahasa Arab untuk seorang sufi pengabdi--Fakir, untuk diterapkan atas diri mereka sendiri.
Begitu banyak buku mencatat tentang perilaku mereka yang aneh dan menakjubkan, dan sampai saat ini pun berjuta juta orang dari setiap aliran kepercayaan berkumpul melakukan "pemujaan" dan meminta bantuan mereka sebagai orang suci.
Muinuddin Chisyti, pendiri Tarekat Chisytiyah di India, diutus (gurunya) ke Ajmer pada pertengahan abad ke-12 untuk menyampaikan ajarannya kepada orang-orang Hindu. Namun Raja Prithvi Raj tidak menyukai kedatangannya.
Konon Raja kemudian menghimpun prajurit dan para tukang sihir untuk menghalanginya memasuki kota. Para prajurit itu tiba-tiba buta ketika orang suci itu (Muinuddin), dengan mencontoh suatu tindakan Nabi, melemparkan segenggam kerikil ke arah mereka.
Menurut riwayat, 300 penyihir pengikut Yogi dan Pandit itu tidak dapat membuka mulut ketika mereka beradu pandang sekilas dengan Muinuddin dan akhirnya mereka menjadi pengikutnya. Namun menurut legenda yang paling populer, sang penyihir Hindu yang kondang, Jaypal Yogi telah mengadu kesaktian dengan sang Sufi Fakir (Muinuddin).
Menurut legenda Chisyti tersebut, Jaypal bersama ribuan pengikut Yoginya membendung sungai-sungai yang menuju Danau Anasagar. Namun semua aliran sungai dan sumber air di wilayah itu menjadi kering hanya karena salah seorang pengikut baru Muinuddin mengambil seember air dari danau tersebut atas petunjuk-petunjuknya.
Setelah itu Jaypal memerintahkan ratusan makhluk jadi-jadian, termasuk singa dan harimau, untuk menyerang orang suci itu beserta para pengikutnya.
Mereka semua binasa saat menyentuh lingkaran ajaib yang telah dibuat sebelumnya oleh Muinuddin sebagai perlindungan.
Setelah Jaypal mengulangi beberapa kali tindakan serupa (dan selalu gagal), ia menyerah dan menjadi salah seorang murid Chisyti yang sangat terkenal dengan julukan Abdullah sang (Penjelajah) Belantara, karena selalu mengembara sampai tiba di kuil agung dekat Ajmer.
Kesamaan Esensial
Menurut Idries Shah, ada tiga jenis hubungan yang sangat jelas antara para sufi dan Hindu atau Sikh. Kesalahpahaman terhadap tiga jenis hubungan tersebut menjadi penyebab utama timbulnya kerancuan.
Menurut konteks sejarah dan budaya maupun metafisik, semua aliran mistik tersebut mempunyai pengertian yang sama tentang peran mistisisme dalam pengembangan spiritualitas manusia.
Jadi, mereka pada dasarnya mempunyai kesamaan esensial. Hanya saja ada pergeseran-pergeseran sangat jelas dalam ritus-ritus yang kaku dan hampa, dogma yang memfosil dan kultus individu.
Idries Shah mengatakan orang yang berpandangan sempit, terutama ahli hukum Islam yang hanya mengikuti langkah sufi secara dangkal akan senantiasa bertentangan dengan seterunya, yaitu pendeta Hindu pertapa yang biasa menjalankan sebuah tradisi yang merosot.
Menurut Idries Shah, karena pergeseran tradisi itu tersebar luas dan sangat mencolok, maka para pengamat kerapkali menganggap bahwa semua itu merupakan representasi yang murni dari aliran mistik India.
Asketisme dan perilaku-perilaku mereka yang dikaji para pengamat itu senantiasa jauh lebih menarik perhatian daripada mazhab-mazhab mistik itu sendiri.
Mereka cenderung cepat populer, cenderung menjadi bahan dokumentasi para fotografer, merekrut para pengikut dari luar wilayah, berusaha menyebarkan ajarannya seluas mungkin.
"Banyak kultus-kultus khas Timur di dunia Barat ternyata tidak lebih dari derivasi-derivasi dari tradisi-tradisi liar yang merupakan suatu corak dangkal dari ajarannya yang sejati," tutur Idries Shah.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment