Kisah Rasulullah SAW: Ditawari Anak Kunci Isi Dunia dan Hidup Kekal Jelang Sakaratul Maut
Kisah Rasulullah SAW ditawari anak kunci isi dunia dan hidup kekal atau menghadap Tuhan dan surga, terjadi beberapa hari sebelum Rasulullah wafat. Ini terjadi setelah Rasul memilih kembali menghadap Tuhan dan surga .
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" meriwayatkan pada malam pertama saat Rasulullah SAW merasa sakit beliau tak dapat tidur. Beliau berniat keluar dari rumah pada malam musim panas yang disertai embusan angin di sekitar kota Madinah.
Ketika Nabi keluar, hanya ditemani oleh pembantunya, Abu Muwayhiba. Malam itu, beliau pergi ke pemakaman Baqi, pekuburan Muslim di dekat Masjid Nabawi, Madinah. Di sini banyak terdapat keluarga serta sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikuburkan.
Sesampainya di pekuburan itu beliau berbicara kepada penghuni kubur. "Salam sejahtera bagimu, wahai penghuni kubur! Semoga kamu selamat akan apa yang terjadi atas dirimu, seperti atas diri orang lain. Fitnah telah datang seperti malam gelap-gulita, yang kemudian menyusul yang pertama, dan yang kemudian lebih jahat dari yang pertama."
Menurut Haekal, Abu Muwayhiba juga bercerita, bahwa ketika pertama kali sampai di Baqi', Nabi berkata kepadanya: "Aku mendapat perintah memintakan ampun untuk penghuni Baqi, ini. Baiklah engkau berangkat bersama aku!"
Setelah memintakan ampun dan tiba saatnya akan kembali, ia menghampiri Abu Muwayhiba seraya katanya: "Abu Muwayhiba, aku telah diberi anak kunci isi dunia ini serta kekekalan hidup di dalamnya, sesudah itu surga. Aku disuruh memilih ini atau bertemu dengan Tuhan dan surga."
Kata Abu Muwayhiba: "Demi ayah bundaku! Ambil sajalah kunci isi dunia ini dan hidup kekal di dalamnya, kemudian surga."
"Tidak, Abu Muwayhiba," jawab Rasulullah SAW. "Aku memilih kembali menghadap Tuhan dan surga."
Abu Muwayhiba bercerita apa yang telah dilihat dan apa yang telah didengarnya; sebab Nabi mulai menderita sakit ialah keesokan harinya setelah malam itu ia pergi ke Baqi'.
A. Said dalam bukunya berjudul "Riwayat Nabi Muhammad SAW" juga mengisahkan hal serupa. Setelah peristiwa di Baqi itu, sakit Rasulullah semakin parah. Pada saat itu Rasulullah juga mendengar ekspedisi yang dipimpin Usamah bin Zaid ditunda.
Haekal mengatakan hadis yang dibawa melalui Abu Muwayhiba ini oleh beberapa ahli sejarah diterima dengan agak sangsi. Disebutkan bahwa bukan karena sakit Nabi Muhammad itu saja yang membuat pasukan tidak jadi bergerak ke Palestina, tetapi karena banyaknya orang yang menggerutu, yang disebabkan oleh penunjukan Usamah dalam usia semuda itu sebagai pemimpin pasukan yang terdiri dari orang-orang penting dalam kalangan Anshar dan Muhajirin yang mula-mula.
Kepergian Nabi ke Baqi dan memintakan ampunan buat penghuni kubur, diterjemahkan Haekal karena adanya perasaan yang kuat akan dekatnya waktu, yaitu waktu menghadap Tuhan.
"Ilmu pengetahuan masa kita sekarang ini pun tidak menolak adanya spiritisma sebagai salah satu gejala psychis," ujar Haekal.
Perasaan yang kuat akan dekatnya ajal itu sudah banyak dialami orang, sehingga siapa saja tidak sedikit orang yang dapat menceritakan apa yang diketahuinya tentang peristiwa-peristiwa itu. Juga adanya hubungan antara yang hidup dengan yang mati, antara kesatuan masa lampau dengan masa datang, kesatuan yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, dewasa ini sudah pula dapat ditentukan, meskipun --menurut kodrat bentuk kita-- masih terbatas sekali kita akan dapat mengungkapkan keadaan sebenarnya.
Haekal mengatakan kalau sudah itu yang dapat kita lihat sekarang dan sudah diakui oleh ilmu pengetahuan, tidak ada alasan kita akan menolak dasar peristiwa seperti apa yang diceritakan oleh Abu Muwayhiba itu, juga tak ada alasan kita dapat menolak adanya apa yang sudah dapat dipastikan mengenai komunikasi Nabi Muhammad dalam arti rohani dan spiritual dengan alam semesta ini demikian rupa, sehingga ia dapat menangkap persoalan itu sekian kali lipat daripada yang biasa ditangkap oleh para ahli dalam bidang ini.
Bergurau dengan Aisyah
Keesokan harinya bila tiba waktunya Rasulullah SAW ke tempat Aisyah. Beliau melihat Aisyah sedang mengeluh karena sakit kepala: "Aduh kepalaku!" Rasulullah kemudian menjawab, "Tetapi akulah, Aisyah, yang merasa sakit kepala."
Hanya saja, kala itu, sakitnya belum begitu keras dalam arti beliau harus berbaring di tempat tidur atau akan merintanginya pergi kepada keluarga dan isteri-isterinya untuk sekadar mencumbu dan bergurau. Setiap didengarnya beliau mengeluh Aisyah juga mengulangi lagi mengeluh sakit kepala.
Lalu kata Nabi, "Apa salahnya kalau engkau yang mati lebih dulu sebelum aku. Aku yang akan mengurusmu, mengafanimu, menyembahyangkan kau dan menguburkan kau!"
Lantaran senda-gurau itu cemburu kewanitaan Aisyah timbul dalam hati Aisyah yang masih muda itu, sekaligus cintanya akan gairah hidup ini, lalu katanya:
"Dengan begitu yang lain mendapat nasib baik. Demi Allah, dengan apa yang sudah kaulakukan itu seolah engkau menyuruh aku pulang ke rumah dan dalam pada itu kau akan berpengantin baru dengan istri-istrimu."
Nabi tersenyum, meskipun rasa sakitnya tidak mengizinkan beliau terus bergurau.
Setelah rasa sakitnya terasa agak berkurang, Rasulullah SAW mengunjungi istri-istrinya seperti biasa. Tetapi kemudian sakitnya terasa kambuh lagi, dan terasa lebih keras lagi. Ketika beliau sedang berada di rumah Sayyidah Maimunah, beliau sudah tidak dapat lagi mengatasinya.
Beliau merasa perlu mendapat perawatan. Ketika itu dipanggilnya istri-istri beliau ke rumah Maimunah. Dimintanya izin kepada mereka, setelah melihat keadaannya begitu, bahwa beliau akan dirawat di rumah Aisyah. Para istri Rasul mengizinkan beliau pindah.
Dengan berikat kepala, beliau keluar sambil bertopang dalam jalannya itu kepada Ali bin Abi Thalib dan kepada 'Abbas pamannya. Beliau sampai di rumah Sayyidah Aisyah dengan kaki yang sudah terasa lemah sekali.
Pada hari-hari pertama beliau jatuh sakit, demamnya sudah terasa makin keras, sehingga ia merasa seolah seperti dibakar.
Sungguh pun begitu, ketika demamnya menurun beliau pergi berjalan ke masjid untuk memimpin sholat. Hal ini dilakukannya selama berhari-hari. Tapi tidak lebih dari sholat saja. Beliau sudah tidak kuat duduk bercakap-cakap dengan sahabat-sahabatnya.
Meski begitu apa yang dibisikkan orang bahwa beliau menunjuk anak yang masih muda belia di atas kaum Muhajirin dan Anshar yang terkemuka untuk menyerang Romawi, terdengar juga oleh Nabi.
Meskipun dari hari ke hari sakitnya bertambah juga, tapi dengan adanya bisik-bisik demikian itu rasanya perlu beliau bicara dan berpesan kepada mereka. Dalam hal ini beliau berkata kepada istri-istri dan keluarganya:
"Tuangkan kepadaku tujuh kirbat air dari pelbagai sumur, supaya aku dapat menemui mereka dan berpesan kepada mereka."
Lalu dibawakan air dari beberapa sumur, dan setelah oleh istri-istri beliau. Kemudian beliau didudukkan di dalam pasu kepunyaan Hafshah. Ketujuh kirbat air itu disiramkan ke Rasulullah SAW. "Cukup... Cukup..." ujar Rasulullah.
Lalu beliau mengenakan pakaian kembali, dan dengan berikat kepala ia pergi ke masjid. Setelah duduk di atas mimbar, beliau mengucapkan puji dan syukur kepada Allah, kemudian mendoakan dan memintakan ampunan buat sahabat-sahabatnya yang telah gugur di Uhud. Banyak sekali beliau mendoakan mereka itu. Kemudian kata beliau:
"Saudara-saudara. Laksanakanlah keberangkatan Usamah itu. Demi hidupku. Kalau kamu telah banyak bicara tentang kepemirnpinnya, tentang kepemimpinan ayahnya dulu pun juga kamu banyak bicara. Dia sudah pantas memegang pimpinan, seperti ayahnya dulu juga pantas memegang pimpinan."
Nabi Muhammad SAW diam sebentar. Sementara itu orang-orang juga diam, tiada yang bicara. Kemudian beliau meneruskan berkata lagi: "Seorang hamba Allah oleh Tuhan telah disuruh memilih antara dunia dan akhirat dengan apa yang ada padaNya, maka ia memilih yang ada pada Tuhan."
Rasulullah SAW diam lagi, dan orang-orang juga diam tidak bergerak. Tetapi Abu Bakar segera mengerti, bahwa yang dimaksud oleh Nabi dengan kata-kata terakhir itu adalah dirinya.
Dengan perasaannya yang sangat lembut dan besarnya persahabatannya dengan Nabi, Abu Bakar tak dapat menahan air mata dan menangis sambil berkata: "Tidak. Bahkan tuan akan kami tebus dengan jiwa kami dan anak-anak kami."
Khawatir rasa terharu Abu Bakar ini akan menular kepada yang lain, Rasulullah memberi isyarat kepadanya, "Sabarlah, Abu Bakar."
Kemudian beliau meminta supaya semua pintu yang menuju ke masjid ditutup, kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakar. Setelah semua pintu ditutup, beliau berkata lagi:
"Aku belum tahu ada orang yang lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman kesayangan) maka Abu Bakarlah khalilku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ialah dalam iman, sampai tiba saatnya Tuhan mempertemukan kita."
Setelah itu, Nabi Muhammad turun dari mimbar, sedianya akan kembali pulang ke rumah Aisyah, tapi beliau lalu menoleh kepada orang banyak itu dan kemudian katanya:
"Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Anshar itu baik-baik; sebab selama orang bertambah banyak, orang-orang Anshar akan seperti itu juga keadaannya, tidak bertambah. Mereka itu orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu berbuat baik atas kebaikan mereka itu dan maafkanlah kesalahan mereka."
Abu Bakar Menjadi Imam
Beliau kembali ke rumah Aisyah. Tetapi energi yang digunakannya selama beliau dalam keadaan sakit itu, telah membuat sakitnya terasa lebih berat lagi.
Haekal mengatakan sungguh suatu pekerjaan berat, terutama buat orang yang sedang menderita demam. Beliau keluar juga setelah disirami tujuh kirbat air; beliau keluar dengan membawa beban pikiran yang sangat berat: Pasukan Usamah, nasib Anshar kemudian hari, nasib orang-orang Arab yang kini telah dipersatukan oleh agama baru itu dengan persatuan yang sangat kuat.
Itu pula sebabnya, tatkala keesokan harinya beliau berusaha hendak bangun memimpin sholat seperti biasanya, ternyata beliau sudah tidak kuat lagi. Ketika itulah ia berkata: "Suruh Abu Bakar menjadi imam."
Aisyah ingin sekali Nabi sendiri yang melaksanakan sholat mengingat bahwa tampaknya sudah berangsur sembuh. "Tapi Abu Bakar orang yang lembut hati, suaranya lemah dan suka menangis kalau sedang membaca Qur'an," tutur Aisyah.
Aisyah pun mengulangi kata-katanya itu. Tetapi dengan suara lebih keras Nabi Muhammad berkata lagi, dengan sakit yang masih dirasakannya: "Sebenarnya kamu ini seperti perempuan-perempuan Yusuf. Suruhlah dia memimpin orang-orang bersembahyang!"
Kemudian Abu Bakar datang memimpin sembahyang seperti diperintahkan oleh Nabi.
Pada suatu hari karena Abu Bakar tidak ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umarlah yang dipanggil untuk memimpin orang-orang bersembahyang sebagai pengganti Abu Bakar.
Oleh karena Umar orang yang punya suara lantang, maka ketika mengucapkan takbir di masjid, suaranya terdengar oleh Nabi Muhammad dari rumah Aisyah. "Mana Abu Bakr?" tanyanya. "Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian."
Orang dapat menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakar sebagai penggantinya kemudian, karena memimpin orang-orang bersembahyang sudah merupakan tanda pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah SAW.
Bisikan ke Fatimah
Tatkala sakit Rasulullah SAW sudah makin keras, panas demamnya makin memuncak, istri-istri dan tamu-tamu yang datang menjenguknya, bila meletakkan tangan di atas selimut yang dipakainya, terasa sekali panas demam yang sangat meletihkan itu.
Sayyidah Fatimah, putrinya, setiap hari datang menengok. Beliau sangat mencintai putrinya itu, cinta seorang ayah kepada anak yang hanya tinggal satu-satunya sebagai keturunan.
Apabila Fatimah datang menemui Nabi, ia menyambutnya dan menciumnya, lalu didudukkannya di tempat beliau duduk. Tetapi setelah sakitnya demikian payah, putrinya itu datang menemuinya dan mencium ayahnya.
"Selamat datang, putriku," ujar Rasulullah SAW. Lalu didudukkannya Fatimah di sampingnya. Ada kata-kata yang dibisikkannya ketika itu, Fatimah lalu menangis. Kemudian dibisikkannya kata-kata lain Fatimah pun jadi tertawa.
Penasaran Aisyah pun bertanya kepada Fatimah apa yang dibisikkan Rasulullah. "Sebenarnya saya tidak akan membuka rahasia Rasulullah SAW," jawab Fatimah.
Hanya saja, setelah Rasul wafat, Fatimah mengatakan, bahwa ayahnya membisikkan kepadanya, bahwa beliau akan meninggal oleh sakitnya sekali ini. Itu sebabnya Fatimah menangis. Kemudian dibisikkannya lagi, bahwa putrinya itulah dari keluarganya yang pertama kali akan menyusul. Itu sebabnya ia tertawa.
Karena panas demam yang tinggi itu, sebuah bejana berisi air dingin diletakkan di samping Nabi. Sekali-sekali beliau meletakkan tangan ke dalam air itu lalu mengusapkannya ke muka.
Begitu tingginya suhu panas demam itu, kadang beliau sampai tak sadarkan diri. Kemudian beliau sadar kembali dengan keadaan yang sudah sangat payah. Karena perasaan sedih yang menyayat hati, pada suatu hari Fatimah berkata mengenai penderitaan ayahnya itu: "Alangkah beratnya penderitaan ayah!"
"Tidak. Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini," jawabnya.
Suatu hari sahabat-sahabatnya berusaha hendak meringankan penderitaannya itu dengan mengingatkan kepada nasihat-nasihatnya, bahwa orang yang menderita sakit jangan mengeluh.
Beliau menjawab, bahwa apa yang dialaminya dalam hal ini lebih dari yang harus dipikul oleh dua orang. Dalam keadaan sakit keras serupa itu dan di dalam rumah banyak orang, ia berkata: "Bawakan dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan pernah sesat."
Dari orang-orang yang hadir ada yang berkata, bahwa sakit Rasulullah SAW sudah sangat gawat; pada kita sudah ada Qur'an, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu.
Ada yang menyebutkan, bahwa Umar yang mengatakan itu. Di kalangan yang hadir itu terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan: Biar dituliskan, supaya sesudah itu kita tidak sesat. Ada pula yang keberatan karena sudah cukup dengan Kitabullah.
Setelah melihat pertengkaran itu, Nabi Muhammad berkata: "Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di hadapan Nabi."
Tetapi Ibn 'Abbas masih berpendapat, bahwa mereka membuang waktu karena tidak segera menuliskan apa yang hendak dikatakan oleh Nabi. Sebaliknya Umar masih tetap dengan pendapatnya, bahwa dalam Kitab Suci Tuhan berfirman: "Tiada sesuatu yang Kami abaikan dalam Kitab itu." (Qur'an, 6:38)
Harta Tujuh Dinar
Berita sakitnya Nabi yang bertambah keras itu telah tersiar dari mulut ke mulut, sehingga akhirnya Usamah dan anak buahnya yang ada di Jurf itu turun pulang ke Madinah. Begitu Usamah masuk menemui Nabi di rumah Aisyah, Nabi sudah tidak dapat berbicara. Tetapi setelah dilihatnya Usamah, ia mengangkat tangan ke atas kemudian meletakkannya kepada Usamah sebagai tanda mendoakan.
Melihat keadaannya yang demikian keluarganya berpendapat hendak membantunya dengan pengobatan. Asma' - salah seorang kerabat Maimunah - telah menyediakan semacam minuman, yang pernah dipelajari cara pembuatannya selama ia tinggal di Abisinia. Tatkala Nabi sedang dalam keadaan pingsan karena demamnya itu, mereka mengambil kesempatan menegukkan minuman itu ke mulutnya.
Begitu beliau sadar kembali, Beliau bertanya: "Siapa yang membuatkan ini? Mengapa kamu melakukan itu?"
"Kami khawatir Rasulullah menderita sakit radang selaput dada," kata 'Abbas pamannya.
"Allah tidak akan menimpakan penyakit yang demikian itu kepadaku."
Kemudian disuruhnya semua yang hadir dalam rumah - supaya meminum obat itu, tidak terkecuali Maimunah meskipun sedang berpuasa.
Nabi Muhammad memiliki harta tujuh dinar ketika penyakitnya mulai terasa berat. Khawatir bila beliau meninggal harta masih di tangan, maka dimintanya supaya uangnya itu disedekahkan.
Tetapi karena kesibukan mereka merawat dan mengurus selama sakitnya dan penyakit yang masih terus memberat, mereka lupa melaksanakan perintahnya itu. Setelah hari Minggunya sebelum hari wafatnya beliau sadar kembali dari pingsannya, beliau bertanya kepada mereka: "Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu?"
Aisyah menjawab, bahwa itu masih ada di tangannya. Kemudian dimintanya supaya dibawakan. Bilamana uang itu sudah diletakkan di tangan Nabi, ia berkata: "Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhan, sekiranya ia menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya."
Kemudian semua uang dinar itu disedekahkan kepada fakir-miskin di kalangan Muslimin.
Malam itu Nabi Muhammad dalam keadaan tenang. Panas demamnya sudah mulai turun, sehingga seolah karena obat yang diberikan keluarganya itulah yang sudah mulai bekerja dan dapat melawan penyakitnya. Sampai-sampai karena itu ia dapat pula di waktu subuh keluar rumah pergi ke mesjid dengan berikat kepala dan bertopang kepada Ali bin Abi Talib dan Fadzl bin'l-'Abbas.
Kala itu, Abu Bakar tengah mengimami sholat. Nabi datang ke masjid. Karena rasa gembira yang luarbiasa, hampir-hampir para jamaah terpengaruh dalam sembahyang itu. Nabi lalu memberi isyarat supaya mereka meneruskan sholatnya. Rasulullah SAW tampak gembira menyaksikan hal itu.
Selanjutnya, Abu Bakar surut dari tempat sholatnya, untuk memberikan tempat kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi Rasulullah mendorongnya dari belakang seraya katanya "Pimpin terus orang bersembahyang."
Beliausendiri kemudian duduk di samping Abu Bakar dan sembahyang sambil duduk di sebelah kanannya.
Selesai sembahyang Rasulullah SAW menghadap kepada jamaah, dan kemudian berkata dengan suara agak keras sehingga terdengar sampai ke luar masjid:
"Saudara-saudara. Api (neraka) sudah bertiup. Fitnah pun datang seperti malam gelap gulita. Demi Allah, janganlah kiranya kamu berlindung kepadaku tentang apa pun. Demi Allah, aku tidak akan menghalalkan sesuatu, kecuali yang dihalalkan oleh Qur'an, juga aku tidak akan mengharamkan sesuatu, kecuali yang diharamkan oleh Qur'an. Laknat Tuhan kepada golongan yang mempergunakan pekuburan mereka sebagai masjid."
Sakaratul Maut
Melihat tanda-tanda kesehatan Nabi yang bertambah maju, bukan main gembiranya kaum Muslimin, sampai-sampai Usama bin Zaid datang menghadap kepada Rasulullah dan minta izin akan membawa pasukan ke Syam. Abu Bakar pun juga datang menghadap dengan mengatakan:
"Rasulullah! Saya lihat tuan sekarang dengan karunia dan nikmat Tuhan sudah sehat kembali. Hari ini adalah bagian Bint Kharija. Bolehkah saya mengunjunginya?"
Nabi pun mengizinkan. Abu Bakar segera berangkat pergi ke Sunh di luar kota Madinah - tempat tinggal istrinya. Umar dan Ali juga lalu pergi dengan urusannya masing-masing.
Kaum Muslimin sudah mulai terpencar-pencar lagi. Mereka semua dalam suasana suka-cita dan gembira sekali, - sebab sebelum itu mereka semua dalam kesedihan, berwajah suram setelah mendapat berita bahwa Nabi dalam keadaan sakit, demamnya semakin keras sampai pingsan.
Rasulullah kembali pulang ke rumah Aisyah. Senang sekali hatinya melihat kaum Muslimin sudah memenuhi masjid dengan hati bersemarak, meskipun beliau masih merasakan badannya sangat lemah sekali.
Setelah memasuki rumah, tiap sebentar tenaganya bertambah lemah juga. Beliau melihat maut sudah makin mendekat. Tidak sangsi beliau bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa saat saja lagi.
Sejarawan menyebutkan bahwa pada hari musim panas yang terjadi di seluruh semenanjung itu - 8 Juni 632 - Rasulullah minta disediakan sebuah bejana berisi air dingin dan dengan meletakkan tangan ke dalam bejana itu beliau mengusapkan air ke wajahnya; dan bahwa ada seorang laki-laki dari keluarga Abu Bakar datang ke tempat Aisyah dengan
sebatang siwak di tangannya.
Nabi memandangnya demikian rupa, yang menunjukkan bahwa beliau menginginkannya. Oleh Aisyah benda yang di tangan kerabatnya itu diambilnya, dan setelah dikunyah (ujungnya) sampai lunak diberikannya kepada Nabi. Kemudian dengan itu beliau menggosok dan membersihkan giginya.
Sementara sedang dalam sakaratulmaut, beliau menghadapkan diri kepada Allah sambil berdoa, "Allahumma ya Allah! Tolonglah aku dalam sakratulmaut ini."
Aisyah berkata - yang pada waktu itu kepala Nabi berada di pangkuannya, "Terasa olehku Rasulullah SAW sudah memberat di pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata pandangannya menatap ke atas seraya berkata, "Ya Handai Tertinggi dari surga."
Aisyah berkata: "Engkau telah dipilih maka engkau pun telah memilih. Demi Yang mengutusmu dengan Kebenaran."
Maka Rasulullah pun berpulang sambil bersandar antara dada dan leher Aisyah dan dalam giliranku. "Aku pun tiada menganiaya orang lain. Dalam kurangnya pengalamanku dan usiaku yang masih muda, Rasulullah SAW berpulang ketika ia di pangkuanku. Kemudian kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku berdiri dan bersama-sama wanita-wanita lain aku memukul-mukul mukaku," tutur Sayyidah Aisyah.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment