Syeikh Athif, Topi Koboi dan Sekularisme
Ketika Kemal Ataturk berkuasa, ia kekuasaan pemerintah sekuler memaksa rakyat Turki meninggalkan tharbus dan beralih topi koboi, beginilah jadinya jika kaum sekuler berkuasa
SYEIKH Mohammad Athif al-Askilibi atau dikenal Atif Hoca duduk tenang. Ia menulis pembelaan dirinya yang diminta oleh hakim.
Mendadak Syeikh Athif terkantuk hingga tidur sejenak. Beberapa hari ia memang sulit tidur. Kertas pembelaannya belum selesai ditulis dan masih dipegang oleh tangannya.
Sejurus kemudian Syeikh Athif membuka kedua matanya. Lantas ia pun tersenyum.
Syeikh Thahir al-Maulawi yang juga sama-sama ditahan, merasa heran dan bertanya, “Apa yang terjadi wahai Syeikh yang mulia? Kenapa Anda begitu cepat terjaga?”
Syeikh Athif menjawab, “Telah tercapai maksud dari tidur.”
“Artinya?” Syeikh Thahir bertanya kembali.
“Artinya, aku bermimpi mengenai suatu hal yang aku sedang menunggunya,” jawab ulama yang pernah mengajar di madrasah istana Daulah Utsmaniyah ini.
“Apa yang Anda mimpikan?” tanya Syeikh Thahir terus mengejar.
Syeikh Athif kemudian menegakkan badan seraya meremas kertas pembelaannya, lalu berkata, “Aku bermimpi bertemu dengan pribadi yang menjadi kebanggan alam ini, yakni Sayyiduna Muhammad ﷺ yang mengatakan kepadaku, ‘Wahai Athif, apakah engkau akan menyibukkan diri untuk membela diri, dan enggan menyusul kami?”
Syeikh Thahir bertanya, “Apa itu tafsirnya?”
“Mereka akan menjatuhkan hukuman mati untukku, dan aku akan menyusul kekasih Allah,” jawab Syeikh Athif.
Kata Syeikh Thahir, “Tidak ada keraguan mengenai kebenaran mimpi itu. Hanya saja, penuntut umum tidak menuntut Anda kecuali hukuman penjara selama tiga tahun.”
“Anda akan melihat bahwa mereka akan menjatuhkan hukuman mati untukku. Aku pun tidak paham, hanya saja perkara ini datang dari Yang Mahakuasa,” jawab Syeikh Athif.
Benar. Di persidangan keesokan harinya, hakim memutuskan untuk menghukum mati Syeikh Athif, meski jaksa menuntut hukuman tiga tahun penjara. Hukuman itu pun dilaksanakan langsung sehari setelah vonis. (dalam al-Utsmaniyun fi Tarikh wa al-Hadharah, hal 236, 237).
Topi Koboi
Syeikh Mohammad Athif al-Askilibi ditahan oleh pemerintahan Musthafa Kamal Ataturk atas tuduhan pembangkangan terhadap kewajiban memakai qubba’ah (Topi Koboi). Saat itu, tepatnya pada 21 Januari 1926, pecah Revolusi Qubba’ah yang dilakukan oleh penduduk di wilayah Giresun.
Penduduk menentang keputusan parlemen mengenai undang-undang qubba’ah. Pemerintah menduga bahwa kitab mengenai hukum taklid kepada Salibis dan hukum memakai qubba’ah karya Syeikh Athif berpengaruh terhadap gerakan itu.
Kitab tersebut ditulis satu tahun empat bulan sebelum diterbitkannya undang-undang.
Selain Syeikh Athif, beberapa ulama Turki juga ditangkap berkenaan dengan masalah qubba’ah. Di antara mereka adalah Sulaiman Khawajah al-Usyaqi, Syeikh Shalih Afandi selaku penanggung jawab sekolah imam dan khatib di Usyaq, Syeikh dari kalangan sufi Syarafuddin ad-Dighistani, serta beberapa ulama lainnya.
Parlemen Turki pada 25 Januari 1925 telah menyetujui undang-undang mengenai kewajiban memakai qubba’ah, dalam rangka meniru tradisi Barat. Dalam buku Tarikh Inqilab Turki yang menjadi diktat dalam sekolah-sekolah militer Turki, yang diterbitkan oleh Angkatan Bersenjata Turki pada tahun 1973, antara lain disebutkan:
“Dengan berkembangnya zaman, maka tharbus (peci khas Turki) menjadi pakaian Islam, bahkan menjadi simbul solidaritas Utsmaniyah… Maka seharusnya masyarakat Turki tampil dengan identitas yang mencerminkan peradaban… Sedangkan perubahan masyarakat yang hidup di wilayah Daulah Utsmaniyah dengan memakai pakaian keagamaan bertentangan dengan realita gerakan peradaban bagi masyarakat Turki modern… Sedangkan tharbus merupakan simbol negara Islam, maka sudah seharusnya mencampakkan tharbus dari kepala rakyat Turki. Dengan demikian dua tujuan tercapai: Pertama, sekularisasi dalam berpakaian. Kedua, rakyat mengenakan pakaian yang menyerupai bangsa-bangsa dunia yang berperadaban. Sebagaimana ada keharusan untuk tokoh agama untuk memakai pakaianannya di tempat-tempat ibadah saja. Ada kesulitan dalam rangka menundukkan pakaian rakyat dalam kehidupan sekuler, juga dalam menjauhkan simbol kehidupan keagamaan dari kehidupan sehari-hari. Dan inilah pemikiran Ataturk.”
Dua hari setelah disetujui parlemen, aparat kepolisian pun turun ke jalan-jalan kota hingga desa-desa. Mereka melepas paksa tharbus yang dipakai oleh masyarakat Turki pada waktu itu.
Jika ada yang melawan, maka akan langsung ditahan. Dari sini muncullah perlawanan dari rakyat yang didukung oleh para tokoh agama.
Pemerintahan sekuler Ataturk merespons gerakan itu dengan mengirim “pengadilan independen” ke berbagai wilayah. Pengadilan ini memvonis ratusan “pemberontak” dengan hukuman gantung, tembakan peluru, atau kurungan.
Ataturk sebelumnya gagal memaksa rakyat Turki meninggalkan tharbus. Akhirnya ia meminta keputusan parlemen mengenai hal ini.
Ataturk kemudian melakukan beberapa langkah bertahap, dengan mengharuskan para pengawalnya memakai qubba’ah. Ketika tidak ada yang menentang, maka ia memerintahkan hal yang sama untuk seluruh tentara.
Ketika militer tidak menunjukkan penolakan, maka Ataturk terang-terangan menyatakan keinginannya, ”Jika kita ingin menjadi masyarakat yang berperadaban, maka hendaklah kita memakai pakaian negara-negara yang berperadaban. Adapun tharbus adalah simbol kebodohan!”
Namun rakyat menolak ajakan itu. Bahkan banyak warga yang sebelumnya diwajibkan mengenakan qubba’ah pun kembali memilih memakai tharbus. Akhirnya Ataturk memilih untuk memaksakan keinginannya itu dengan kekuatan aparat dan pengadilan. (al-Utsmaniyun fi Tarikh wa al-Hadharah, hal 232-234).
Selain tharbus, Ataturk juga menggunakan kekuatannya untuk melarang kumandang adzan dengan bahasa Arab, melarang penggunaan bahasa Arab, setelah sebelumnya berhasil menghapus kekhilafahan Utsmaniyah.*
No comments:
Post a Comment