Tafsir Idries Shah atas 2 Kisah Sufi Mullah Nashruddin
Idries Shah menafsirkan dua kisah sufi Mullah Nashruddin menjadi sesuatu yang menarik. Bukan sekadar lelucon yang penuh sindiran. Menurutnya, Mullah Nashruddin, seperti sufi lainnya, tidak merusak kaidah-kaidah zamannya.
"Tetapi ia menambahkan suatu dimensi baru bagi kesadarannya, dengan menolak menerima terhadap tujuan-tujuan khusus dan terbatas," ujar Idries Shah dalam bukunya berjudul "The Sufis"
Sekadar mengingatkan Idries Shah, yang nama lengkapnya Nawab-Zada Sayyid Idries Shah al-Hasyimi, adalah Syekh Besar (Syekh al-Kabir) Sufi asal India. Keluarganya berasal dari keluarga Kerajaan Pagham di Hindu-Kush, yang nenek moyangnya memerintah sejak 1221.
Idries Shah mengatakan bahwa kebenaran, katakanlah demikian, merupakan sesuatu yang bisa diukur sebagaimana sesuatu yang lain. Apa yang disebut oleh masyarakat sebagai kebenaran adalah relatif pada situasi mereka. Dan ia tidak bisa menekannya sampai menyadarinya.
"Salah satu cerita Nashruddin, salah satu yang paling cerdik, memperlihatkan bahwa sampai seseorang bisa melihat melalui kebenaran relatif, maka tidak ada kemajuan bisa dibuat," ujarnya.
Suatu hari Nashruddin duduk di pengadilan. Raja mengeluh bahwa para pejabatnya tidak jujur. "Paduka," ucap Nashruddin, "terdapat kebenaran dan kejujuran. Orang harus mempraktikkan kebenaran sejati, sebelum mereka bisa menggunakan kebenaran relatif. Mereka selalu mencoba-coba cara lain. Akibatnya adalah bahwa mereka berlaku lancang dengan kebenaran buatan-manusia, sebab secara naluri mereka mengetahui bahwa itu hanyalah suatu ciptaan (manusia)."
Raja menganggap hal ini terlalu rumit, "Sesuatu harus benar atau salah. Aku akan membuat orang berkata jujur dan dengan praktik ini mereka akan terbiasa jujur."
Ketika gerbang kota dibuka pada esok harinya, sebuah gantungan telah dipasang, yang dipimpin oleh seorang kapten dari pengawal istana. Sebuah pengumuman dilontarkan:
"Siapa saja yang memasuki kota, pertama-tama harus menjawab benar pertanyaan yang akan dikemukakan kepadanya oleh kapten pengawal."
Nashruddin, yang tengah menunggu di luar, maju pertama.
Kapten tersebut berkata, "Mau ke mana engkau? Jawab dengan jujur -- alternatifnya adalah hukuman mati dengan digantung."
"Aku akan," jawab Nashruddin, "digantung di atas tiang gantungan itu."
"Aku tidak mempercayaimu."
"Jika demikian, baiklah. Jika aku berdusta, gantung aku."
"Tetapi hal itu akan menjadikannya (kebohongan) sebagai kebenaran."
"Tepat," ucap Nashruddin, "kebenaranmu."
Idries Shah mengatakan calon sufi juga harus memahami bahwa tolok ukur kebaikan dan keburukan didasarkan pada ukuran individu atau kelompok, bukan atas dasar fakta obyektif. Sampai ia mengalami hal ini secara internal dan juga menerimanya secara intelektual, ia tidak akan mampu mencapai pemahaman yang lebih dalam (batin). Skala pengubahan ini digambarkan oleh cerita tentang perburuan:
Seorang raja yang senang bergaul dengan Nashruddin, dan juga senang berburu, memerintahkannya untuk menyertainya dalam sebuah perburuan beruang. Nashruddin merasa sangat ketakutan.
Ketika Nashruddin kembali ke desanya, seseorang bertanya kepadanya, "Bagaimana berburunya?"
"Luar biasa!"
"Berapa ekor beruang yang Anda lihat?"
"Tidak seekor pun."
"Lantas, bagaimana bisa luar biasa?"
"Jika engkau berburu beruang, dan jika engkau adalah aku, tidak melihat satu pun beruang merupakan pengalaman luar biasa."
Idries Shah menafsirkan kisah ini bahwa pengalaman internal tidak bisa disalurkan melalui pengulangan, tetapi harus disegarkan kembali secara terus-menerus dari sumbernya.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment