Asal Mula Polemik Mukmin dan Kafir
Asal mula polemik istilah mukmin dan kafir pertama kali diapungkan oleh kaum Khawarij pasca-terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan . Polemik ini beriringan dengan memunculkan protes keras terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib , selaku Khalifah keempat, karena tidak mampu menemukan siapa pembunuh Usman bin Affan.
M. Yunan Nasution (1913-1996) dalam tulisannya berjudul "Implikasi Sosial-Keagamaan Muhammad sebagai Penutup Utusan Allah" menjelaskan polemik masalah siapa yang disebut mukmin dan siapa yang disebut kafir terjadi karena al-Qur'an dan hadis Nabi tidak memberikan kriteria-kriteria tentang mukmin dan kufur.
Berawal dari terbunuhnya khalifah ketiga, Usman bin Affan, yang kemudian memunculkan protes keras terhadap kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, selaku khalifah keempat, karena tidak mampu menemukan siapa pembunuh Usman bin Affan.
"Malah lebih ekstrem lagi, Ali bin Abi Thalib dituduh berkolaborasi dengan para pemberontak yang menggulingkan Usman bin Affan," ujar Yunan Nasution dalam tulisan yang dihimpun dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" (Ed. Budhy Munawar-Rachman) tersebut.
Persengketaan itu kemudian diselesaikan dengan jalan tahkim antara Ali bin Abi Thalib dengan wakilnya Abu Musa al-Asy'ari dengan Mu'awiyah bin Abi Sufyan dengan wakilnya Amr bin 'Ash.
Jalan tahkim yang dipergunakan menyelesaikan persoalan tersebut ditolak oleh sebagian dari pasukan Ali yang kemudian dikenal dengan nama Khawarij.
Menurut mereka, tahkim itu adalah tradisi jahiliyah, bukan penyelesaian dengan jalan berpedoman kapada apa yang diturunkan oleh Allah, yakni al-Qur'an.
Maka dengan membawa ayat 44 surat al-Maidah , "Siapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, mereka adalah orang kafir."
Menurut Yunan Nasution, dengan dasar pandangan itu Khawarij kemudian memutuskan bahwa Ali, Mu'awiyah, Amr dan Abu Musa sudah kafir.
"Orang muslim yang kemudian beralih menjadi kafir berarti murtad. Pesan Nabi orang murtad darahnya halal dan wajib dibunuh. Maka mereka memutuskan untuk membunuh keempat-empat tokoh tersebut," jelas Yunan Nasution.
Masalah Baru
Dalam perkembangannya timbul masalah baru apakah orang mukmin yang melakukan dosa besar tetap mukmin? Menurut Yunan Nasution, karena mereka merupakan kelompok sempalan dalam dinasti Umayyah, mereka menganggap bahwa pemuka pemuka dinasti Bani Umayyah sudah berbuat kedhaliman dan oleh karena itu telah berbuat dosa besar.
Para penguasa Islam bila sudah berbuat dosa besar, itu berarti tidak sah lagi menjadi khalifah. "Demikian kaum Khawarij memasukkan semua perbuatan dosa besar, seperti berzina, bersumpah palsu, mendurhakai ibu bapak, syirik, mengakibatkan seseorang sudah menjadi kafir," kata Yunan Nasution.
Menurut Yunan Nasution, sebagai reaksi terhadap pendapat sempit dan ekstrem di atas, sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa yang disebut mukmin dan muslim adalah orang-orang yang sudah mengucap dua kalimah syahadat "La ilaha illa 'l-Lah wa Muhammad Rasul-u 'l-Lah" (Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah).
Dosa besar yang dilakukan tidak mempengaruhi imannya. Dalam sejarah teologi Islam, golongan yang menganut paham ini dikenal dengan nama Murji'ah. Kaum Murji'ah memandang orang yang telah melakukan dosa besar tetap mukmin, tidak menjadi kafir.
Berbeda dengan Khawarij, Murji'ah memandang pemuka-pemuka Bani Umayyah, tetap sah menjadi khalifah.
Mukmim dan Muslim
Kemudian timbul paham ketiga, yakni bila seseorang yang mengucap dua kalimah syahadat itu melakukan dosa besar, ia hanya boleh disebut muslim.
Di sini, kata Yunan Nasution, dibedakan antara mukmin dengan muslim. Mukmin adalah muslim yang tidak melakukan dosa besar, sedangkan muslim adalah orang Islam yang melakukan dosa besar.
Paham ini dianut oleh Mu'tazilah. Mereka memberi predikat orang muslim itu dengan fasiq, yang menempati posisi antara tidak mukmin dan tidak kafir. Paham ini kemudian masuk dalam doktrin dasar mereka al-Ushul al-Khamsah, yakni al-Manzilat bayn al-Manzilatayn (posisi di antara dua posisi).
Dua kasus tersebut, kata Yunan Nasution, pertama tentang masalah politik kenegaraan dan masalah teologi, memperlihatkan, betapa generasi muslim pertama itu menunjukkan bagaimana cara mereka menghadapi masalah-masalah sosial dan keagamaan, di kala Nabi Muhammad tidak ada lagi.
Wahyu memang sudah berhenti turun. Allah tidak akan menurunkan wahyu baru lagi dan tidak membangkitkan seorang rasul utusan sesudah Muhammad. Oleh sebab itu tidak ada otoritas pribadi mana pun yang mengatasnamakan Tuhan bahwa dialah pembawa dan penterjemah yang paling sah dari wahyu-wahyu Tuhan dalam al-Qur'an dan segala perkataan dan perbuatan serta ketetapan Nabi sebagai yang termaktub dalam hadits beliau.
Dengan tetap berpedoman pada Kitabullah dan Sunnah Rasul kaum Muslim telah diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sosial dan keagamaan mereka dengan mengerahkan ra'yu atau pemikiran dalam bentuk ijtihad. Dan memang Muhammad SAW, penutup utusan Allah itu, pernah berkata, bahwa tidak ada yang salah (kerugian) dalam berijtihad. Bila ijtihadnya benar akan mendapat dua pahala, dan bila ijtihadnya salah masih diberi satu pahala.
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment