Kebangkitan Ekonomi Madinah: Pasar Islami tanpa Pajak
Rasulullah ﷺ membangun infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mendorong kebangkitan ekonomi Madinah, salah satunya membolehkan berdagang di pasar Yahudi, dan bebas dari pungutan pajak
SEJAK HIJRAH Sejak hijrah ke Madinah dan menetap hingga sepuluh tahun kemudian di kota utara Hijaz itu, Rasulullah ﷺ menghadapi pelbagai persoalan ekonomi yang sangat berat. Pertambahan penduduk, kemiskinan, rumah hunian, kelangkaan pangan, kekurangan air bersih, lapangan kerja, pembangunan infrastruktur, hingga persiapan perang yang dalam faktanya terjadi lebih dari 80 kali misi peperangan.
Semua itu diperparah dengan ketersediaan dana yang sangat minim. Baitul Mal lebih sering kosong.
Tapi, dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun, Rasulullah ﷺ berhasil mengatasi semua persoalan tersebut. Bahkan, Madinah menjelma sebagai kekuatan baru yang diperhitungkan oleh imperium-imperium sebesar Romawi dan Persia, dengan fondasi ekonomi yang sangat kokoh dan terus tumbuh pesat hingga mencapai puncak kejayaannya di masa Khulafa Rasyidin.
Puluhan hingga ratusan Muhajirin terus berdatangan memadati Madinah dengan kondisi yang mengenaskan, kehilangan semua fasilitas hidup dan harta benda yang terpaksa ditinggalkan di tanah kelahiran. Sedang penduduk Madinah yang menyambut mereka, Anshar, mengalami semacam pemboikotan oleh suku-suku yang bersimpati kepada Quraisy di Makkah, akibat keberpihakan Anshar kepada kaum muslim.
Penduduk Madinah serta merta terancam dua hal sekaligus; kelaparan dan kelangkaan pangan. Belum lagi ketersediaan air minum yang tidak lagi mencukupi.
Menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari’, kala itu di Madinah ada satu sumur yang dikenal dengan bi’r rumah milik seorang Yahudi yang airnya cukup melimpah. Cuma saja, untuk mendapatkan air tersebut tidak gratis, melainkan harus dibeli dengan harga yang cukup mahal, yaitu satu mud makanan untuk satu wadah (qirbah) air.
Pada saat yang sama, Rasulullah ﷺ harus segera membangun Masjid yang akan menjadi urat nadi kehidupan masyarakat baru. Beliau lantas membeli sebidang tanah milik Bani Najjar meski pemiliknya, menurut riwayat Bukhari, hendak menghibahkannya.
Rasulullah ﷺ bertindak sangat cepat karena pekerjaan-pekerjaan besar telah menantinya. Roda kehidupan para sahabat harus segera bergerak normal; rumah tinggal, pasar, lapangan pekerjaan dan lain sebagainya harus tersedia secepatnya.
Di sisi lain, beliau juga harus meningkatkan daya saing mereka dalam menghadapi dominasi ekonomi oleh kelompok Yahudi. Jauh sebelum itu, kebun-kebun kurma yang subur lebih banyak dikuasai Bani Nadhir dan Bani Quraizhah, sedang pasar terbesar di Madinah adalah pasar Bani Qainuqa`, semuanya adalah klan-klan Yahudi.
Semua persoalan internal tersebut seakan berkejaran dengan tuntutan persiapan menghadapi teror bahkan perang melawan Quraisy, yang dengan segala kekuatan dan pengaruhnya di seantero Jazirah Arab, dapat mengancam kedaulatan Madinah setiap saat. Kekuatan militer Madinah harus segera dibangun, kemampuan tempur mesti ditingkatkan, dan peralatan perang harus dilengkapi.
Tapi, bagaimana mungkin semua itu dapat dilakukan disaat kaum muslimin kesulitan untuk sekadar mencukupi hajat pokok hidupnya, makan dan minum?
Dari gambaran di atas, jelaslah bahwa Rasulullah ﷺ dan kaum muslimin membutuhkan dana yang sangat besar untuk dapat membangun masyarakat baru. Persoalannya, Rasulullah atau negara tidak memiliki modal yang berarti.
Dana masyarakat pun belum tentu mencukupi. Lantas, bagaimana Rasulullah menyelesaikan semua itu dengan kekurangan modal?
Ada dua pendekatan yang menonjol yang dilakukan Rasulullah ﷺ kala itu;
Pertama, mengoptimalkan dana masyarakat. Kedua; memberdayakan potensi-potensi non keuangan yang secara efektif dapat menunjang perekonomian. Potensi non keuangan dalam tulisan ini kami sebut dengan istilah modal sosial sebagai lawan kata modal uang.
Kedua pendekatan ini menunjukkan besarnya perhatian Rasulullah terhadap prinsip kemandirian ekonomi dengan mengembangkan kekuatan-kekuatan yang sejatinya telah dimiliki oleh kaum muslimin, sekaligus menghindari kebergantungan kepada pihak asing yang sebenarnya masih mungkin dimintai pertolongan, utamanya suku-suku Arab di sekitar Madinah yang secara ekonomi bergantung pada komoditas yang ada di pasar Madinah atau suku Arab yang punya hubungan dekat, seperti Khuza`ah.
Modal sosial sebagai pembangkit perekonomian
Banyak ragam modal sosial yang dikembangkan Rasulullah ﷺ untuk membangun perekonomian. Namun yang jelas, semuanya bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam yang membentuk pandangan hidup dan mengarahkan perilaku.
Dari sinilah muncul kedermawanan (sakha’), solidaritas (ta`awun), persaudaraan (ukhuwwah), hubungan baik dengan keluarga (silaturahim), gaya hidup sederhana (zuhud), kemandirian, pendapatan berdasarkan sumber yang halal dan thayyib, pola konsumsi yang tidak berlebihan (israf dan tabdzir), dan lain sebagainya.
Peran sosial dan ekonomi masjid
Sumber-sumber sejarah Islam sepakat, bahwa setibanya di pusat kota Madinah, hal pertama yang dilakukan Rasulullah ﷺ adalah membangun masjid yang kelak dikenal dengan Masjid Nabawi. Keputusan ini sangat tepat dan membuktikan kejeniusan Sang Rasul.
Masjid di masa itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah semata, melainkan juga sebagai wahana pencairan ketegangan sosial dari berbagai kelompok masyarakat yang beragam bahkan dulunya bermusuhan, sehingga dapat membangun solidaritas dan tentu saja berdampak ekonomi.
Sebelum kedatangan Nabi, Aus dan Khazraj adalah dua kelompok penduduk Madinah yang hampir tidak pernah hidup damai. Perang yang melibatkan keduanya ibarat warisan yang diterima dari generasi ke generasi hingga Perang Bu`ats yang terjadi sekitar empat tahun sebelum hijrah.
Masyarakat Arab yang menganut sistem kesukuan, tidak ada ruang bersama yang memposisikan setiap orang atau kelompok secara egaliter. Di Madinah, setiap suku atau klan memiliki balai pertemuan eksklusif yang disebut Saqifah.
Di sinilah letak pentingnya masjid sebagai wahana kebersamaan (jamaah) tanpa skat-skat etnik atau status sosial. Kepedulian dan kesetaraan tidak hanya terbangun antara etnik yang berbeda, tapi juga antara pribumi (Anshar) dan pendatang (Muhajirin), kaya dan miskin, dan seterusnya.
Apalagi di bagian belakang masjid yang disebut Shuffah tinggal puluhan hingga ratusan sahabat miskin yang setiap saat membutuhkan perhatian dan uluran tangan.
Persaudaraan dengan dasar iman
Pembangunan masjid ini diikuti dengan langkah-langkah strategis lainnya. Rasulullah ﷺ juga membangun kekuatan jaringan interaksi sosial dengan mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar. Dengan ikatan yang begitu kuat, selayaknya dengan saudara kandung sendiri, banyak persoalan dasar yang dapat diselesaikan; logistik, tempat tinggal, keterasingan, dan lain-lain.
Persaudaraan ini memiliki dampak yang sangat luas. Contoh yang paling masyhur adalah persaudaraan antara Sa`ad bin Rabi` dari Anshar dengan Abdurrahman bin `Auf dari Muhajirin.
Sebuah riwayat dalam Shahih Bukhari menuturkan percakapan antara kedua sahabat itu setelah dipersaudarakan oleh Rasul. Sa`ad bin Rabi` berkata kepada Abdurrahman, “Aku termasuk orang Anshar yang paling kaya. Aku akan membaginya menjadi dua. Aku juga punya dua istri. Silakan engkau perhatikan, mana diantara keduanya yang menurutmu lebih cantik. Aku akan menceraikannya, lalu setelah habis masa `iddahnya engkau dapat menikahinya.”
Pemberdayaan potensi
Dengan segala kekurangan dan keterbatasan yang ada, sebenarnya kaum muslim memiliki potensi yang sangat besar. Kaum Muhajirin yang hampir seluruhnya berasal dari Makkah itu sangat akrab dengan dunia dagang. Bahkan, menurut pengamatan Dr. Ibrahim asy-Syarif dalam buku Makkah wal Madinah fil Jahiliyyah wal Islam, pada masa itu, dalam dunia dagang, tidak ada kelompok masyarakat yang dapat mengalahkan kehebatan Quraisy, penduduk Makkah.
Abdurrahman bin `Auf, seorang Muhajirin, membuktikannya. Sejak hari-hari pertama kedatangannya di Madinah, ia langsung terjun ke pasar Yahudi Bani Qainuqa`, meski tanpa modal uang.
Abdurrahman hanya menawarkan jasa kepada para pedagang dan pengunjung pasar. Tapi dengan usaha tersebut, hari itu ia kembali dengan membawa makanan yang cukup. Bahkan beberapa hari kemudian, seperti diungkap dalam Shahih Bukhari, ia menemui Rasulullah ﷺ untuk mengabarkan bahwa dirinya telah menikahi seorang wanita Anshar dengan mahar sebutir emas.
Dengan potensi besar seperti ini, Rasulullah ﷺ hanya perlu membangun sedikit infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Madinah di tahap awal. Untuk itu, meski tetap membolehkan berdagang di pasar Yahudi, Rasulullah membangun sebuah pasar baru sebagai pasar percontohan yang sepenuhnya menerapkan sistem pasar islami, salah satunya adalah pasar yang bebas dari pungutan pajak.
Dalam riwayat Ibnu Majah dijelaskan, setelah menunjuk lokasi pasar, Rasulullah bersabda, “Hadza suqukum la yadhribanna ahadun `alaikum bi kharaj ” (Inilah pasar kalian. Setelah ini, tidak seorang pun yang akan membebani kalian dengan pajak).
Pembukaan pasar baru di Madinah ini merupakan bukti kemandirian dan otonomi ekonomi sekaligus pembebasan kaum muslim dari hegemoni pasar Yahudi. Mereka sadar dominasi ekonomi Yahudi akan menghambat implementasi sistem pasar baru berdasarkan ajaran Islam.
Menganjurkan kedermawanan
Kedermawanan yang diajarkan Rasul berdasarkan nilai zuhud yang menganggap balasan akhirat di sisi Allah adalah lebih pasti daripada kekayaan yang ada dalam genggaman tangan. Itulah yang ditunjukkan Usman bin `Affan ketika dengan senang hati, menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari’, membeli dan menyedekahkan sumber air bi’r rumah seharga 20.000 dirham (sekitar Rp 3 Milyar) sehingga seluruh penduduk Madinah mendapatkan air minum secara gratis.
Demikianlah sekelumit contoh upaya Rasulullah ﷺ untuk bertahan dan membangun perekonomian Madinah. Beliau sangat mengutamakan potensi-potensi sosial yang dibangun berdasarkan ajaran Islam sebagai modal awal pertumbuhan ekonomi yang terbukti mampu mensejahterakan masyarakat. */ Fathurroji, Edithya (Majalah Gontor)
No comments:
Post a Comment