Roti dan Permata: Kisah Raja yang Tanpa Pamrih Mendermakan Sebagian Kekayaannya
Kisah berikut ini dinukil Idries Shah dalam bukunya berjudul "Tales of The Dervishes". Menurut Idries, kisah ini ditemukan di Gazargah, pemakaman di Afghanistan Barat tempat guru Sufi Agung Khakja Abdullah Ansar dimakamkan pada tahun 1089.
Nasihat 'lapis pertama' kisah ini adalah bahwa ketika manusia diberi sesuatu yang bernilai besar bagi masa depannya, ia tidak mempergunakannya dengan cukup baik. Berikut kisahnya:
Konon, ada seorang raja memutuskan untuk memberikan sebagian kekayaannya tanpa pamrih. Ia ingin pula mengetahui apa yang terjadi atas pemberiannya itu.
Raja itu pun memanggil seorang tukang roti yang ia percayai dan menyuruhnya membuat dua potong roti. Dalam roti pertama harus disisipkan sejumlah permata, dan dalam roti kedua, hanya tepung dan air.
Roti tersebut harus diberikan kepada orang yang paling saleh dan orang yang paling tidak saleh yang dijumpai oleh tukang roti itu.
Pada keesokan paginya, dua orang lelaki datang ke dapur tukang roti itu. Yang seorang berpakaian layaknya darwis dan tampak paling saleh, padahal sebenarnya ia seorang munafik. Yang lainnya, yang diam saja, mengingatkan tukang roti itu kepada wajah seorang yang tak disukainya.
Tukang roti itu pun memberikan roti isi permata kepada lelaki berjubah darwis, dan roti biasa itu kepada lelaki kedua.
Ketika Darwis palsu itu memegang rotinya, ia mencoba merasakan dan merabanya. Ia merasakan permata itu, tetapi baginya itu hanyalah gumpalan dalam roti, tepung yang tidak teraduk sempurna.
Ditimbangnya di tangannya, dan bobot permata membuat roti itu terasa terlalu berat. Ia menatap tukang roti itu, dan mengetahui bahwa ia bukanlah orang yang bisa diajak beramah-ramah. Maka, ia berpaling kepada lelaki kedua itu dan berkata, "Mengapa kita tidak bertukar roti saja? Kau sepertinya lapar, dan rotiku ini lebih besar."
Lelaki kedua, yang ikhlas menerima apa pun, bersedia menukar rotinya.
Sang raja, yang sejak tadi mengamati lewat suatu celah di pintu dapur, terheran-heran, tetapi tidak menyadari kebaikan nisbi pada kedua lelaki itu.
Darwis palsu itu mendapatkan roti biasa. Raja itu menyimpulkan bahwa takdir telah campur tangan untuk menjaga darwis itu dari godaan kekayaan.
Lelaki yang sungguh baik itu memperoleh permata dan bisa mempergunakannya untuk kebaikan. Raja itu tak mampu mengartikan peristiwa tersebut.
"Saya mengerjakan apa yang diperintahkan," kata tukang roti itu.
"Kau tak bisa mengubah takdir," kata sang raja.
"Betapa cerdiknya aku," kata darwis palsu itu.
(mhy) Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment