Ulama yang Menjaga Jarak dengan Penguasa, Dikasih Rp2,1 M Tetap Menolak
Sosok ulama yang menjaga jarak dengan penguasa pada masanya menarik untuk diketahui. Beliau lahir pada masa pengangkatan Utsman bin Affan menjadi khalifah menggantikan Umar bin Khattab.
Beliau adalah Imam Sa'id bin Musayib rahimahullah (15-94 Hijriyah). Keilmuannya diakui para ulama di masa Tabi'in. Seorang ulama ahli hadits dan ahli fiqih dari Madinah dan termasuk salah seorang dari Tujuh Fuqaha Madinah.
Imam Sa'id adalah orang yang paling hafal berbagai hukum dan keputusan yang dikeluarkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, sehingga mendapat julukan Rawiyatul Umar (periwayat Umar). Hadis Mursal yang berasal dari Said bin Al-Musayyib dianggap Hasan oleh Imam Syafi'i.
Imam Said bermata-pencaharian sebagai sebagai penjual minyak dan tidak pernah mau menerima berbagai pemberian. Termasuk pemberian dari penguasa Dinasti Umayyah yang kala itu dipimpin Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Berikut kisahnya diceritakan oleh Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq, pengasuh Ma'had Subulana Bontang Kalimantan Timur. Setiap khalifah yang naik tahta berusaha menundukkan hati Sa'id untuk mau berkontribusi dalam pemerintahan, atau minimal mau lunak kepada penguasa dengan sesekali memenuhi undangan mereka. Akan tetapi selalu berbuah pahit.
Seperti yang dilakukan Abdul Malik bin Marwan, khalifah kelima Dinasti Umayyah (berkuasa 685-705) yang mendengar bahwa Sa'id bin Musayib sedang membutuhkan uang karena tertimpa sebuah musibah. Ia mengirimkan 30.000 Dirham (setara Rp2,1 Miliar) kepada sang imam. Namun Ibnu Musayib justru menolaknya dan mengatakan kepada utusan istana kalimat yang tajam:
لا حاجة لي فيها ولا في بني مروان حتى ألقى الله، فيحكم بيني وبينهم
Artinya: "Saya tidak membutuhkan uang ini dan juga tidak membutuhkan bantuan dari bani Marwan, hingga saya bertemu Allah dan mengadili antara saya dan mereka."
Setelah ditolak bantuannya, Abdul Malik bin Marwan masih mencoba melakukan pendekatan lain. Kali ini ia mengirimkan utusannya didampingi Gubernur Madinah melamar putri Sa'id bin Musayyib bernama bernama Ribab, untuk putra mahkotanya yakni Walid bin Abdul Malik.
Namun lagi-lagi lamaran ini ditolak mentah-mentah oleh Imam Sa'id bin Musayib. Ia justru menikahkan putrinya yang alim dan cantik dengan muridnya bernama Abdullah bin Al-Wada'ah yang menduda karena baru saja ditinggal wafat istrinya.
Ketika Khalifah Walid bin Abdul Malik naik tahta menggantikan ayahnya Abdul Malik, ia pernah mendatangi Kota Madinah dan singgah di Masjid Nabawi. Di dalam masjid ia melihat seorang syaikh yang dikerumuni banyak jamaah, maka ia bertanya ke orang-orang siapa syaikh tersebut.
Dijawab bahwa itu adalah Imam Sa'id bin Musayib, sang ulama Fuqaha Madinah. Ia pun memerintahkan seorang pengawalnya untuk mendatangkan beliau kepadanya.
Pengawal itu pun datang kepada Ibnu Musayib dan berkata: "Amirul mukminin meminta agar engkau menemuinya."
Imam Sa'id bin Musayib menjawab dengan datar: "Mungkin engkau salah orang, mungkin saja yang dimaksud olehnya adalah orang lain."
Utusan itu berkali-kali meyakinkan bahwa ia tidak sedang salah orang, namun kembali dijawab serupa oleh sang imam. Akhirnya ia kembali dengan tangan hampa, gagal menghadirkannya kepada khalifah al Walid.
Begitu mengetahui panggilannya tidak dipenuhi, Kahlifah Walid bin Abdul Malik sempat marah, bahkan ia berniat untuk menghukum Sa'id bin Musayib. Namun orang-orang yang bersamanya dan juga jamaah yang ada di masjid berkata mengingatkannya:
يا أمير المؤمنين ، فقيه المدينة ، وشيخ قريش ، وصديق أبيك ، لم يطمع ملك قبلك أن يأتيه
Artinya: "Wahai Amirul Mukminin, dia adalah ulama yang paling ahli di Madinah, pembesar kaum Quraisy dan juga teman dari ayahmu. Tidak ada seorang pun dari para khalifah yang bisa membuatnya memenuhi panggilan mereka."
Akhirnya, Khalifah Walid bin Abdul Malik sang penguasa Dinansti Umawiyah pergi meninggalkan masjid dengan perasaan yang mendongkol.
Referensi:
Siyar A'lam Nubala (4/218- 224)
(rhs)Rusman H Siregar
No comments:
Post a Comment