Kisah Pegulat Tangguh Umar bin Khattab di Masa Pra-Islam
Tradisi olahraga di Arab pada masa pra-Islam antara lain adalah gulat , berkuda, dan memanah. Di masa muda, Umar bin Khattab dikenal jago gulat dan balap kuda. Pertandingan ini biasanya digelar di Pasar Ukaz.
Muhammad Husain Haikal dalam bukunya berjudul “Umar bin Khattab” memaparkan beberapa tahun sebelum kerasulan Nabi , apabila sudah tiba bulan Zulhijah orang-orang Arab dari berbagai penjuru di Semenanjung itu seperti biasa, sebelum musim ziarah setiap tahun datang berbondong-bondong menuntun unta mereka untuk digelar di Pasar Ukaz.
Pada saat semacam itu pasar memang ramai oleh kedatangan berbagai macam kabilah ke tempat tersebut, di antara mereka terdapat tidak sedikit dari penduduk Mekkah. Orang-orang Arab itu memasang tenda-tenda besar di tengah-tengah hamparan padang pasir yang terbentang luas tempat pasar itu diadakan, dan sebagian dijadikan tempat bursa.
Di depan tenda-tenda besar di bagian ini orang ramai menawarkan barang-barang dagangan mereka. Barang-barang buatan penduduk Hijaz sendiri tidak banyak.
Sementara penduduk Mekkah sudah datang, termasuk juga orang-orang yang kebanyakan dari Yaman dan Syam dalam perjalanan musim dingin dan musim panas. Mereka yang datang menuju tempat ini terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka membeli barang-barang yang mereka sukai.
Tak jauh dari pasar itu terdapat tempat-tempat hiburan yang di waktu siang hari dikunjungi pemuda-pemuda dan lebih banyak lagi di waktu malam. Perempuan-perempuan cantik itu pun tak berkeberatan berada di dekat-dekat tempat itu. Apabila malam tiba pemuda-pemuda itu pergi mencicipi minuman sampai mereka terhuyung-huyung.
Suatu hari ada seorang penyair tampil di samping pasar itu membacakan puisinya, yang dibuka dengan syair cinta dan dari syair cinta pindah ke syair membanggakan diri dan kabilahnya, kemudian menantang dan mengumpat kabilah lain yang tahun lalu pernah berseteru dengan kabilahnya.
Orang banyak pun berdatangan dari pasar mengerumuni penyair yang berjaya itu, mereka memuji sajak-sajak cintanya itu. Setelah dari cinta beralih kepada kebanggaan diri banyak orang yang bertepuk tangan kegirangan, tetapi ada juga yang berteriak menyangkal dan menjelek-jelekkannya.
Ketika beralih menantang dan mengumpat suatu kabilah yang pernah bermusuhan dengan kabilahnya, teriakan-teriakan yang menyambut gembira dan yang menentang itu tiba-tiba berubah menjadi pertengkaran sengit, yang bukan tidak mungkin akan dilanjutkan dengan menghunus pedang. Sesudah sang penyair selesai membacakan syairnya, ada orang tua yang bijak dapat menengahi mereka untuk mengajak damai dan ajakannya itu pun dipatuhi.
Di antara kerumunan orang banyak itu ada Umar bin Khattab. Kala itu, ia di bawah umur dua puluh tahun. Bertubuh kekar, besar dan tingginya melebihi semua orang yang hadir, putih kemerah-merahan dan agak kecoklatan.
la tekun menyimak orang membaca syair. Selesai sang penyair membacakan sajak-sajaknya Umar memasang telinga mendengarkan apa yang akan dikatakan orang bijak itu.
Setelah dipastikan mereka cenderung berdamai Umar mendahului teman-temannya yang lain pergi melangkah cepat-cepat. Tidak biasa ia berjalan perlahan, langkahnya yang lebar dan cepat tidak mudah dapat diikuti oleh yang lain. Teman-temannya mau mengajaknya mengobrol kalau-kalau dengan demikian ia dapat menahan cara melangkahnya yang lebar itu.
Pembicaraan yang pada mulanya tenang-tenang saja berubah menjadi perdebatan yang panas. Umar itu berhenti melangkah, matanya yang sudah berubah merah menandakan kemarahannya mulai menyala. Ia memilin-milin kumisnya yang sudah tumbuh lebat seraya berkata:
"Kalian mau menakut-nakuti aku dengan anak muda itu! Aku bukan anak Khattab kalau tidak mengajaknya bergulat begitu aku bertemu dial"
Ia melangkah lebih lagi cepat-cepat, sehingga teman-temannya di belakangnya agak berlari. Begitu sampai di gelanggang adu gulat yang diadakan di samping Pasar Ukaz, dilihatnya pemuda-pemuda yang tegap-tegap sudah berkerumun, menyaksikan salah seorang dari mereka sedang merundukkan badannya di dada lawannya yang sudah dibuatnya tergeletak di tanah.
Tatkala orang banyak melihat Umar bin Khattab datang menuju ke tempat mereka cepat-cepat memberi jalan.
Kedua pegulat itu bergabung dengan para penonton. Mereka yakin kedatangan Umar bukan untuk menonton tetapi datang hendak bergulat. Masih dengan sikapnya yang marah Umar memutar matanya kepada para penonton. Setelah dilihatnya pemuda yang tadi sedang berbicara dengan kawan-kawannya, dipanggilnya untuk diajak bertanding.
Pemuda itu tersenyum sambil melangkah ke tengah-tengah gelanggang, penuh percaya diri akan kekuatan dan kemampuannya. Sebelumnya ia tak pernah bertarung dengan Umar. Baru pertama kali ini ia datang ke Ukaz bersama kabilahnya. Sejak kedatangannya itu ia tak pernah dikalahkan, sehingga setiap lawan harus benar-benar memperhitungkan.
Perawakannya hampir sama dengan perawakan Umar, tinggi dan besar. Umar yang sudah siap beradu kekuatan melangkah maju. Pemuda Badui itu berusaha hendak mematahkan Umar, dan sudah memperlihatkan berbagai macam kepandaiannya dalam bertarung, sehingga jumlah penonton yang berdatangan makin banyak, suatu jumlah yang tak pernah ada sebelumnya. Gadis-gadis yang berdekatan pun berdatangan ke tempat itu setelah mendengar' kedua nama pegulat itu.
Mereka ingin menyaksikan apa yang akan terjadi. Mereka sudah tahu, seperti orang lain yang dalam tahun-tahun yang lalu juga sudah tahu, bahwa tak ada orang yang dapat mengalahkan Umar bin Khattab.
Setelah pemuda badui itu maju dan sudah bergulat dengan pegulat-pegulat lain, orang-orang di Ukaz semua mengharapkan ia akan bergulat dengan Umar. Mereka bertaruh untuk kedua pemuda itu, siapa yang akan menang. Setelah Umar menantang lawannya untuk bergulat, secepat kilat berita itu tersebar ke segenap penjuru di pasar.
Semua mereka yang tak terikat oleh pekerjaan datang ke tempat itu. Selama beberapa waktu Umar membiarkan lawannya berbicara terus dan berlagak, sedang dia sendiri dalam sikap defensif, tidak mau membuang-buang tenaga seperti pemuda badui itu.
Sesudah diperkirakan ia sudah cukup lelah diserangnya ia dengan memiting kedua bahunya lalu dibantingnya ke tanah. Lapangan itu gegap gempita, orang ramai menyambut kemampuan Umar. Mereka teringat pengalaman yang sudah lalu menyaksikan ketangkasan Umar dalam peristiwa serupa. Gadis-gadis dan perempuan pun tidak kalah dengan kaum lelaki dan pemudanya memuji pemuda Quraisy yang perkasa ini.
Pacuan Kuda
Umar juga jago berkuda. Ia memiliki kuda yang hitam pekat, kedua telinganya kecil dan kepala tegak dengan kedua kakinya yang kukuh dan perutnya yang ramping. Umar penuh percaya diri dan bangga akan kudanya. Pemuda-pemuda yang berasal dari pelbagai kabilah terkemuka itu seolah iri hati.
Mereka mengajaknya berlomba dengan berpacu. Apabila pacuan kuda selesai dan beristirahat, mereka turun ke Majannah sesudah tidur tengah hari sebentar.
Ajakan itu disambut oleh Umar dan mereka pun sudah siap dengan kuda yang akan diperlombakan. Mereka pun pergi ke padang Sahara dan mencari arena tempat berpacu. Setelah siap di atas kuda masing-masing dan pemandu memberikan aba-aba, secepat itu pula Umar dan kudanya seperti sudah menyatu melesat secepat kilat, sehingga penonton sudah tak tahu lagi kuda yang dipacu itu di atas tanah atau terbang di angkasa.
Kemenangan Umar dalam pacuan kuda ini mengundang kekaguman orang di pasar seperti ketika kemenangannya dalam bergulat. Gadis-gadis pun tidak hanya sekadar kagum, mereka sudah hanyut terpengaruh begitu jauh. Penyanyi yang tahun ini memberinya kenangan begitu manis di Ukaz hanya tersenyum, senyum yang menimbulkan rasa cemburu kawan-kawannya yang lain. Mereka meliriknya dengan mata Arabnya barangkali seperti dalam sajak yang diungkapkan penyair Umar bin Abi Rabi'ah:
Karena perasaan dengki yang menyelimuti mereka
Dahulu orang memang penuh dengki.
(mhyMiftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment