Implikasi Asbabun Nuzul, Kasus Perkawinan Nabi SAW dengan Mantan Istri Anak Angkatnya
Kiai Haji Masdar Farid Mas'udi mengatakan salah satu masalah yang banyak dibahas oleh para ahli agama, khususnya segi-segi tertentu ajaran agama di bidang hukum, ialah sejauh mana nilai atau ketetapan hukum dalam Islam ditentukan oleh keadaan ruang dan waktu.
Dalam buku berjudul "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" bab Konsep Asbab al-Nuzul - Relevansinya Bagi Pandangan Historisis Segi-Segi Tertentu Ajaran Keagamaan, Masdar Farid Mas'udi menjelaskan bahwa para ahli fiqih sepakat dalam hukum berubah menurut perubahan zaman dan tempat.
Kaidah mereka mengatakan, "Taghayyur al-ahkam bi thagayyur al-zaman wa al-makan" atau perubahan hukum oleh perubahan zaman dan tempat. Tetapi mereka berselisih tentang batas terjauh dibenarkannya perubahan itu.
Asbab al-Nuzul menunjukkan banyaknya kasus suatu nilai ajaran atau hukum diwahyukan kepada Nabi dalam kaitannya dengan peristiwa nyata tertentu yang menyangkut Nabi dan masyarakat Islam di zaman beliau.
Contoh kasus adalah nama pribadi Zaid yang tersebutkan dalam al-Qur'an. Suatu peristiwa pribadi, berupa perceraian anak angkat Nabi Muhammad SAW ini dari istrinya, Zainab .
Kasus ini menjadi titik tolak ditetapkannya suatu hukum Tuhan tentang pembatalan atau, penghentian makna kehukuman (legal significance) praktik pengambilan anak angkat (tanpa memelihara atau mempertahankan adanya informasi tentang, siapa ayah-ibu biologis anak tersebut).
Pembatalan ini dipertegas dengan contoh nyata. Yaitu dinikahkannya Nabi oleh Allah dengan Zainab, setelah bercerai dari Zaid, bekas anak angkatnya. Kemudian Zaid-pun tidak lagi menyandang nama "ibn Muhammad" tapi dikembalikan kepada nama aslinya, yaitu "ibn Haritsah."
Firman Allah yang menyangkut tentang Zaid dan Zainab itu tertuang dalam QS Al-Ahzab ayat 37-40. Allah SWT berfirman:
وَاِذۡ تَقُوۡلُ لِلَّذِىۡۤ اَنۡعَمَ اللّٰهُ عَلَيۡهِ وَاَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِ اَمۡسِكۡ عَلَيۡكَ زَوۡجَكَ وَاتَّقِ اللّٰهَ وَتُخۡفِىۡ فِىۡ نَفۡسِكَ مَا اللّٰهُ مُبۡدِيۡهِ وَتَخۡشَى النَّاسَ ۚ وَاللّٰهُ اَحَقُّ اَنۡ تَخۡشٰٮهُ ؕ فَلَمَّا قَضٰى زَيۡدٌ مِّنۡهَا وَطَرًا زَوَّجۡنٰكَهَا لِكَىۡ لَا يَكُوۡنَ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ حَرَجٌ فِىۡۤ اَزۡوَاجِ اَدۡعِيَآٮِٕهِمۡ اِذَا قَضَوۡا مِنۡهُنَّ وَطَرًا ؕ وَكَانَ اَمۡرُ اللّٰهِ مَفۡعُوۡلًا
Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah," sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi.
مَا كَانَ عَلَى النَّبِىِّ مِنۡ حَرَجٍ فِيۡمَا فَرَضَ اللّٰهُ لهٗ ؕ سُنَّةَ اللّٰهِ فِى الَّذِيۡنَ خَلَوۡا مِنۡ قَبۡلُ ؕ وَكَانَ اَمۡرُ اللّٰهِ قَدَرًا مَّقۡدُوۡرَا
Tidak ada keberatan apa pun pada Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah Allah pada nabi-nabi yang telah terdahulu. Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku,
اۨلَّذِيۡنَ يُبَـلِّـغُوۡنَ رِسٰلٰتِ اللّٰهِ وَيَخۡشَوۡنَهٗ وَلَا يَخۡشَوۡنَ اَحَدًا اِلَّا اللّٰهَ ؕ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيۡبًا
(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِكُمۡ وَلٰـكِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَ ؕ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمًا
Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Masdar Masudi menjelaskan firman itu memang turun kepada Nabi berkenaan dengan suatu peristiwa konkret yang menyangkut sepasang suami-istri.
Dapat dilihat bahwa dalam peristiwa Zaid dan Zainab dan yang "ditangani" langsung oleh kitab suci itu terdapat kaitan antara suatu nilai hukum kulli (universal), yaitu pembatalan makna legal praktek mengangkat anak, dengan sebuah kasus jaz'i (partikular), yaitu perceraian Zaid dari Zainab dan perkawinan Nabi dengan Zainab, bekas "menantu"-nya.
Masalah selanjutnya yang lebih esensial dari contoh di atas itu ialah, bagaimana suatu nilai dari sebuah kasus dapat ditarik dari dataran generasitas yang setinggi-tingginya.
Dengan begitu nilai tersebut tidak lagi terikat oleh kekhususan peristiwa asal mulanya dan dapat diberlakukan pada kasus-kasus lain di semua tempat dan sepanjang masa (dan inilah makna universalitas suatu nilai).
Para ahli hukum Islam telah membuat patokan untuk masalah ini, dengan kaidah mereka, "Pengambilan makna dilakukan berdasarkan generalitas lafal, tidak berdasarkan partikularitas penyebab" (Al-Ibrah bi umum al-lafdh, la bi khushush al-sabab). Tetapi sebuah generalisasi hanya dapat dilakukan jika inti pesan suatu firman dapat ditangkap.
Ini dengan sendirinya menyangkut masalah kemampuan pemahaman yang mendalam sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
Lalu, pada urutannya, tersangkut pula masalah tafsir, atau bahkan mungkin ta'wil (interprestasi metaforis) yang tidak jarang menimbulkan kontroversi. Sebab dalam melakukannya selalu ada kemungkinan dicapai suatu pandangan, atau tindakan, yang pada lahirnya seperti meninggalkan atau menyimpang dari ketentuan Kitab.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment