Mengapa Rasulullah SAW Mengganti Nama Yathrib Menjadi Madinah
Sejarah mencatat bahwa kota tempat hijrah Nabi Muhammad SAW itu bernama Yathrib. Pada era Islam, Rasulullah SAW mengganti nama kota ini menjadi Madinah . Apa sejatinya makna Madinah itu?
Yathrib adalah sebuah lingkungan oase yang subur sekitar empatratus kilometer sebelah utara Mekkah. Kota itu dihuni orang-orang Arab pagan atau musyrik dari suku-suku utama Aws dan Khazraj, dan orang-orang Yahudi (berbahasa Arab) dari suku-suku utama Bani Nazhir, Bani Qaynuqa' dan Bani Qurayzhah.
Kota oase itu agaknya sudah berdiri sejak zaman kuna yang cukup jauh, dengan Yatsrib atau, menurut catatan ilmu bumi Ptolemius, Yethroba.
Menurut Prof Dr Nurcholish Madjid (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur , yang sangat menarik perhatian dari sudut pemikiran politik ialah tindakan Nabi SAW untuk mengganti nama kota itu menjadi Madinah.
"Tindakan Nabi itu bukanlah perkara kebetulan. Di baliknya terkandung makna yang luas dan mendalam, yang dalam kontrasnya terhadap pola kehidupan politik jazirah Arabia dan sekitarnya adalah fundamental dan revolusioner," tulis Cak Nur pada artikelnya berjudul "Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan" yang dihimpun dalam buku "Jurnal Pemikiran Islam Paramadina".
Secara peristilahan atau semantis, kata Cak Nur, perkataan Arab "madinah" berarti kota. Pengertian itu tidak jauh dari asal makna kebahasaan atau etimologisnya, yang dapat ditelusuri kepada tiga suku kata akar Semitiknya, yaitu "d-y-n" (dal-ya'-nun), dengan makna dasar "patuh", sebagaimana dinyatakan dalam tasrif dana-yadinu.
Dari situ pula kita dapat mengerti mengapa perkataan Arab untuk "agama" ialah din, suatu perkataan yang mengacu kepada ide tentang kepatuhan atau sikap patuh. Sebab sistem atau rangkaian ajaran yang disebut "agama" itu memang berintikan tuntutan untuk tunduk dan patuh kepada sesuatu yang dipandang mutlak dan diyakini sebagai asal dan tujuan hidup.
"Agama dalam pengertian generik ini bermacam-macam, yang benar dan yang palsu. Sebagian manusia menganut agama yang benar, sebagian lagi tidak," ujar Cak Nur.
Agama yang benar ialah yang mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa. Kepatuhan penuh pasrah kepada-Nya itu disebut, dalam Bahasa Arab, Islam, yang makna asasinya terkait dengan kata-kata salam (damai), salamah atau salamat-un (selamat) dan salim (utuh, integral, sound).
Oleh karena itu kepatuhan atau dan yang benar ialah Islam, dan yang merupakan pola hidup (mode of life) penghuni seluruh alam raya, bahkan alam raya itu sendiri juga, yang seharusnya merupakan sikap hidup yang benar-benar bagi manusia sebagaimana diajarkan oleh semua nabi dan rasul sepanjang masa.
Karena kepatuhan serupa itu merupakan "hukum alam" (lebih tepatnya, ketentuan atau taqdir Tuhan bagi seluruh alam, ciptaan-Nya), maka tidak melaksanakan islam adalah sikap tidak alamiah dan tidak wajar dengan segala akibatnya atas orang bersangkutan. Karena itu dengan sendirinya tertolak.
Menurut Cak Nur, sekali pun tekanannya sedikit berbeda, makna perkataan Arab "din" itu sama prinsipnya dengan makna perkataan Sanskerta "agama". Sebab kalangan ahli mengatakan bahwa perkataan itu berasal dari rangkaian "a-gama" yang berarti. "tidak kacau", yakni, teratur atau berperaturan. ("Agama" dalam arti aturan atau hukum dalam Bahasa Jawa Kuna antara lain digunakan Empu Tantular untuk bukunya yang terkenal, Negara Kertagama).
Kembali ke perkataan "madinah", menurut Cak Nur, yang digunakan Nabi SAW untuk menukar nama kota hijrah beliau itu, kita menangkapnya sebagai isyarat langsung, semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak mewujudkan suatu masyarakat teratur (atau berperaturan), sebagaimana mestinya sebuah masyarakat. Maka sebuah konsep, madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.
Karena itu perkataan Arab untuk peradaban ialah madaniyah, yang memiliki dasar pengertian yang sama dengan beberapa istilah yang berasal dari akar-akar rumpun bahasa Indo-Eropa seperti civic, civil, polis dan politiae (juga "polisi").
Semuanya merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut "kota" (city, polis). Dalam konteks jazirah Arabia, konsep peradaban itu terkait erat dengan pola kehidupan menetap (tsaqafah) di suatu tempat sehingga suatu pola hidup bermasyarakat tampak hadir (hadlarah) di tempat itu.
Maka, masih dalam peristilahan Arab, tsaqafah menjadi berarti "kebudayaan", dan hadlarah menjadi berarti "peradaban", sama dengan madaniyah. Lawan tsaqafah dan hadlarah ialah badawah yang mempunyai makna peristilahan "hidup berpindah-pindah" (nomadism) dan makna kebahasaan "(tingkat) permulaan" (bidayah, alis "primitif'').
Cak Nur mengatakan karena itu "orang kota" disebut ahl al-hadlar atau hadlari dan "orang kampung" disebut ahl al-badawah atau badawi, juga badwi (badui). Kaum "badui" Juga sering disebut al-A'rab yang secara semantis berbeda makna dari perkataan al-'Arab (orang Arab) sekalipun dari akar kata yang sama.
Dalam al-Qur'an mereka yang disebut al-A'rab itu digambarkan sebagai golongan masyarakat yang kasar dan sulit memahami dan mematuhi aturan.
Mereka juga digambarkan sebagai golongan yang ketaatannya kepada Nabi s.a.w. hanya sampai kepada batas kepatuhan lahiriah, tanpa kedalaman iman. Dalam al-Qur'an terbaca firman yang memerintahkan Nabi untuk mengingatkan bahwa mereka itu baru "berislam" (secara lahiriah), karena iman belum masuk ke dalam hati mereka.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment