Zaid bin Haritsah, Sahabat dari Kalangan Budak yang Menjadi Panglima Perang Islam
Zaid bin Haritsah radhiyallahu 'anhu (wafat 8Hijriyah/629 M) merupakan sahabat Nabi dari kalangan budak yang pernah menjadi panglima perang Islam. Beliau termasuk sahabat paling awal memeluk Islam dan namanya pernah diabadikan Al-Qur'an.
Nama lengkapnya adalah Zaid bin Haritsah bin Syarahil (atau Syurahbil) bin Ka'ab bin Abdil-Uzza bin Yazid bin Imri'il-Qais bin Amir bin an-Nu'man. Zaid bin Haritsah berasal darikabilah Kalb Suku Bani Mu'in, yang menghuni utarajazirah Arab. Ibunya bernama Su'da binti Tsa'labah.
Pada masa kecilnya, ia ditangkap sekelompok penjahat yang kemudian menjualnya sebagai seorangbudak. Zaid dibawa ke pasar Ukazh dan dijual seharga 400 Dirham kepada Hakim bin Hizam bin Khuwailid, keponakan Sayyidah Khadijah bin Khuwailid. Ketika Sayyidah Khadijah menikah dengan Nabi Muhammad SAW (saat itu belum menjadi Rasul), Zaid dihadiahkannya kepada Nabi.
Setelah bergaul beberapa lama, hubungan keduanya menjadi akrab dan saling menyayangi. Nabi kemudian memproklamirkan Zaid sebagai anak angkatnya dengan nama Zaid bin Muhammad. Sejak itu Zaid menjadi pelayan setia Nabi Muhammad SAW.
Dalam Perang Mu'tah, Zaid bin Haritsah diangkat sebagai satu dari tiga panglima perang Islam melawan pasukan Romawi Bizantium. Zaid bin Haritsah gugur setelah tubuhnya dihujam oleh tombak pasukan Romawi. Beliau syahid bersama dua panglima yang ditunjuk Rasulullah SAW yaitu Ja'far bin Abu Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Beliau wafat pada usia 55 tahun.
Namanya Disebut dalam Al-Qur'an
Allah memuliakan Zaid bin Haritsah dengan menurunkan satu ayat dalam Al-Qur'an (Surah Al-Ahzab ayat 5). Ayat ini menegaskan bahwa anak-anak angkat harus dipanggil dengan nama ayah kandung mereka, bukan dinisbahkan kepada ayah angkatnya. Berikut firman-Nya:
وَاِذۡ تَقُوۡلُ لِلَّذِىۡۤ اَنۡعَمَ اللّٰهُ عَلَيۡهِ وَاَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِ اَمۡسِكۡ عَلَيۡكَ زَوۡجَكَ وَاتَّقِ اللّٰهَ وَتُخۡفِىۡ فِىۡ نَفۡسِكَ مَا اللّٰهُ مُبۡدِيۡهِ وَتَخۡشَى النَّاسَ ۚ وَاللّٰهُ اَحَقُّ اَنۡ تَخۡشٰٮهُ ؕ فَلَمَّا قَضٰى زَيۡدٌ مِّنۡهَا وَطَرًا زَوَّجۡنٰكَهَا لِكَىۡ لَا يَكُوۡنَ عَلَى الۡمُؤۡمِنِيۡنَ حَرَجٌ فِىۡۤ اَزۡوَاجِ اَدۡعِيَآٮِٕهِمۡ اِذَا قَضَوۡا مِنۡهُنَّ وَطَرًا ؕ وَكَانَ اَمۡرُ اللّٰهِ مَفۡعُوۡلًا
Artinya: "Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah," sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi." (QS Al-Ahzab Ayat 37)
Sebelum ayat ini turun, status anak angkat disamakan dengan anak kandung. Mereka berhak mewarisi keluarga angkat, dan ayah angkat tidak boleh menikahi mantan istri anak angkatnya. Setelah Allah menurunkan ayat ini, anak-anak angkat tetap harus dipanggil dengan nama ayah kandung mereka, bukan ayah angkatnya.
Sejak itulah hubungan ayah dengan anak antara Rasulullah SAW dengan Zaid terlepas. Mantan istri Zaid (Zainab binti Jahsy) kemudian dinikahi oleh Nabi Muhammad SAW pada Tahun ke-5 Hijriyah.
Wallahu A'lam
(rhs)Rusman H Siregar
No comments:
Post a Comment