Alasan Merayakan Valentine Dilarang dalam Islam
Mengapa merayakan Hari Valentine dilarang dalam Islam ? Sudah menjadi tradisi di berbagai negara Eropa, Amerika, dan Asia setiap tanggal 14 Februari diperingati sebagai hari Valentine atau hari mengungkapkan perasaan cinta kepada pasangannya.
Di Indonesia, sebagian remaja mempersembahkan bunga, mengirim ucapan dan coklat pada hari tersebut. Bahkan ada yang merayakannya dengan pesta hura-hura, mabuk-mabukan dan bercampurnya laki-laki dan perempuan.
Dalam Islam, merayakan Hari Valentine tidak dibolehkan karena bertentangan dengan nilai-nilai akidah. MUI sendiri dalam fatwanya Nomor 3 Tahun 2017 menyatakan haram merayakan Hari Valentine karena bukan termasuk dalam tradisi Islam.
Para ulama juga mengingatkan agar umat muslim tidak menyambut dan merayakan Hari Valentine karena di dalamnya terdapat unsur budaya Nasrani. Inilah salah satu alasan mengapa Valentine dilarang dalam Islam.
Untuk diketahui, perayaan Hari Valentine (Valentine's Day) atau disebut hari kasih sayang setiap 14 Februari berawal dari kisah martir Kristen. Dalam catatan St Valentine, the Real Story (Santo Valentinus, Kisah Aslinya) oleh David Kithcart, Hari Valentine ini sebagai hari pesta Kristen yang menghormati satu atau dua martir Kristen bernama Santo Valentinus.
Melalui tradisi rakyat menjadi perayaan percintaan dalam budaya, agama dan komersil di banyak negara. JC Cooper dalam kamus Kekristenan mencatat bahwa Santo Valentinus adalah pendeta Roma yang dipenjara karena membela orang Kristen yang ditindas.
Menurut Dai lulusan Sastra Arab Universitas Indonesia Ustaz Farid Nu'man Hasan, sebagian umat Islam terkadang lebih dekat dan menyukai tradisi yang bukan berasal dari agamanya. Bukan lahir dari rahim sejarah pahlawannya.
Ada yang mengikutinya tanpa saringan sedikit pun. Bahkan lebih dari itu, mereka bangga dengannya, merasa modern, dan mengikuti zaman. Padahal bagi seorang mukmin, tidak ada hari istimewa kecuali yang diagungkan Allah dan Rasul-Nya.
Tradisi Valentine, April Mop, Hellowen dan semacamnya bukanlah budaya Islam. Apalagi dalam merayakannya sering kali diisi dengan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوَاْ إِن تُطِيعُواْ فَرِيقًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman." (QS Ali 'Imran ayat 100)
Dalam satu riwayat, Nabi shollallahu 'alaihi wasallam telah mengingatkan umatnya tentang hal ini. Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Artinya: "Kalian akan benar-benar mengikuti orang-orang sebelum masa kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai mereka melewati lubang dhabb (biawak gurun, pen) kalian pun akan mengikutinya." Kami berkata: "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?" Beliau bersabda: "Siapa lagi?" (HR Al-Bukhari 3456, Muslim 2669; Ibnu Hibban 6703; Al Bazzar 8411; Al Hakim 106; Ath Thabarani dalam Al-Mu'jam Al Kabir 5943; Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 38531 dari Abu Hurairah, Ibnu Asakir dalam Al Mujam No 675)
Wallahu A'lam
(rhs)Rusman H Siregar
No comments:
Post a Comment