Baitul Maqdis: Mengapa Penting?

Masa lalu, kini, dan depan kaum Muslimin berjalin-berkelindan dengan Masjidil-Aqsha dan Baitul-Maqdis. Inilah barometer umat

Santi Soekanto

 LEBIH dari 1250 kilometer perjalanan –dengan kaki, bergantian dengan unta atau kuda di bawah udara dan angin gurun yang terik– telah dilewati oleh 30 ribu Sahabat Rasulullah ﷺ dari Madinah menuju Tabuk.

Lelah. Haus. Persediaan air terbatas, sampai-sampai seorang Sahabat menyembelih untanya demi mengambil air dari temboloknya.

‘Auf bin Malik RA beruluk-salam dan memasuki tenda Rasulullah ﷺ dalam perang yang disebut juga Perang ‘Usrah (karena susah-payahnya) itu. Pemimpin termulia itu berkata, “Wahai Auf, hitunglah enam hal (sejak sekarang) hingga hari Kiamat datang: Kematianku…”

Beliau meneruskan, “Hitunglah enam hal (sejak sekarang) hingga hari Kiamat: Kematianku, pembebasan Baitul-Maqdis, banyaknya kematian yang menimpa kalian bagaikan penyakit domba, berlimpahnya harta kekayaan sehingga orang memberi 100 dinar membuat si penerima marah, petaka atas semua rumah bangsa Arab, dan gencatan senjata di antara kalian dan keturunan bangsa Romawi…” (Riwayat Bukhari).

Rasulullah ﷺ jelas menggariskan perjalanan hidup kaum Muslimin sampai akhir dunia, termasuk pembebasan Baitul-Maqdis.

Mari berbicara tentang al-Quds, yang suci dan luhur. Al-Quds sama artinya dengan ath-Thuhur (الطهر ) dan at-Tathir (التطهير ) yang bermakna at-tanazzuh ‘an al-uyyub wa an-naqais (terbebas dari berbagai bentuk aib dan kekurangan).

Al-Quds adalah juga al-Muqaddasah —tempat yang disucikan dari berbagai bentuk kesyirikan, menjadi tempat tinggal para Nabi, yang berarti pula tempat dosa-dosa dibersihkan. Baitul-Maqdis, karenanya, adalah rumah atau tempat menyucikan dosa-dosa, dan rumah yang tidak boleh dijadikan tempat untuk sedikit pun kekufuran dan kesyirikan kepada Allah SWT.

Ketika Rasulullah ﷺ menerima amanah kenabian, telah dipahamkan kepada beliau tentang the integrity (integritas) dan ketidakterpisahan risalah Allah SWT tentang apa-apa yang suci dan luhur. Apa yang suci di awal penciptaan manusia adalah suci hingga akhir masa. Yang duniawiah maupun hina-dina pun telah jelas, sama jelasnya dengan ketetapan-Nya tentang penghambaan dan kedurhakaan manusia kepada Sang Pencipta.

Apa yang suci ketika Allah SWT letakkan Nabi Adam AS di muka bumi, adalah suci ketika Allah muliakan Muhammad ﷺ menjadi penutup segala nabi. Ketetapan Allah tak akan pernah berubah.

Namun Islam adalah sebuah jalan hidup yang sangat realistis: diperlukan tuntunan praktis dan simbol-simbol yang dapat menjadi fokus keimanan manusia. Karenanya sejak awal kepada Muslim telah diajarkan untuk meluhurkan tiga tempat sebagai pusat suci dunia.

Itulah Ka’bah, Masjidil-Aqsha, dan kemudian, Madinah.

Allah SWT menetapkan bahwa Muhammad ﷺ menjadi Rasulullah ketika integritas kesucian ini dalam keadaan diinjak-injak. Bukan saja oleh kesyirikan yang adalah kezhaliman terbesar, tapi juga secara fisik.

Makkah -dalam hal ini Ka’bah- kala itu dikuasai oleh kaum pagan penyembah berhala. Baitul-Maqdis dijajah oleh Romawi sudah lebih dari 600 tahun.

Tempat ibadah para Nabi sebelum beliau (termasuk Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Zakaria, Nabi Yahya, dan Nabi Isa AS) itu dalam keadaan dihinakan –dijadikan tempat pembuangan sampah dan semua kotoran lainnya oleh orang-orang Romawi.

Taslim dan Tahrir

Tugas Rasulullah ﷺ adalah mengingatkan manusia untuk membebaskan dirinya dari penghambaan kepada apa pun agar dapat sempurna menghamba kepada Allah SWT.

Tugas yang juga dipikulnya adalah membebaskan tempat-tempat yang disucikan Allah agar kesucian itu intact (utuh) di bawah hukum penuh rahmah Allah. Taslim (penghambaan) dan tahrir (pembebasan) adalah tak terpisahkan.

Visi Rasulullah ﷺ tentang pembebasan pusat dan simbol kesucian demi bebasnya manusia menghamba hanya kepada Allah SWT itu menjadi semakin kokoh sejak peristiwa Isra’ Mi’raj, dari Masjidil-Haram ke Masjidil-Aqsha dan ke Sidratul-Muntaha.

Visi tahrir Rasulullah ﷺ itu diterjemahkan dalam serangkaian rencana dan tindakan praktis yang strategis. Termasuk di dalamnya adalah  mendidik dan menanamkan kecintaan di kalangan para Sahabat terhadap Baitul-Maqdis, sedemikian rupa sehingga hanya orang munafik (dan tiga orang Sahabat yang kemudian dihukum boikot) yang mangkir dari perintah jihad Rasulullah di Perang Tabuk.

Rangkaian rencana itu kemudian ditutup dengan langkah puncak: mempersiapkan pasukan jihad terbaik untuk membebaskan tanah-tanah suci.

Pembebasan pertama terjadi melalui Fathu Makkah pada 10 Ramadhan 8 H. Madinah menjadi Haram sesudah hijrahnya beliau. Baitul-Maqdis masih tetap dalam keadaan terjajah, namun beliau tahu, pembebasannya akan terjadi sesudah wafatnya.

Rasulullah ﷺ wafat pada 12 Rabiul Awwal 11 H. Hanya beberapa hari sesudah melepas pasukan khusus yang dipimpin seorang pemuda belasan tahun, Usamah bin Zaid RA, menuju Baitul-Maqdis.

Mengapa Baitul-Maqdis?

Jadi, mengapa peduli dan mementingkan Palestina dan Suriah, dan keseluruhan Baitul-Maqdis?

  • Sebab itulah tuntunan Rasulullah ﷺ: berjihad membebaskan tempat suci dari penjajahan dan kezhaliman.
  • Sebab Baitul-Maqdis akan menjadi titik kebangkitan kedua umat Islam. Titik kebangkitan pertama adalah di Makkah, titik kedua adalah Baitul-Maqdis, dengan ditegakkannya khilafah ‘ala minhajul-nubuwwah.
  • Sebab kita menanti berita gembira sesudah dibebaskannya Baitul-Maqdis, yaitu dibebaskannya Roma.
  • Sebab Baitul-Maqdis barometer umat. Ketika Baitul-Maqdis terjajah, maka seluruh wilayah Muslim –baik Arab maupun non-Arab- dalam keadaan terjajah. Ketika Baitul-Maqdis dibebaskan, maka ketika itu seluruh elemen umat dalam keadaan terbaik dan mulia.

Selama beratus tahun sesudah ‘Umar bin Khaththab RA dan 4000-an Sahabat dengan gagah memasuki Baitul-Maqdis dan menerima kunci kota dari Pendeta Sophronius, Islam dan kaum Muslimin yang minoritas memimpin dengan adil. Dengan izin Allah SWT, keberkahan dan kedamaian tumbuh subur di negeri yang telah dipulihkan kesuciannya bersebab strategi Rasulullah ﷺ dan jihad para Sahabat itu.*/

Peneliti Institut Al-Aqsa untuk Riset Perdamaian (ISA), artikel pernah dimuat di Suara Hidayatullah

No comments: