Ketika Nabi Muhammad SAW Sedih, Marah dan Melaknat
Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia
Pernahkah kita mendengar Nabi Muhamamd SAW bersedih? Jawabnya tentu pernah dan bukan hanya kejadian sekali. Pernahkah kita mendengar beliau marah? Jawabnya tentu pernah dan bukan hanya sekali.
Tetapi pernahkah kita mendengar Rasulullah SAW marah bercampur sedih, sekaligus melaknat dan mendoakan yang jelek-jelek kepada suatu kaum?
Rasanya agak jarang kita mendengar demikian. Sebab, pribadi Rasulullah SAW sejatinya adalah orang paling berakhlak mulia. Beliau orang yang amat sabar, ramah, mudah memafkan, tidak pendendam dan juga amat santun. Semua itu adalah default sifat-sifat Rasulullah SAW menjadi rahmatan lil 'alamin.
Namun, kadang satu kali dalam lintas kehidupan, Rasulullah SAW bisa marah juga. Marah yang bercampur dengan rasa duka yang mendalam, bahkan diteruskan dengan menjatuhkan laknat yang amat dahsyat.
Kejadiannya adalah ketika Rasulullah SAW sedih dan marah sekali tatkala mendengar kabar terbunuhnya 70 orang shahabatnya dibunuh. Tujuh puluh sahabat ini memang bukan sahabat biasa, mereka adalah para ulama yang telah beliau SAW didik bertahun-tahun. Belum pernah beliau SAW merasakan kecewa sedalam itu, sampai reaksinya melaknat dan mendoakan keburukan secara massal kepada suatu kaum.
Boleh dibilang kasus ini sebagai anomali dari sifat-sifat agung yang dimiliki oleh Rasulullah SAW selama ini. Setidaknya, kesan yang selama ini kita dapat dari diri pribadi Rasulullah SAW, agak berbeda dalam kasus ini.
Sebelumnya Rasulullah SAW pernah kehilangan paman dan istri tercinta yang wafat bersamaan di tahun sama. Beliau SAW memang berduka sekali. Sehingga tahun dimana kedua orang tercinta itu wafat disebut dengan tahun duka cita ('amul-huzn). Namun saat itu yang meliputi hati Rasulullah SAW hanya rasa duka saja, tidak dicampur dengan amarah apalagi pakai main laknat segala.
Ketika mendengar paman beliau Hamzah bin Abdul Mutthalib gugur di Medan Uhud, Rasulullah SAW nampak berduka. Sehingga beliau nyaris tidak pernah mau memandang wajah Wahsyi, yang telah membunuh pamannya. Bahkan hingga dikabarkan Wahsyi masuk Islam sekalipun. Tetapi lagi-lagi beliau tidak sampai marah besar dan tidak pernah mendoakan hal-hal yang jelek kepada Wahsyi.
Rasulullah SAW juga pernah ditawari oleh Malaikat untuk menghancurkan Kota Thaif, yaitu ketika penduduk Thaif menyambut kedatangan beliau dengan sambitan dan lemparan batu. Sehingga Rasulullah SAW terpaksa lari pontang-panting menyelamatkan diri, masuk ke sebuah kebun anggur. Saat itulah Malaikat menawarkan jasa untuk membalas sakit hati. Tetapi Rasulullah SAW menggelengkan kepala, tanpa tidak setuju.
Tetapi lain dengan kasus yang satu ini. Duka Rasulullah SAW yang amat dalam bercampur dengan amarah yang luar biasa dahsyat, ternyata menyatu sedemikian rupa, sehingga menimbulkan reaksi yang tidak main-main. Sampai sebulan lamanya beliau SAW mendoakan keburukan kepada kaum yang telah dengan tega membunuh para ulama dari kalangan sahabat.
Coba perhatikan lafaz Doa Nabi ketika mendoakan keburukan atas mereka :
اَللَّهُمَّ اشْدُدُ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِيْنَ كَسِنِيْ يُوْسُفَ
"Ya Allah, keraskanlah siksa-Mu atas (kaum) Mudhar, Ya Allah, jadikanlah atas mereka musim kemarau seperti musim kemarau (yang terjadi pada zaman) Yusuf." (HR Al-Bukhari)
اَللَّهُمَّ الْعَنْ فُلاَنًا وَفُلاَنًا وَفُلاَنًا
"Ya Allah, laknatlah si fulan, si fulan dan si fulan."
Jarang-jarang kita mendengar doa Rasulullah SAW yang redaksinya sangat menyeramkan itu. Biasanya yang kita tahu, Rasulullah SAW mendoakan agar mereka dapat hidayah dari Allah. Tetapi kasus ini memang agak lain.
Ketika Rasulullah SAW Marah
Kisahnya bermula ketika Rasulullah SAW mendengar kabar bahwa ada satu kaum ingin masuk Islam. Dan kabarnya mereka meminta kepada Rasulllah SAW agar mengirim para ulama ahli agama yang akan mengajarkan ilmu agama.
Disebutkan bahwa kaum itu adalah Bani Sulaim yang terdiri dari Kabilah Ri'lin, Hayyan, Dzakwan dan 'Ushayyah. Mereka pura-pura meminta kepada Rasulullah SAW agar mau mengajarkan mereka tentang Islam, padahal di balik sikap itu ada niat jahat yang disembunyikan.
Tentu Rasulullah SAW berbahagia sekali mendengar kabar ini. Sebab kaum itu bukan sekedar ingin masuk Islam, malah bersedia untuk memperdalam ilmu agama. Terdengar sebagai sebuah kabar yang indah, bukan?
Maka Rasulullah SAW pun mengutus para ulama yang ahli di bidangnya kepada kaum itu. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung, sejarah mencatat 70 orang. Tujuh puluh ini terbilang banyak, sebab jumlah ulama terlalu sedikit di masa itu.
Memang nash-nash hadits tidak menyebut istilah ulama saat itu. Sebab memang sebutan untuk para ulama dan ahli syariah di masa itu bukan ulama melainkan qurra'. Sayangnya istilah qurra' ini seringkali diterjemahkan secara harfiyah sebagai para penghafal Al-Qur'an.
Seolah-olah dianggap sama saja qurra' di masa Nabi dengan para penghafal Qur'an di masa kita, yaitu mereka yang semata-mata cuma bisa menghafal 30 juz Al-Qur'an. Tetapi tidak tahu makna tiap ayat, tidak mengerti isi kandunganya, tidak paham hukum-hukum syariat dan detail maqashid syariahnya.
Bahkan nyaris para penghafal Al-Qur'an di zaman kita ini sama sekali tidak melek bahasa Arab, baik pasif atau aktif. Mereka memang bisa baca Al-Qur'an tanpa melihat mushaf, tapi jelas-jelas bukan ulama ahli syariah.
Dan itu 180 derajat berbeda dengan qurra' di masa Nabi. Yang disebut dengan qurra' di masa itu tidak lain adalah mereka benar-benar ahli di bidang hukum-hukum syariah. Bukan sekadar penghafal Al-Qur'an semata. Mereka telah melewati berbagai macam pembinaan langsung dari Rasulullah SAW, bahkan jumlah mereka memang amat terbatas.
Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang amat populer, I'lamul Muwaqqi'in menyebutkan bahwa tidak semua sahabat Nabi merupakan ahli agama dan syariah. Yang merupakan ahli syariah dan mengerti cara melakukan ijtihad dan istimbat hukum jumlahnya amat terbatas, hanya sekitaran 120 orang saja. Sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah total para shahabat yang mencapai 124.000 orang.
Sebab untuk bisa mencetak mereka bukan perkara mudah. Tidak mentang-mentang seorang shahabi itu sering ikut mengaji bersama Nabi, lantas dia dianggap sebagai qurra' atau ahli agama.
Maka apabila Rasulullah SAW mengirim hingga 70-an ulama kepada suatu kaum, berarti ini bukan proyek main-main. Tetapi apa lacur, sesampainya para ulama kesayangan Nabi di Sumur Ma'unah, mereka dibunuh secara kejam semuanya.
Saat itulah tidak ada kesedihan yang lebih menyedihkan yang menimpa Nabi selain kejadian itu. Rasa duka yang mendalam serta amarah Rasulullah SAW saat itu boleh jadi sudah sampai puncaknya. Betapa tidak, atas kejadian itu maka kemudian beliau SAW melakukan qunut nazilah, yang intinya mendoakan kehancuran, keburukan dan juga memohon kepada Allah untuk menghujani kaum itu dengan laknat dan kutukan.
Doa Qunut Nazilah ini dilakukan secara berjamaah, diamini oleh seluruh sahabat yang ikut shalat di Masjid Nabawi. Dalam sehari doa ini dibaca sampai lima kali, artinya setiap kali salat, doa mengutuk dan melaknat kaum itu tetap dibaca. Dan nyaris selama satu bulan penuh doa laknat ini tetap dikumandangkan oleh Rasulllah SAW di masjid setiap kali salat, yang juga diamini oleh semua sahabat.
Kalau kehilangan sahabat yang gugur di medan perang, bagi Rasulullah SAW sudah biasa. Perang Badar, Uhud, Khandaq dan seterusnya, adalah perang-perang yang terjadi nyaris secara rutin. Dan dalam tiap perang itu, beliau sudah terbiasa mendengar si fulan dan si fulan dari sahabatnya gugur sebagai syahid.
Tentu Rasulullah SAW bersedih kalau ada sahabat yang gugur di medan jihad. Namun kesedihan beliau SAW tidak seperti sedih dan marah ketika mendengar 70 kader ulama inti dibunuh di sumur Maunah. Sebab nilai para ulama itu memang tidak sama dengan orang awam biasa.
Sebagaimana firman Allah di dalam Al-Quran:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
"Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (QS. Az-Zumar : 9)
Al-Quran sendiri memberikan perlakuan khusus kepada para ulama. Kalau sahabat yang lain dipersilakan ikut jihad semaunya, maka para calon ulama ini benar-benar dilindungi. Salah satunya untuk tidak usah ikut jihad ke medan perang.
Semua ini menujukkan bahwa memperdalam ilmu agama jauh lebih penting ketimbang jihad di medan tempur. Karena itulah Al-Qur'an secara langsung menegur para calon ulama ini, apabila mereka meninggalkan majelis ilmu dan malah ikutan perang. Wallahu A'lam!
(rhs)
No comments:
Post a Comment