Christian Snouck Hurgronje dan Strategi Pemisahan Pribumi-Arab
Kholili Hasib
NAMA Christian Snouck Hurgronje (Snouck) dalam sejarah Indonesia tidaklah asing. Ia tinggal di Indonesia (dulu Hindia-Belanda) sejak tahun 1889-1905 sebagai Penasihat Pemerintah Kolonial Belanda untuk urusan Pribumi dan Arab.
Bagi penjajah Belanda ia pahlawan. Namun bagi bangsa Indonesia yang terjajah, dia mata-mata kolonial yang memiliki pemikiran, gagasan dan ide yang jahat.
Nama dan pemikiran Snouck masih diperbincangkan hingga saat ini. Khususnya bagi bangsa Indonesia.
Pada Sabtu, 13 Mei 2023, Koninklijk Instituut voor Taal–,Land–en Volkenkunde (KITLV) Jakarta bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, dan Galeri Foto Jurnalistik Antara meluncurkan buku biografi Snouck edisi bahasa Indonesia di Perpustakaan Nasional Jakarta.
”Perjalanan hidup yang menarik dari Snouck selama di Arab, Indonesia, dan Belanda. Kisah seorang yang tidak terlalu baik, tetapi ada banyak kekecewaan di akhir hidupnya,” kata Van den Doel, penulis buku biografi Snouck edisi bahasa Indonesia yang juga merupakan Guru Besar Universitas Leiden, Belanda sebagaimana diberitakan kompas.com 13/05/2023.
Kevin W. Fogg, dosen Universitas Oxford, menyebut Snouck sesungguhnya pakar tentang Arab (Arabis). Ia menggunakan kacamata Arab dalam tulisan-tulisannya maupun saran-sarannya kepada penjajah Belanda ketika bertugas di Indonesia. Kevin mencontohkan, dalam buku Snouck berjudul “The Acehnese”, Snouck membanding-bandingkan Islam di Hindia-Belanda dengan preferensi keislaman Arab.
“Karya-karya utama yang ditulis sepanjang karir akademiknya tetap menjadikan Arab sebagai fokus kajiannya. Karya awalnya mengenai Hijaz menjadi landasan bagi penelitian-penelitan setelahnya, baik yang berkaitan dengan metodologi maupun pemahamannya Islam”, tulis Kevin (Kevin W. Fogg, Mencari Arab, Melihat Indonesia: Kacamata Arab Snouck Hurgronje tentang Hindia Belanda, hal. 6).
Keahlian Snouck memang studi tentang Arab. Ia mungkin berpikir bahwa memang studi tentang keislaman tidak mungkin melepaskan dengan studi Arab.
Islam lahir di jazirah Arab, kitab sucinya menggunakan bahasa Arab, dan konsep-konsep kunci tentang agama Islam semuanya berupa istilah bahasa Arab. Oleh sebab itu, barangkali Snouck nekat menyamar menjadi Muslim dengan nama samaran Abdul Ghaffar masuk kota suci Makkah.
Ia berhasrat untuk mengetahui kelemahan-kelemahan agama Islam dan kaum Muslimin. Ternyata kesimpulannya, Arab menjadi kekuatan eksistensi agama Islam.
Harry J. Benda, salah seorang sarjana Belanda, mengatakan ada dua kekuatan yang menjadi ketakutan pemerintah kolonial Belanda; pertama, orang Jawa yang telah melakukan ibadah Haji. Kedua, orang Arab Hadramaut yang hijrah ke Hindia-Belanda (Abdullah bin Abdul Qadir al-Habsyi, Man Nasyara al-Islam? Fi Janub Syarq Asia wa Janub Syarq Ifriqiya, hal. 29).
Mengutip pendapat Snouck, Harry J. Benda menulis:
“Tiap tahun beribu-ribu orang Islam Indonesia pergi naik haji ke Makkah, sebagian dari mereka menetap di sana dalam waktu yang lama untuk belajar dan kembali ke negerinya sebagai pelopor ajaran ortodoksi, yang lambat laun mengganti ajaran sinkritisme yang sebelumnya menonjol dalam Islam Indonesia. Akibatnya, pada akhir abad ke-18 M, di Indonesia terlihat tanda keresahan yang terus meningkat, yang dalam abad 19 M meledak dalam bentuk rententan pemberontakan yang cukup besar, seperti halnya pada 1825 ketika Pangeran Diponegoro memberontak terhadap kekuasaan penjajah “kafir” Belanda” (Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, hal. 44).
Snouck melakukan studi Islam di Indonesia secara total. Tak tanggung-tanggung Snouck menyamar menjadi Muslim dengan nama Abdul Ghaffar, mengunjungi Makkah, pergi ke Yaman, menikahi wanita Muslimah.
Ketika datang dari Makkah, ia memakai surban warna hijau. Bertujuan untuk mengesankan ia berketurunan Nabi Muhammad ﷺ.
Konon, ketika datang pertama kali, tidak banyak orang mengenalnya, ia dipanggil oleh beberapa orang Betawi dengan “sayyid”. Panggilan untuk orang Arab keturunan Nabi ﷺ.
Semua itu dilakukan Snouck untuk menarik orang Islam agar mempercaianya sebagai Muslim tulen dan melakukan operasi intelejen. Ia melakukan politik adu domba (devide et impera).
Mantan Perdana Menteri Indonesia, Adam Malik berpendapat, selama bertugas sebagai Penasihat Pemerintah Kolonial Belanda, Snouck melakukan operasi memisahkan Arab dengan orang Indonesia dengan mengkategorikan Arab sebagai golongan Vreemde Oosterlingen (orang Timur yang asing).
Operasi ini bertujuan agar keturunan Arab itu jangan sampai mendekat atau bersatu dengan bangsa Indonesia. Islam dan Arab bagi Snouck, menurut Adam Malik, sangat berbahaya bagi pemerintah kolonial Belanda (Hamid Algadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan Melawan Belanda, hal. 22).
Padahal, menurut catatan Hamid Algadri, Nusantara bagi warga keturunan Arab sudah dianggap tanah air sendiri. Karena, kedatangan warga Arab di Nusantara sudah berabad-abad lamanya.
Bahkan sejak awal zaman Khulafaur Rasyidin. Mereka datang secara bergelombang ke Nusantara.
Ada diantara mereka yang menetap dan menikah dengan wanita pribumi. Mereka yang datang pada masa penjajahan Belanda karena leluhur mereka sudah ratusan tahun mendahului. Nusantara seperti tanah air kedua.
Bangsa Jawa menerima kedatangan mereka dengan baik, karena bukan untuk menjajah. Tetapi untuk berdakwah, kemudian berbisnis dan membaur dengan masyarakat.
Mereka sangat fasih berbahasa Melayu. Berbeda dengan kedatangan bangsa Barat Eropa.
Sejak awal datang, sikap Bangsa Eropa sudah tidak simpatik. Mereka mempraktikkan penipuan dalam berdagang, melakukan monopoli. Mereka mengusir warga pribumi, lalu menjajah, membunuh dan memerangi bangsa Melayu-Nusantara.
Bagi bangsa Muslim Jawa waktu itu, orang Arab sangat menarik dan baik. Sementara bangsa Eropa itu arogan, sewenang-wenang dan jahat.
Citra buruk dan jahat bangsa Belanda dan Eropa bagi bangsa Indonesia itu rupanya ingin diubah oleh Snouck. Islamofobia diawali dengan Arabfobia.
Arab ingin dikesankan sebagai orang asing, aneh dan jahat. Pemikiran Snouck tentu ada pengaruhnya, namun tidak bagi mayoritas Muslim Indonesia.
Sebab, di Hindia-Belanda, Snouck memiliki pengikut, pecinta dan murid dari orang-orang Jawa sendiri.
Perang Aceh dan Delegitimasi Arab
Snouck termasuk sarjana Belanda yang paling berperan untuk menghentikan peperangan dengan Aceh, yang berlangsung 30 tahun. Sesungguhnya, pemerintah kolonial Belanda frustasi dengan peperangan panjang di Aceh. Karena tidak membuahkan hasil yang maksimal.
Dengan berbagai informasi yang diterima tersebut Snouck Hurgronje mampu meredekan berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh para rakyat Hindia Belanda, khususnya pada Perang Aceh.
Perang Belanda dengan Aceh dianggap gagal. Karena itulah Snouck memberi usulan ke Belanda agar tidak melakukan perlawanan dan cara kekerasan melawan Islam, tetapi dengan cara lunak.
Snouck memberi saran kepada Belanda agar perang dengan Aceh disudahi. Lalu diusulkanlah pendirian Kantor Penasihat Urusan Pribumi (Voor Inlandsche Zaken, Kevin W. Fogg menyebut ini Kantor Urusan Pribumi dan Arab) di Batavia yang dipimpin oleh Sncouck adalah pasca perang Aceh.
Secara resmi, Kantoor Voor Inlandsche Zaken atau Kantoor voor Inlandsche en Arabische Zaken didirikan pada 1922. Namun demikian, pada dasarnya tugas dan wewenang kantor ini sudah ada sejak tahun 1899, yang ditandai dengan diangkatnya Snouck Hurgronje sebagai Adviseur.
Lembaga ini bebas bergerak yang secara rutin menjalin komunikasi dengan konsulat-konsulat Hindia-Belanda di berbagai negara, seperti; Jeddah, Istanbul, Kairo, Singapura, dan Kalkutta. Komunikasi ini dilakukan untuk memonitor pergerakan warga negara Hindia-Belanda di luar negeri, dengan siapa mereka berkomunikasi, ideologi apa yang mereka anut, dan bagaimana hubungan mereka dengan tanah air.
Ringkasnya, dengan keberadaan Kantoor Voor Indlansche Zaken ini bisa berfungsi sebagai roda penggerak dan mengimplementasikan gagasan Belanda melalui kebijakan/aturan formal yang mengikat, dalam menangani urusan pribumi yang terkait dengan Islam. Dengan adanya institusi ini, Belanda dengan mudah menundukan pribumi kedalam sistem hegemoni mereka.
Snouck Hurgronje, yang menjadi penasehat bagi penjajah Belanda untuk urusan pribumi dari tahun 1889 hingga 1905, telah memperingatkan bahaya politik Islam jika diberi kesempatan hidup. Sebuah contoh yang terkenal adalah tarekat Naqsybandi, yang dianggap-nya sebagai akar dari banyak pergolakan sosial (lihat Van Bruinessen 1990).
Sebagai seorang Adviseur, penjajah Belanda banyak memberi keleluasaan dan kepercayaan pada Snouck Hurgronje terkait urusan Islam untuk pemerintah kolonial, khususnya kepada Gubernur Jenderal, Direktur Departemen Kehakiman, Departemen Urusan Dalam Negeri dan otoritas lain yang lebih tinggi.
Topik-topik yang dia berikan bervariasi dari urusan masjid, yurisdiksi agama, pamflet politik-keagamaan, urusan haji, terkait pemimpin Muslim, hingga urusan urusan jimat dan mistik, dan yang tidak kalah penting terkait pergolakan perlawanan terhadap Belanda di bawah panji Islam di Aceh dan daera-daerah daerah lain. (The Hadhrami Arabs in the Netherlands East Indies and Indonesia (1900-1950), Leiden Studies in Islam and Society).
Sebagai penasehat ia terus memberi masukan Hadhrami (istilah keturunan Arab dari Yaman) di Hindia Belanda dan bagaimana Snouk menulis tentang kelompok orang ini.
Menurutnya, sejak dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869, masuknya penduduk asal Hadhramaut ini yang menurutnya awalnya miskin dan terisolasi terus meningkat secara drastis.
Ketika Snouck tinggal di Batavia, setiap tahun ratusan imigran Hadhrami tiba di kepulauan Indonesia; beberapa tinggal sementara, yang lain tinggal secara permanen.
Meskipun jumlah mereka tidak seberapa jika dibandingkan dengan jumlah imigran Tionghoa (China), pemerintah kolonial Belanda justru lebih mengkhawatirkan kedatangan mereka dibanding imigran asal China. Kekhawatiran Belanda atas pengaruh mereka pada proses Islamisasi di Belanda dan Nusantara menyebabkan kecemasan tersendiri bagi penjajah.
Atas hal ini, pemerintah kolonial Belanda sangat fobi dengan Arab khususnya Arab-Hadhrami (keturunan Arab dari Hadramaut Yaman). Oleh sebab itu, operasi Snouck di Indonesia adalah mendelegitimasi atau menghancurkan pengaruh hal-hal yang berbau Arab di Hindia-Belanda.
Secara umum, ada strategi Snouck; pertama, pendekatan historis. Islam di Indonesia bukan berasal dari Arab tetapi dari India dan China.
Bagi Snouck, Islam yang berjalan di Indonesia itu tidak sama dengan praktik Islam di Jazirah Arab. Ia menulis buku dengan judul “Islam Hindia-Belanda” atau diistilahkan “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara”.
Islam di Nusantara ini tidak asli, tapi hasil akulturasi dengan kebudayaan India – China. Islam Hindia-Belanda dianggap khas, lebih asli kejawa-annya.
Kedua, Snouck Hurgronje melakukan pendekatan rasialis. Dalam beberapa keterangannya, Snouck mempercayai bangsa Arab, khususnya Quraisy, memiliki kedudukan khusus bagi umat Islam.
Namun bagi dia, bangsa Arab ini bangsa aneh, tidak terdidik dan terbelakang. Pendekatan ini ia isukan ke publik agar Muslim Hindia-Belanda itu tidak berdekat-dekat dengan bangsa muslim Arab.
Sebab, jika sesama Muslim terjalin persatuan, apalagi terjadi persatuan antara Arab-Pribumi, hal ini menjadi kekuatan yang menjadi kecemasan Belanda.
Snouck adalah akademisi yang tentu saja memiliki pengaruh akademik di dunia intelektual. Snouck telah wafat, tetapi pemikiran dan ide-idenya masih hidup dan masih dipakai.
Dalam berbagai bentuk pemikiran dan gagasan Snouck yang sudah lebih bervariatif masih digunakan. Mungkin saja, gagasanya dihidupkan di era sekarang ini untuk tujuan-tujuan politis dan ideologis tertentu.
Oleh sebab itu, Muslim Indonesia perlu memiliki sikap kritis dan hati-hati. Pemikiran yang dibungkus dengan kajian akademik perlu dijawab dengan argumentasi akademik juga. Inilah tantangan aktual pemikiran Islam di Indonesia.*/Bangil, 17 Mei 2023
Penulis adalah dosen pascasarjana UII Dalwa
No comments:
Post a Comment