Jejak Perjuangan Habaib di Nusantara: Menulis Kitab Sekaligus Melawan Penjajah
PARA ulama keturunan Ahlul-Bait (dikenal sebutan habaib) berperan besar dalam perjuangan di negeri ini, khususnya pada kurun waktu abad ke-13 H, ketika kawasan Nusantara dijajah oleh Belanda dan Jepang
DALAM kondisi negeri yang terjajah, para ulama itu tak henti berdakwah. Mereka juga turut berjuang, baik dengan melakukan perlawanan maupun dengan menyatukan umat Islam. Bahkan di antara mereka ada yang gugur syahid.
Perjalanan dakwah dan perjuangan para ulama bernasab mulia itu direkam dengan baik di berbagai sumber sejarah. Ada banyak habaib yang berdakwah dan berjuang di Nusantara.
Shahib Cikini
Namanya Sayyid Ali bin Husain al-Aththas. Lahir pada tahun 1301 H dari keluarga ulama di Huraidhah Hadhramaut, Yaman.
Ali telah menjadi yatim ketika berumur 1,8 tahun. Meskipun demikian, sang ayah telah memberinya laqab Zainal Abidin.
Sedangkan ibunya adalah seorang syarifah. Dari pendidiknya yang pertama kali inilah Ali bisa mengucapkan dua kalimat syahadat.
Ketika di Hadhramaut, Sayyid Ali berguru kepada para ulama dari kalangan Ba`alawi. Kemudian pada tahun 1327 ia pergi menuntut ilmu ke Makkah dan berguru kepada para ulama ternama, salah satunya Sayyid Muhammad bin Sulaiman al-Ahdal.
Sepulang dari Makkah, Sayyid Ali kembali menuntut ilmu di Hadhramaut. Ibadahnya pun semakin giat. Tiap harinya tidak ada waktu yang tersia-sia sedikitpun.
Usai shalat Shubuh, Sayyid Ali melanjutkan dzikir hingga waktu Dhuha, kemudian pulang. Di rumah, para penuntut ilmu sudah menunggu.
Menjelang Zhuhur, Sayyid Ali pergi ke masjid. Usai shalat langsung mengasuh majelis ilmu hingga Ashar. Setelah shalat Ashar, ia tidak beranjak dari masjid, terus berdzikir, menelaah kitab, atau menyampaikan fatwa bagi siapa saja yang bertanya, hingga saat Maghrib tiba.
Usai shalat Maghrib, Sayyid Ali tetap berada di masjid. Setelah Isya’, ia lanjut mengajar, kemudian setelah itu barulah kembali ke rumah.
Pada tahun 1338, Sayyid Ali hijrah ke Nusantara. Meski sudah menjadi ulama besar, namun hal itu tidak menghalanginya untuk terus menuntut ilmu. Ia berguru kepada para ulama seperti Habib Abdullah bin Muhsin al-Aththas di Bogor, Habib Ahmad bin Abdullah Pekalongan, serta ulama lainnya.
Selanjutnya Sayyid Ali memilih menetap di daerah Cikini Jakarta untuk mengajar dan berdakwah. Itulah sebabnya ia disebut sebagai Shahib Cikini. Majelisnya dihadiri oleh khalayak ramai.
Di samping tak lelah berdakwah, Sayyid Ali juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, ikut serta dalam melawan penjajah, serta melakukan berbagai upaya untuk menyatukan umat Islam.
Sayyid Ali wafat pada tahun 1396. Ia dimakamkan di samping makam Habib Muhsin bin Muhammad al-Aththas.
Shabib Cikini meninggalkan karya antara lain berjudul Taj al-A’rasy fi al-Manaqib al-Habib al-Quthub Shalih bin Abdillah al-Aththas, dua jilid dan diterbitkan di Indonesia. Biografinya antara lain tercatat di Tashnif al-Asma’ (2/33-35) dan Mu’jam al-Ma’ajim (2/1396).
Muhaddits Pejuang
Ada juga habaib yang dikenal ulama besar, pendakwah, dan pejuang. Namanya Habib Salim bin Ahmad bin Husain bin Shalih bin Jindan.
Lahir di Surabaya pada tahun 1319 H, Habib Salim di masa kecilnya menuntut ilmu di Madrasah al-Khairiyah. Kemudian menimba ilmu dari para ulama Alawiyun, seperti Sayyid Muhammad bin Ahmad al-Mihdhar dan Sayyid Abdullah bin Muhsin al-Aththas.
Pada tahun 1360, Habib Salim pindah ke Jakarta. Meski amat padat jadwalnya dalam menyebarkan ilmu dan berdakwah, ia juga turut ke gelanggang dalam perjuangan melawan penjajah, baik Belanda maupun Jepang.
Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjara pada tahun 1363 selama enam bulan dan pada 1375 selama 1,5 tahun. Salah satu bukti kecintaannya pada ilmu dan dakwah adalah mewakafkan perpustakan besar yang bernama al-Maktabah al-Fakhriyah di Jakarta.
Ini adalah perpustakan pribadi terbesar ketika itu.. Indeks bukunya saja tercatat dalam beberapa jilid. Habib Salim Jindan memang pecinta ilmu.
Ia memiliki perhatian besar terhadap periwayatan hadits, sehingga mampu mengumpulkan periwayatan dari ulama dunia, mulai dari timur hingga barat.
Menurut Syaikh Yasin al-Fadani, di masa muta’akhirin, ulama Asia Tenggara yang layak disebut musnid (periwayat) sebanyak 130 ulama. Di antara mereka itu ada beberapa ulama yang memiliki periwayatan terbanyak, salah satunya adalah Syaikh Salim Jindan. (Lihat komentar Syaikh Yasin untuk Kifayah al-Mustafid, hal 3).
Syaikh Abdullah al-Lahji juga menyatakan, “Al-‘Allamah (orang yang amat alim), al-mutafannin (mengusai berbagai disiplin ilmu), keajaiban zaman asy-Syaikh al-Muhaddits, Sayyid Salim…” (al-Mirqat Ila ar-Riwayah wa ar-Ruwah, hal 50).
Karya Habib Salim Jindan dalam ilmu riwayat antara lain al-Asami fi Mu’jam al-Asami. Dalam kitab yang terdiri atas 36 jilid ini ia mencatat biografi para musnid, ulama Hadhramaut, ulama Yaman yang menuntut ilmu di al-Azhar, serta para ulama al-Azhar sendiri.
Disertakan juga biografi para ulama Nusantara yang belajar di Makkah.
Habib Salim Jindan juga menulis kitab dalam bidang Hadits. Salah satunya Syarh Sunan Abu Dawud yang berjudul Fath al-Wadud fi Syarh Sunan Abi Dawud.
Pada tahun 1380, Habib Salim Jindan berguru sekaligus berdakwah di Hadhramaut, Yaman. Sempat punya rencana mendirikan Darul-Hadits, namun belum terwujud. Habib Salim juga pernah menyampaikan periwayatan ilmu di al-Haramain asy-Syarifain (Masjidil-Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah).
Selain dikenal sebagai musnid, Habib Salim Jindan juga seorang ahli nasab (nassabah). Ia menulis banyak karya mengenai nasab seperti ad-Durr wa al-Yaqut, Thurfah al-Alim fi Ma Ismuhu Salim, dan Mathmah al-Wijdan fi Sirah Ibni Jindan.
Biografi Habib Salim Jindan tertatat dalam Tashnif al-Asma’ (1/443-448), al-Mirqat Ila ar-Riwayah wa ar-Ruwah, (hal 50), Shillah al-Khalaf bi Asanid as-Salaf (hal 55), dan lainnya.*/Thoriq, pernah dimuat di Majalah Hidayatullah
No comments:
Post a Comment