Belajar dari Umar bin Abdul Aziz Menerapkan Hukum Islam Secara Bertahap
Belajar dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk menerapkan hukum Islam secara bertahap dikisahkan Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Al-Qardhawi mengatakan tadarruj (tahapan) itu merupakan salah satu Sunah (ketetapan) Allah yang berlaku pada seluruh makhluk ciptaan-Nya. Sungguh Allah telah menciptakan manusia dalam beberapa fase, yaitu dari segumpal darah, kemudian segumpal daging, lalu diberi tulang dan seterusnya.
"Allah juga menciptakan dunia selama enam hari, Allah Maha Mengetahui terhadap setiap hari dari enam-hari tersebut berapa lamanya," ujarnya.
Menurut Al-Qardhawi, sebagaimana Allah telah memerintahkan dengan yang wajib dan melarang dari yang haram dengan proses dan tahapan. "Yang demikian ini karena mempertimbangkan kelemahan manusia dan karena kasih sayang kepada mereka," jelasnya.
Tidak diragukan lagi bahwa syari'at Islam itu telah sempurna, akan tetapi penerapannya pada saat ini memerlukan pengkondisian dan persiapan, untuk dapat mengarahkan masyarakat menuju iltizam (komitmen) kepada keislaman yang shahih, setelah sekian waktu mereka tenggelam dalam kehidupan yang kebarat-baratan.
Beberapa negara telah mulai melaksanakan sebagian dari hal tersebut, sementara sebagaian yang lain masih tetap konsisten dengan atribut kejahiliyahannya.
Ini semua, kata al-Qardhawi, memerlukan usaha dan kesungguhan yang maksimal, sehingga kita mampu menghilangkan kendala-kendala dan meredam goncangan-goncangan. Untuk kemudian berupaya mewujudkan alternatif pengganti dan mendidik kader-kader pelaksana yang terpercaya, yang tergabung padanya antara kekuatan dan amanah (kepercayaan), karena untuk memperoleh kedua-duanya pada diri manusia itu sungguh sulit dan langka.
Umar bin Khattab pernah berkata (berdoa): "Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu akan lemahnya orang yang bisa dipercaya dan kuatnya orang yang fajir (tidak bisa dipercaya dan banyak dosa)."
Oleh karena itu, kata al-Qardhawi, tidak terlarang menggunakan tahapan dalam menerapkan (suatu hukum), karena demi menjaga kondisi manusia dan dalam rangka mengikuti taujih Rasulullah SAW sebagai berikut: "Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan (sikap lemah lembut) dalam segala sesuatu."
Sebagaimana hal seperti ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Ahli sejarah menceriterakan dari Umar bin Abdul Aziz, bahwa anaknya yang bernama Abdul Malik pernah berkata kepadanya, "Wahai bapakku, mengapa engkau tidak melaksanakan hukuman (untuk mereka)? Demi Allah saya tidak peduli meskipun periuk mendidih merebus saya dan engkau selama dalam kebenaran."
Ini adalah ungkapan seorang pemuda yang bertakwa dan penuh semangat. Dia berpikir bahwa bapaknya telah dikaruniai oleh Allah kekuasaan (kepemimpinan) atas orang-orang yang beriman, sehingga dapat menghukum dan memberantas segala bentuk kezaliman dan kerusakan secara spontan tanpa pelan-pelan. Sehingga untuk itu dia siap menerima segala risiko yang akan menimpa. Maka bagaimana jawaban sang ayah sebagai seorang khalifah yang bijaksana sekaligus seorang mujtahid yang faqih?
Umar bin Abdul 'Aziz berkata, "Jangan engkau tergesa-gesa wahai anakku, sesungguhnya Allah pernah mencela khamr dalam Al Qur'an dua kali dan mengharamkannya pada kali yang ketiga. Aku khawatir jika membawa kebenaran ini kepada manusia secara spontan, maka mereka pun menolaknya secara spontan pula, sehingga dari sinilah akan muncul fitnah."
Menurut al-Qardhawi, tampak di sini bahwa khalifah ingin menyelesaikan sesuatu dengan bijaksana dan bertahap, dengan mengambil petunjuk dari manhaj Allah Ta'ala yang telah mengharamkan khamr kepada hamba-hamba-Nya dengan cara bertahap.
Lihatlah alasannya yang benar dan tepat yang membuktikan betapa beliau sangat mendalam kepahamannya dalam hal fiqih Siyasah Syar'iyah: "Sesungguhnya aku khawatir jika aku membawa kebenaran pada manusia secara spontan, maka mereka pun menolaknya secara spontan juga, sehingga dari sinilah munculnya fitnah."
Maksudnya, beliau ingin memberi minum kepada mereka seteguk demi seteguk dan membawa mereka untuk menuju kebenaran itu selangkah demi selangkah.
Pada kesempatan yang lain anaknya pernah masuk ke rumahnya dengan semangat keimanan yang membara, ia berkata sambil emosi, "Wahai Amirul Mukminin! Apa yang akan engkau katakan kepada Tuhanmu besok jika Dia bertanya kepadamu, dengan firman-Nya, "Kamu melihat bid'ah tapi kamu tidak membunuhnya, atau mengetahui sunah, tetapi kamu tidak menghidupkannya?"
Ayahnya berkata, "Semoga Allah merahmati kamu dan semoga membalas kamu dengan kebaikan, wahai anakku! Sesungguhnya kaummu telah mengikat hal itu satu ikat satu ikat, dan ketika aku ingin memaksa mereka untuk melepaskan sesuatu yang ada di tangan mereka, saya tidak aman jika merebutnya dengan keras, karena akan semakin banyak mengeluarkan darah. Demi Allah lenyapnya dunia lebih ringan bagiku daripada penumpahan darah, yang disebabkan karena aku. Apakah kamu tidak rela jika tidak datang kepada ayahmu satu hari dari hari-hari di dunia ini kecuali dia telah membunuh bid'ah dan menghidupkan sunnah pada han itu."
Menurut Al-Qardhawi, bertahap dengan arti seperti ini bisa diterima dan dia termasuk Sunah kauniyah sekaligus Sunah syar'iyah. "Segala sesuatu yang kita tegaskan di sini hendaklah tidak menjadi alasan untuk menunda-nunda dan menyegerakan beramal terhadap syari'at Islam," katanya.
Apalagi sampai mematikan tema (persoalan penting) itu sepanjang zaman atas nama tadarruj (bertahap). Al-Qardhawi mengatakan, yang wajib bagi kita adalah mengikuti siasat Umar bin Abdul Aziz, yaitu hendaklah jangan melewatkan satu hari kecuali sebuah bid'ah akan mati dan sebuah Sunah hidup pada hari itu.
Dengan demikian terwujudlah sebuah tahapan yang baik. Dari sinilah maka esensi tadarruj sesungguhnya adalah menentukan tujuan, menyiapkan perencanaan (planning), menentukan fase dan tahapannya dan memperkuat kemampuan untuk berkhidmah pada tujuan yang telah dicita-citakan.
Oleh karena itu kita dituntut untuk membuat perencanaan dan persiapan agar dapat menciptakan perubahan. Baik dalam aspek pendidikan maupun publisistik (pers dan informatika), secara keilmuan atau sosial kemasyarakatan. Dengan memulai dari sesuatu yang tidak memerlukan tahapan dan tidak pula memerlukan persiapan, tetapi memerlukan keshahihan orientasi dan kebenaran tekad, ketika tekad sudah bulat maka jalan pun menjadi terang.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment