Kisah Ibnu Batutah Naik Haji Tahun 1325, Kakbah Digambarkan Bak Pengantin Wanita
Ibnu Batutah mengawali perjalanan haji pada tanggal 14 Juni 1325 M. Ia menempuh jarak ribuan kilo meter dari Maroko menuju tanah suci Makkah . Jika dihitung pada saat ini dengan menumpang pesawat maka jarak Maroko-Arab Saudi adalah 5.156 km dengan waktu tempuh paling lambat 10 jam 18 menit.
Dalam mengekspresikan kegembiraannya saat melihat Kakbah untuk pertama kalinya, Ibnu Batutah membuat satu deskripsi yang menarik tentang kain kiswah yang menutupi Kakbah: "Seorang pengantin wanita yang ditampilkan di atas kursi pelaminan keagungan, dan berjalan dengan langkah bangga di jubah kecantikan.”
Salinan "Ar-Rihla" karya Ibnu Batutah abad ke-19 (Osama Amin/Wikimedia/MEE)
Ibnu Batutah pantas gembira karena ia berhasil mencapai Kota Suci setelah melalui perjuangan yang amat panjang. Kala itu, naik haji bukan perkara mudah. Dari Maroko, Ibnu Batutah berjalan kaki dan sempat menaiki unta pemberian seorang pedagang. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Tanah Suci sekitar 1,5 tahun.
Sulaiman Fayadh dalam bukunya berjudul "Ibnu Battuta Penjelajah Dunia" menyebut Ibnu Batutah naik haji pada usia 21 tahun 4 bulan. Perjalanannya ke Baitullah inilah yang membawanya berpetualang menjelajahi dunia, dan keberangkatannya untuk menunaikan ibadah hajilah yang menjadi awal perjalanannya untuk mengelilingi dunia. Ia melakukan petualangannya dan memanfaatkan masa mudanya untuk berpetualang dengan menghabiskan waktu selama 30 tahun.
Ibnu Batutah adalah ahli hukum yang kemudian mencatatkan dirinya sebagai musafir paling terkenal di dunia pada abad pertengahan. Lahir pada tahun 1304, penulis Amazigh ini melakukan perjalanan dari negara asalnya Maroko ke seluruh Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan, dan China.
Dalam mahakaryanya, Ar-Rihla (Perjalanan), dia menjelaskan berbagai ritual haji, seperti melempar jumrah dan kurban di akhir ibadah haji .
Nasihat sang Ayah
Tatkala Ibnu Batutah ingin menunaikan rukun Islam kelima, ia memohon izin kepada ayahnya. Hanya saja, sang ayah tidak langsung mengizinkan. Bahkan sang ayah sempat berpikir untuk tidak mengizinkan. Terlalu riskan melepas putranya itu untuk menempuh perjalanan nun jauh di Tanah Suci.
Ibnu Batutah terus meyakinkan sang ayah. Akhirnya, ayahnya bisa mengerti keinginan kuat putranya. Sang ayah pun akhirnya mengizinkan Ibnu Batutah setelah banyak memberi nasihat kepada putranya itu.
Sulaiman Fayadh menyebut sebelum Ibnu Batutah berangkat haji ayahnya memberi nasihat dan pesan-pesan. Sang ayah meminta agar Ibnu Battuta selalu mengirim pesan kepada kedua orang tuanya saat di perjalanan.
Selain itu ayahnya juga berpesan agar Ibnu Batutah menginap atau singgah di tempat-tempat orang yang saleh dan di tempat-tempat ibnu sabil.
Akhirnya berangkatlah Ibnu Batuta ke Baitullah pada hari Kamis, tanggal 2 bulan Rajab tahun 725 H atau tanggal 5 Juni 1324/1325. Sumber lain menyebut tahun 1327. Ia menempuh perjalanan selama satu setengah tahun. Di sepanjang perjalanannya sampai ke Kota Suci, ia melakukan persinggahan di Afrika Utara, Mesir, Palestina dan Suriah.
Bergabung dengan Musafir
Di setiap perjalanannya dari kota ke kota lain ia selalu tinggal dan singgah di rumah orang-orang saleh, sebagaimana telah dipesankan ayahnya. Beberapa di antaranya adalah penguasa di daerah itu, dan beberapa yang lainnya merupakan rakyat biasa.
Perjalanannya menuju Baitullah tidaklah mudah. Banyak sekali cerita duka dan suka yang ia temui. Pada awalnya, ia berangkat haji seorang diri dan berjalan kaki. Namun di perjalanan ia bergabung dengan para musafir, yang satu sama lain belum saling mengenal. Mereka terus berjalan kaki melintasi wilayah Utara Maroko dan Aljazair. Hingga tibalah di Kota Bujayah.
Dalam perjalanan ini, orang-orang berkelompok dengan rombangannya masing-masing. Sementara Ibnu Batutah sendirian. Ia belum mempunyai kelompok. Kelompok-kelompok tersebut mendirikan tenda untuk mereka tidur ketika malam tiba. Untunglah ketika Ibnu Batutah merasa sendirian ada seorang pedagang yang berhati mulia. Diberilah Ibnu Batutah sebuah tenda kecil untuk tempat tidurnya. Tak cuma itu. Pedagang ini juga memberi seekor binatang tunggangan kepada Ibnu Batutah yang disebutnya sebagai dabab.
Kala itu, Ibnu Batutah sudah sangat kelelahan, hingga ia sempat terkena demam. Kendati demikian, Ibnu Batutah tetap melanjutkan perjalanan bersama kelompok-kelompok itu. Ia menunggang dabab pemberian pedagang yang baik hati itu.
Ibnu Batutah mengingat tubuhnya agar tidak jatuh. Namun demam yang menyerang membuatnya hampir menyerah. Ia berkata kepada temannya, “Wahai teman, Allah rupanya telah menentukan kematianku. Aku ikhlas jika aku mati, tidak apa-apa melanjutkan perjalanan menuju Hijaz.”
Menemukan Tambatan Hati
Di dalam petualangannya itu dia tidak hanya menemukan teman baru namun juga menemukan tambatan hatinya. Cerita asmaranya berawal dari perjalanannya menuju Tunis. Pada saat dalam perjalanannya menuju negeri itu, Ibnu Batutah sempat merasa pesimistis dengan tekadnya itu. Ia sempat berpikir akankah perjalanan sampai pada tujuan.
Pada waktu itu, keadaan Kota Tunis sedang sangat tidak baik. Hujan lebat menjadi hambatan bagi Ibnu Batutah dan rombongannya. Baju-baju mereka basah dan kotor karena terkena lumpur.
Untunglah Sultan Tunis masa itu memberi bantuan. Sultan Tunis langsung mengirimkan pakaian. Pakaian itu sangat bermanfaat untuknya dan para musafir lainnya setidaknya bisa dipakai untuk menangkal dan mengatasi demam dan membuat badannya menjadi terasa segar kembali.
Ibnu Batutah dan para musafir lainnya pun segera melanjutkan perjalanan mereka. Ini kali rombongan bertambah, yakni rombongan haji Tunisia. Pada keberangkatannya menuju kota selanjutnya itu, Ibnu Batutah dipercaya sebagai penunjuk jalan. Ia merasa sangat bangga karena mendapatkan kepercayaan itu.
Rombongan para musafir itu mempercayainya karena menurut mereka ia mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih dibandingkan dengan musafir lainnya.
Sulaiman Fayadh menyebut Ibnu Batutah begitu pintar dalam menunjukkan jalan karena ia sangat mengerti rute-rute yang ditempuhnya, sehingga rombongannya tidak akan tersesat.
Sebagai orang yang dipercaya penunjuk jalan, Ibnu Battuta pun berhak mendapatkan pelayanan sebaik-baiknya. Karena ia akan menjadi tamu hakim. Ia bergumam dalam hatinya, “Duhai ayah, jangan cemaskan anakmu. Sebab kini aku telah menjadi tamu hakim, orang yang berilmu sebagaimana harapanmu."
Dengan gagah dan mantap ia berjalan paling depan di antara rombongan. Ia dirikan bendera dan kemudian ia tegakkan, dikelilingi bendera-bendera anggota rombongan yang berjumblah sekitar seratus penunggang kuda.
Sampailah perjalanan ibadah haji itu di Shafaqoh. Tiba-tiba hatinya berdebar dan jiwanya menggelora. Ternyata ia bertemu dengan seorang gadis yang begitu cantik dan menawan. Ia tidak bisa lagi membohongi dirinya bahwa ia tengah jatuh cinta. Ia sangat menyadari bahwa detak jantungnya berdebar begitu cepat saat ia melihat gadis itu.
Ross E Dunn dalam bukunya berjudul "Petualangan Ibnu Battuta Seorang Musafir Muslim Abad ke-14" menceritakan pada saat itu juga Ibnu Batutah bertekad ingin melamar gadis itu menjadi isterinya, karena ia sudah merasa hatinya begitu mantap dan gadis itu selalu hadir di setiap mimpinya.
Perjalanan Ibnu Batutah pun tertunda karena ia melaksanakan pernikahannya. Namun rombongan yang lain tetap melanjutkan perjalanan mereka ke Tripoli dan Libya.
Ibnu Batutah merasa sangat bahagia sekali. Oleh karena itu, ia senantiasa selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Ia sangat berharap pernikahannya itu bisa langgeng dan mempunyai keturunan saleh dan menjadi seorang ilmuwan yang bisa dapat mengembangkan dunia ini, sehingga dunia ini semakin berkembang dan maju dan di Ridhoi Allah SWT.
Hanya saja, apa yang Ibnu Battuta harapkan itu tidak sesuai dengan kenyataan. Di dalam rumah tangganya itu, ia menemukan kesulitan. Ia selalu berbeda pendapat dengan iparnya dan masing-masing selalu memegang teguh pendapatnya sehingga hal itu membuat rumah tangganya kurang harmonis dan kandas.
Pada kondisi demikian, jiwa petualang Ibnu Batutah lahir kembali. Ia akhirnya melanjutkan pengembaraannya di kota Fez. Ketika Ibnu Batutah sampai di Kota Fez dan singgah di sana, ia mengabdikan dirinya dengan menjadi seorang pengajar di sana.
Ia menjalani profesinya sebagai seorang pengajar. Rupanya memang Ibnu Batutah masih belum bisa konsisten dan fokus atas petualangannya itu karena di kota Fez ia kembali jatuh cinta dengan seorang perempuan cantik dan seorang ilmuwan. Kemudian ia pun ingin menikahi perempuan itu. Maka menikahlah Ibnu Batutah dengan gadis idamannya itu.
Ini kali pernikahan Ibnu Batutah dihadiri oleh para rombongan musafir lainnya. Nah, setelah menunaikan ibadah haji yang merupakan perjalanan pertamanya itu, Ibnu Batutah memutuskan untuk menjelajahi Irak dan Persia (tepatnya Iran Selatan), lalu kembali ke Makkah pada tahun 730 H/1330 M.
Hanya saja, dalam bukunya Ibnu Batutah jarang membahas perasaan dan pengalamannya sendiri saat berhaji, selain doa intermiten yang termasuk dalam tulisannya. Satu-satunya yang dianggap mewakili perasaannya adalah ketika ia mendeskripsikan tentang kain kiswah penutup Kakbah.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment