Kisah Imam Abu Hanifah Menolak Jabatan Enak Bergaji Miliaran
Kisah Imam Abu Hanifah (80-150) Hijriyah menolak jabatan enak termasuk di antara kisah unik yang sarat pelajaran berharga. Betapa tidak, di saat banyak orang menginginkan jabatan dan kekuasaan, ulama pendiri Mazhab Hanafi ini justru menolaknya.
Padahal diketahui, jabatan sekelas Qadi (hakim) di masa Dinasti Islam terdahulu bisa mencapai 1.000 Dinar atau setara Rp3,9 Miliar perbulan. Gaji yang sangat menggiurkan untuk zaman sekarang ini.
Imam Abu Hanifah rahimahullah lahir di Kuffah Tahun 80 Hijriyah dan wafat di Baghdad Irak Tahun 150 Hijriyah. Ulama bernama asli Nu'man bin Tsabit bin Zuthi at-Taimi bergelar Imamul A'zham yang artinya imam yang agung. Mazhab yang dirikannnya dikenal dengan kekuatan logika, penalaran dan qiyasnya dalam merumuskan hukum-hukum fiqih
Tak heran jika Mazhab yang didirikannya banyak eksis di berbagai negara seperti di Irak, Afghanistan, Pakistan, Turki, India, China, Rusia, sebagian Mesir, sebagian Afrika Barat dan lainnya.
Dalam satu kajian Pengasuh Ponpes Subuluna Bontang Kaltim, Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq menceritakan, Imam Abu Hanifah dipenjara dua kali semasa hidupnya. Sekali pada masa Umawiyah (Umayyah) dan sekali di masa Dinasti Abasiyah. Sebabnya sama, yakni beliau menolak saat ditawari untuk menjabat sebagai qadhi.
Kenapa beliau menolak? Alasannya lebih kepada masalah ijtihad pribadi para ulama. Banyak ulama terdahulu menolak jabatan kekuasaan dan memilih menjauhinya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Abdullah bin Mubarak dan lainnya. Ada yang mau menerima seperti Qadhi Yusuf, murid langsung Imam Abu Hanifah yang disebut sebagai qadhi qudhat (hakimnya hakim) pertama dalam dunia Islam.
Gaji yang Sangat Fantastis
Tahukah Anda berapa gaji jabatan qadhi yang ditolak itu? Boleh dikatakan nilainya sangat fantastis. Sebagian sejarawan mencatat di masa Dinasti Umawiyah, gaji Qadhi terendah adalah 10 Dinar. Pada masa Abasiyah terendahnya 30 Dinar hingga 300 Dinar.
Jika 1 Dinar hari ini setara dengan nilai Rp3,9 juta, maka gaji perbulan di masa Umawiyah setara Rp39 juta. Sedangkan di masa Abbasiyah mencapai Rp117 juta perbulan hingga Rp1,7 Miliar. Sebagian literatur bahkan menyebutkan gaji qadhi bisa mencapai 1.000 Dinar atau setara Rp3,9 Miliar perbulan, seperti yang diterima oleh qadhi Mesir, Musa bin Munkadir. Itu belum termasuk fasilitas dan tunjangan lain dari kekhalifahan.
Seperti apakah jabatan qadhi itu? Qadhi adalah jabatan karier politik paling bergengsi pada masa Dinasti Islam. Jabatan ini hanya bisa diisi oleh mereka yang berstatus ulama. Bukan sembarang ulama, tapi ulama yang secara umum memiliki pengaruh besar. Karena para qadhi ini selain menjalankan fungsi pemerintahan juga punya peran politik.
Terlebih lagi jabatan Qadhi Qudhat (Hakimnya hakim) yang ditawarkan kepada Imam Abu Hanifah . Posisinya sangat kuat dan berpengaruh. Mereka dengan jabatan Qadhi Qudhat ini bisa menyeret keluarga istana bahkan seorang khalifah untuk dibawa ke pengadilan.
Penguasa dahulu cukup beralasan dan tersinggung ketika tawarannya ditolak. Mereka berpikir ulama ini tidak patriotik. Diajak bela negara malah menolak. Akhirnya karena kesal, mereka memenjarakan ulama yang tak mau dirangkul oleh pemerintah. Memenjarakan ulama karena masalah politik, tentu ini bentuk kezaliman yang tidak bisa dibenarkan.
Namun di sisi lain ada hal yang patut diapresiasi. Penguasa Islam terdahulu sangat memuliakan ulama. Para ulama yang menduduki jabatan negara diberi tunjangan yang cukup dari negara. Namun, Imam Abu Hanifah menolak jabatan enak karena masalah ijtihab pribadi beliau. Semoga ulasan ini bermanfaat.
(rhs) Rusman Hidayat Siregar
No comments:
Post a Comment