Peristiwa Penawanan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab an-Nadariyyah RA

 

Pernikahan dengan Shafiyyah menjadi asas agar kaum Yahudi lebih mudah menerima dakwah Rasulullah ﷺ, beliau bahkan merasakan manisnya iman Islam

Dr. Hassan bin Suleiman

 MUNGKIN ada yang bertanya-tanya, bagaimanakah perasaan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab yang sudah kehilangan ayah, saudara laki-laki dan suaminya dalam perang melawan tentara Rasulullah ﷺ, dan kemudian menjadi istri bagi seseorang yang telah memerintahkan untuk memerangi keluarganya sendiri?

Pertanyaan ini dapat diurai dengan beberapa fakta sejarah untuk menjawab keraguan para penentang hukum Islam. Lantas siapakah sebenarnya istri Nabi ﷺ, Shafiyyah binti Huyay?

Ia adalah Ummul Mu’minin, Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin San’ah, sedangkan ayahnya adalah pemimpin Bani Nadhir, dari suku Lawi (Lewi) bin Nabiyullah Ya’qub (Israil) bin Ishaq bin Ibrahim RA, yang berketurunan Harun bin Imran (saudara Nabi Musa AS).

Tapi kenapa dia disebut “Shafiyyah”? Nama aslinya adalah Habibah, tapi dia disebut “Shafiyyah” karena dia seorang yang suci hatinya, terpilih, serta menjadi kecintaan Nabi ﷺ pada persitiwa Khaibar.

Dia sempat menjadi tawanan tetapi akhirya dia memeluk Islam. Alangkah indahnya setelah dia memeluk Islam, dia menjadi istri Nabi ﷺ, dan juga ibu bagi semua orang beriman (Ummul Mukminin) sebagaimana yang Allah SWT nyatakan dalam al Quran: “Dan istri-isrinya (Muhammad ) menjadi ibu kepada mereka.” (Surah al Ahzab: 6).

Allah SWT juga telah memberikan Shafiyyah RA, sebuah kemuliaan yang tidak diberikan kepada istri-istri Nabi ﷺ yang lain, yaitu dia dari keturunan Nabi, pamannya seorang nabi, dan suaminya juga seorang nabi.

Diriwayatkan dalam Sunan At-Tirmizdhi, dari Anas RA, ia berkata: Hafsah pernah berkata kepada Safiyyah, “Anak Yahudi!”, lalu Safiyyah menangis, tiba-tiba Nabi ﷺ masuk ke dalam rumah dan melihatnya menangis, lalu Nabi menanyakannya: “Kenapa kamu menangis?”, dia menjawab: “Hafsah mengatakan bahwa saya adalah anak orang Yahudi”, maka Nabi ﷺ membujuknya dengan mengatakan: “Kamu itu dari keturunan Nabi, pamanmu itu kan seorang Nabi, kamu juga istrinya seorang Nabi, bukankah itu cukup mulia?” lalu Baginda katakan pada Hafsah: “Takutlah pada Allah wahai Hafsah”. Hadits ini menunjukkan bahwa Shafiyyah adalah keturunan Nabi Harun bin Imran AS, dan pamannya pula adalah Nabi Musa bin Imran AS, dan dia juga istri dari sebaik-baik manusia, Nabi ﷺ.

Nabi ﷺ juga tidak pernah tidur dengan Safiyyah kecuali setelah dia memeluk Islam, kemudiannya dibebaskan dan menjadi istri Baginda ﷺ. Ketika menikahinya, Nabi ﷺ menjadikan pembebasan dari perbudakan sebagai mahar untuknya, kemudiannya Nabi mengadakan walimah untuknya.

Disebutkan dalam kitab Tabaqat al Kubra, dari Ibrahim bin Jaafar, dari ayahnya, dia berkata: Ketika Shafiyyah datang kepada Rasulullah ﷺ, Baginda bersabda kepadanya: “Ayahmu adalah orang yang paling membenciku di antara orang Yahudi sehingga dia wafat”, lalu Shafiyyah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman dalam al-Quran, ‘Tiap-tiap orang tidak akan menanggung dosa orang lain, ia hanya akan menanggung dosanya sendiri.’ Kemudian Rasulullah bersabda: “Pilihlah wahai Shafiyyah, jika kamu pilih Islam, maka aku akan mengawinimu, dan jika kamu pilih agama Yahudi, maka aku akan membebaskanmu, kemudian kamu bisa kembali ke pangkuan kaummu.” Lalu Safiyyah menjawab: “Wahai Rasulullah, aku sudah menyukai Islam dan aku percaya kepadamu sebelum kamu ajak aku untuk memeluk Islam, karena aku telah mengikuti perjalananmu. Aku tidak lagi membutuhkan orang Yahudi, aku juga tidak lagi memiliki ayah atau saudara laki-laki dari kalangan Yahudi, tapi kamu masih memberiku pilihan untuk aku pilih antara kafir atau Islam? Sungguh aku lebih cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dari kemerdekaan atau kembali ke pangkuan kaumku.” Lalu Rasulullah menjawab, “Jika demikian, aku akan mengambilmu sebagai istriku.”

Dalam Sohih al-Bukhori, daripada Anas bin Malik RA, dia berkata: “Ketika kami tiba di Khaibar, sementara Allah membantu Rasul-Nya untuk membuka benteng, kecantikan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, seseorang yang suaminya telah terbunuh saat dia masih lagi seorang mempelai, disebutkan kepada Rasulullah.

Lalu Nabi ﷺ memilihnya untuk menjadikannya sebagai istrinya dan berangkat bersamanya. Ketika kami sampai di sebuah tempat bernama Sidd al-Sahba, Shafiyyah telah suci daripada haidhnya, lalu Rasulullah ﷺ menikahinya. Kemudian, Hais (yaitu hidangan Arab) disiapkan di atas tikar kulit kecil dan Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku, ’Aku mengundang orang-orang di sekitarmu.’”

Itulah majlis pernikahan Nabi ﷺ dan Shafiyyah. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan menuju Madinah dan melihat Nabi sedang membuat semacam bantal dengan jubahnya dan diletakkan di atas unta. Kemudian beliau duduk di samping untanya dan berlutut untuk Shafiyyah, meletakkan kakinya dan menunggang di atas unta itu.

Nabi ﷺ juga pernah bercerita kepada Shafiyyah RA tentang apa yang terjadi antara dirinya dengan ayah Shafiyyah. Beliau selalu membicarakannya, dan beliau selalu meminta maaf kepada Shafiyyah atas apa yang telah terjadi, hingga Shafiyyah tidak merasa ada kebencian terhadapnya.

Oleh karena itu, Shafiyyah RA sebenarnya tidak tinggal bersama Nabi ﷺ dalam situasi yang tidak disukai dan tidak seperti yang diklaim sebagian orang. Bahkan, mereka hidup bersama setelah Shafiyyah masuk Islam, setelah mereka menikah dan setelah hilangnya kebencian itu dari dalam diri Shafiyyah sendiri.

Untuk itu, dia dianugerahkan oleh Allah SWT dengan kehormatan menjadi ibu bagi orang-orang beriman.

Diriwayatkan dalam Sohih Ibnu Hibban, bahwa Shafiyyah berkata, “Sesungguhnya aku dulu sangat benci pada Rasulullah ﷺ, karena dia telah membunuh suamiku, ayahku, saudaraku, tetapi dia selalu meminta maaf kepadaku. Dia berkata: “Suamimu seperti ketua bagi orang yang membenciku, dia selalu mengajak banyak orang Arab untuk membenciku, memerangiku, dia biasa melakukan itu dan ini,” hingga aku tidak lagi merasa benci kepada Rasulullah (karena dia selalu meminta maaf)”.

Shafiyyah RA juga pernah bermimpi akan dinikahi Nabi ﷺ, seperti yang dikatakan mantan suaminya saat masih hidup. Hal ini jelas dibuktikan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dalam Sohih Ibnu Hibban, bahwa Abdullah bin Umar RA berkata: Rasulullah ﷺ melihat luka memar di wajah Shafiyyah, lalu beliau bertanya, “Wahai Shafiyyah, mengapa di wajahmu ada luka memar?” Lalu Shafiyyah menjawab, “Ini memar ketika saya masih bersama mantan suami saya, saat itu saya sedang tidur di pangkuannya dan saya bermimpi. Saya melihat seolah-olah ada cahaya bulan di pangkuan saya, lalu saya bangun dan saya menceritakan hal itu, tiba-tiba dia menampar saya sambil berkata, ‘Apakah kamu mau menikah dengan Muhammad?’”

Ada pertanyaan yang sangat penting untuk kita renungkan, yaitu, apa sebenarnya tujuan Nabi ﷺ menikahi Shafiyyah? Apakah hanya karena kecantikannya? Sudah pasti tidak. Tapi Rasulullah ﷺ menikahinya karena kemuliaan dan derajatnya yang tinggi.

Shafiyyah juga sudah kehilangan keluarganya, jadi Rasulullah ﷺ menikahinya sebagai ganti yang lebih baik daripada apa yang sudah hilang. Pernikahan Baginda dengan Shafiyyah juga menghasilkan sebuah hubungan perkawinan campur antara kaum, kaum Baginda dan kaum Yahudi, agar dapat mengurangi permusuhan atau kebencian mereka.

Pernikahan itu jugalah yang menjadi asas agar kaum Yahudi lebih mudah menerima dakwah Rasulullah ﷺ. Shafiyyah RA juga sebenarnya sudah mengetahui tujuan mulia Baginda itu, dan ia sendiri menemukan tanda-tanda tujuan mulia itu dalam rumah tangganya bersama Nabi ﷺ.

Jadi pastinya ia dapat merasakan perbedaan antara kegelapan agama Yahudi dan cahaya Islam. Shafiyyah juga dapat merasakan manisnya iman, dan ia sendiri sangat tertarik dengan akhlak Nabi ﷺ sehingga cintanya kepada Allah SWT sudah melebihi cintanya kepada ayahnya, suaminya, keluarganya dan seluruh umat manusia.

Ketika Nabi ﷺ jatuh sakit, Shafiyyah RA sendiri dapat merasakan perasaan Baginda saat itu. Dia sendiri berkeinginan dan membayangkan seolah-olah berada di tempat suami tercintanya.

Ibnu Hajar menyatakan dalam kitabnya al-Isabah, sedangkan Ibnu Sa’d menyatakan dalam Tabaqat al-Kubra, bahwa Zaid bin Aslam RA berkata: Ketika istri-istri Nabi ﷺ berkumpul secara massal ketika beliau berada di dalam keadaan sekarat, Shafiyyah binti Huyay berkata;

“Demi Allah! Ya Rasulullah, biarkan aku menjadi orang yang merasakan sakit ini, aku lebih suka melihatmu tidak kesakitan.” Mendengar kata-katanya, istri-istri Nabi yang lain saling mengedipkan mata seolah tidak mempercayainya, tetapi Baginda ﷺ terus mengatakan, “Sesungguhnya, Shafiyyah benar-benar bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan.”

Semoga Allah meridhoi Shafiyyah binti Huyay. Betapa banyak wanita di zaman sekarang ini yang perlu meneladaninya. Mereka tidak semestinya meniru penyanyi atau aktris selebriti.

Shafiyyah RA adalah wanita ideal dan mulia, cerdas, keturunan bangsawan, cantik, bahkan kecantikannya membuat istri-istri Nabi lainnya iri padanya, hingga Zainab binti Jahsy berkata, “Kecantikannya akan mengalahkan kita semua.” Karena itu, kita bisa memahami mengapa para istri Nabi yang lain seolah berlomba-lomba untuk mengalahkan Shafiyyah RA.

Catatan sejarah telah mencatat beberapa episode kehidupan yang menunjukkan betapa lemah lembut dan bijaksananya Shafiyyah RA, di antaranya adalah ketika seorang hamba wanita mendatangi Umar bin al Khattab RA dan berkata:

“Sesungguhnya Shafiyyah menyukai hari Sabtu (seperti Yahudi) dan sering menjalin hubungan dengan orang Yahudi.” Lalu Umar RA bertanya kepada Shafiyyah sendiri tentang hal itu. Shafiyyah menjawab, “Sebenarnya aku tidak menyukai hari sabtu lagi karena Allah telah menggantinya dengan hari Jumat untukku, dan aku menjalin hubungan dengan Yahudi hanya karena aku berasal dari kalangan mereka. Lalu Shafiyyah bertanya kepada hamba wanita (yang menuduhnya itu, “Mengapa kamu berbicara seperti itu tentang saya, seolah-olah kamu ingin memburukkan saya?” Pelayan itu menjawab, “Setan membuatku berbicara seperti itu.” Shafiyyah berkata kepadanya, “Pergilah, kamu bebas sekarang.”

Shafiyyah RA juga merupakan orang yang selalu memberikan nasehat kepada para sahabat dan membimbing serta mengingatkan mereka kepada Allah SWT. Sebagai contoh, kita bisa melihat ketika beberapa sahabat berkumpul di ruang kamarnya sambil berdzikir dan membaca Al Qur’an.

Ketika mereka membaca sepenggal ayat Al Qur’an yang ada tanda sujud, lalu mereka semua bersujud. Kemudian, Shafiyyah yang berada di balik tirai, berkata kepada mereka: “Kamu bersujud dan membaca Al-Qur’an, tapi kenapa kamu tidak menangis?”. Bisa jadi ayat tersebut adalah sebagaimana firman Allah SWT:

﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ* الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ* أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ﴾

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman (yang imannya sempurna) adalah orang-orang yang hatinya gementar ketika nama Allah (dan sifat-sifat-Nya) disebut; dan ketika ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, itu membuat mereka bertambah imannya, dan kepada Tuhannya mereka berserah diri.” (2)

Mereka juga adalah orang-orang yang mendirikan shalat dan menyumbangkan sebagian dari apa yang telah Kami limpahkan kepada mereka.(3)

Mereka adalah orang-orang beriman yang sejati. Mereka akan mendapat derajat yang tinggi di sisi Tuhannya dan ampunan serta karunia yang melimpah (di Surga).(4) (Surah al Anfal: 2-4)

Akhir sekali, Safiyyah RA pernah hidup pada zaman Khulafa’ ar-Rasyidin, bahkan ia juga sempat hidup sezaman dengan Muawiyah RA, dan sebelum meninggal ia mewariskan uang sekitar seribu dinar kepada Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq RA.

Kemudian beliau wafat pada tahun ke-50 Hijrah Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’. Begitulah kisah salah satu Srikandi Islam, Ummul Mu’minin Shafiyyah binti Huyay, semoga Allah meridhoinya dan seluruh Ummul Mu’minin.

Kutipan tentang sejarah akhlak mulia Srikandi ini diharapkan dapat memberikan pelajaran bagi yang mencintainya, dan menjadi pedoman bagi yang menentangnya. Wallahua’alam.*

Penulis dosen di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM)

Rujukan:

1.        Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ as-Sohih Sunan at-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1998).

2.        Muhammad bin Saad bin Muni’ Abu Abdillah al-Basri, at-Thabaqat al-Kubra, (Beirut: Dar Sadir, 1968).

3.        Ibnu Kathir, Abu al-Fida’, Ismail bin Umar, al-Bidayah wa an-Nihayah, (Giza: Dar Hijr, cet 1, 1997).

4.        Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, al-Adab al-Mufrad, (Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiyah, cet 3, 1989).

5.        Ibnu Hibban, Muhammad bin Hibban bin Ahmad, Sohih Ibn Hibban, (Beirut: Muassasah ar-Risalah, cet 2, 1993).

6.        Ibnu Hajar, Ahmad bin Ali, Abu al-Fadhl al-Asqalani, Fathul Bari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet 2).

7.        Ibnu Hajar, Ahmad bin Ali, Abu al-Fadhl al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, (Kaherah: Dar al-Jiil, 1992).

8.        an-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariyya, Yahya bin Syaraf, Syarh Muslim bi Syarh an-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987).

No comments: