Perspektif Buya A.R. Sutan Mansur, Mr. Sjafruddin, dan KH. Isa Anshary tentang Penanganan Korupsi

 

Buya AR. Sutan Mansur

Sejak berdirinya Indonesia, para pendiri bangsa, tak berhenti berjibaku melawan korupsi, inilah pikiran Buya A.R. Sutan Mansur, Sjafruddin Prawiranegara dan KH. Isa Anshary

 DI BERBAGAI belahan dunia, koropsi sudah lama menjadi momok masyarakat. Yang dirugikan bukan sebatas individu tapi juga merembet hingga bangsa secara komunal.

Maka tidak mengherankan, jika di berbagai negara seperti Indonesia, Amerika Serikat, Tiongkok dan Brasil, diupayakan penanganan serius untuk menanggulangi dan mengatasi problem ini melalu pendirian suatu lembaga untuk memberantasnya.

Di Indonesia ada yang namanya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi); sedangkan di Amerika urusan ini diserahkan kepada Divisi Kriminal dalam Departemen Kehakiman.

Adapun di China ada CCDI (Central Commission for Discipline Inspection) yang bertanggung jawab dalam memberantas korupsi. Sementara Brasil punya istilah Operasi Lava Jato untuk menyelidiki kasus-kasus seperti ini.

Berbagai hukuman pun sudah deberikan untuk menimbulkan efek jera. Dari penjara, denda besar, konfiskasi harta benda hingga ada yang memberikan hukuman mati sebagaimana di Tiongkok.

Semuanya ditempuh untuk mengatasi problem korupsi sekaligus menimbulkan efek jera. Pertanyaannya kemudian, mengapa masih saja terjadi  korupsi? Kalau demikian apa sebenarnya yang perlu dilakukan sebagai penanganan skala prioritas?

Berikut ini, akan penulis sajikan beberapa pendapat tokoh muslim Indonesia seperti: Buya A.R. Sutan Mansur, Sjafruddin Prawiranegara dan KH. Isa Anshary, terkait penanganan korupsi. Mudah-mudahan menjadi sumbangsih bagi pemberantasan korupsi. Bukan saja di negeri ini, tapi juga di berbagai manca negara.

Pandangan Buya A.R. Sutan Mansur

Dalam majalah Suara Muhammadiyah No. 13-14 (Thn. 50/1970: 6) pandangan ulama yang pernah menjadi Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1956-1959) ini diterbitkan dengan judul “A.R. SUTAN MANSJUR: Dlm Memberantas Korupsi Batin Harus Diperbaiki”.

Pada tahun 1970, ketika sedang hangat-hangat kasus korupsi di Indonesia, untuk itu beberapa tokoh diwawancarai untuk dimintai pandangannya, termasuk kepada A.R. Sutan Mansur. Beliau diwawancari saat berada di kediamannya: Jalan Lontar, Tanah Abang, Jakarta. Ketika beliau ditanya tentang pejabat publik yang menjadi sorotan media terkait kasus korupsi yang sedang mencuat, beliau menolak untuk berkomentar.

Hanya saja, secara filosofis –untuk memberantas korupsi– beliau nukil suatu kisah menarik dari buku “Hayātul Hayawān”. Alkisah, suatu hari, ada seorang raja sedang berburu seorang diri dengan penyamaran dan tak diketahui orang kalau dia sebenarnya raja. Pada momen itu, ia menyempatkan diri untuk menginap di salah satu rumah penduduk dusun.

Sang raja dijamu secara wajar dan diberi susu sapi yang segar. Ia kagum dengan kondisi yang disaksikan secara langsung itu. Hidup petani terlihat makmur, kebun subur dan binatang ternak gemuk-gemuk. Ia pun ingin diperahkan lagi susu sapi segar.

Rupanya, susu tak lagi bisa keluar, dan si raja yang menjadi tamu ini menghampirinya karena rasa penasaran sembari bertanya: “Mengapa dari tadi diperah tak kunjung keluar susunya?”

Sejenak kemudian si pemerah susu yang merupakan sanak famili tuan rumah iti tepekur, kemudian menoleh lantas berkata, “Dulu ayah pernah berkata bahwa bila raja kami berbuat zalim atau berniat berbuat zalim, maka hilanglah berkah. Tidak keluarnya susu sapi ini. Mungkin raja kami telah berniat salah.”

Wajah raja yang menyamar jadi orang biasa itu tiba-tiba pucat. Kata-kata si pemerah itu membuatnya berpikir. Kemudian ia minta diperahkan susu kembali sembari mengatakan, “Mungkin rajamu itu sekarang sudah tidak berniat salah lagi”.

Tiba-tiba, ketika diperah, susu kembali keluar, dan raja yang menyamar jadi orang biasa itu pun bisa menikmati kembali susu sapi segar. Setelah menceritakan kisah ini, Buya Sutan Mansur memberikan catatan menarik kepada wartawan majalah Suara Muhammadiyah. Mengapa sampai tak keluar susu? Karena si raja, saat tahu di dusun itu subur dan makmur, dia berniat untuk menaikkan pajak para petani. Kemudian susu bisa  keluar kembali karena si raja mengurungkan niatnya untuk menaikkan pajak.

Lebih lanjut Buya A.R. Sutan Mansur mendandaskan, “Dari lukisan sedjarah itu, pandailah kita mengambil kesimpulannja. Tergantung pada niat.” Maka tidak berlebihan –sebagaimana dalam judul– untuk memberantas korupsi, sebelum lebih jauh melakukan penanganan teknis, maka batin harus diperbaiki. Betapa beratpun hukuman tidak akan menimbulkan jera, jika batin sudah rusak.

Masih terkait hal ini beliau menegaskan, “Berhasil tidaknya itu tergantung kepada baiknja niat mereka.” Di samping itu, menurutnya, perlu ada keberanian untuk kembali. Disarankan juga kepada Pemerintah agar yang diurus jagan soal-soal fisik-lahiriah saja.

Dalam penutupnya beliau menyatakan, “Dalam badan manusia bisa bersembunji barang berbahaja. Karenanja batin harus diperbaiki. Pantjasila tidak bisa dipermainkan dan Pantjasilais adalah mereka jang betul2 sudjud kepada Allah.”

Pandangan Sjafruddin Prawiranegara dan KH. Isa Anshary

Pada 25 November 1951 –sebagaimana diberitakan koran Harian Abadi No. 267—dihelat suatu acara Rapat Umum oleh Persatuan Islam (Persis) di Gedung Komedi. Dalam momen itu, di antara pembicaranya adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan KH. Isa Anshary.

Dalam pidatonya, Sjafruddin Prawiranegar menyoroti kemunduran moril. Banyak praktik-praktik korup terjadi. Bukan saja di lapisan terendah masyarakat tapi juga para pejabatnya.

Katanya, “Tidak sadja di lapisan terendah dalam masjarakat, akan tetapi djuga di kalangan2 pemerintah, aparat2 negara dari atas sampai bawah, terdjadi korupsi.” Bahkan tuturnya, “Sekalpun hanja menerima sekaleng rokok jang dikasih oleh seorang pedagang sebagai hadiah kepada seorang pegawai negeri, akan tetapi jang demikian itu terhitung djuga suatu perbuatan jang tidak pada tempatnja.”

Hal lain yang juga disoroti Sjafruddin adalah ketika ulama telah meninggalkan pos keahliannya kemudian berpindah menjadi pejabat pemerintah padahal secara kemampuan tidaklah teruji. Hal ini turut memperburuk terjadinya kemerosotan moril seperti korupsi.

Sjafruddin juga menanggapi kaum terpelajar yang menyarankan agar gaji dinaikkan agar kebutuhan ekonomi pejabat bisa terpenuhi agar tak terjadi korupsi. Sjafruddin membantahnya, bukan itu akar persoalannya. Karena, di lapangan, walau sudah dinaikkan gaji, korupsi terus terjadi.

Dalam kesimpulannya, korupsi tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberantas kemelaratan saja, tapi perlu adanya kerjasama segenap lapisan. Karena itu beliau juga mengingatkan kepada para pejabat yang dengan jabatannya tak malu memperkaya diri. Hal itu harus dikendalikan. Sebab, kalau hanya mengandalkan polisi dan aparat kekuasaan, maka susah korupsi diberantas.

Senada dengan Sjafruddin, KH. Isa Anshary mengingatkan para ulama yang haus akan kedudukan padahal itu bukan keahliannya. Perbuatan itu disebut beliau, “Menjesatkan diri sendiri.” Terkait korupsi, secara tersirat beliau mengingatkan, “Kepada kaum pemimpin rakjat supaja hidup agak sederhan, sesai dengan anjduran2 jang dilakukan mereka kepada rakjat, jaitu berkedja keras dan memikul segala penderitaan dengan ketabahan hati.” (Selesai Nukilan)

Dari ketiga tokoh muslim tersebut, dapat disimpulkan bahwa korupsi bisa diberantasi dengan diawali perbaikan batin. Kemudian, masing-masing pihak dari masyarakat hingga pejabat berkomitmen saling mengingatkan untuk menjaga pola hidup sederhana, demikian juga para ulama, supaya tak tergiur memegang jabatan yang tak dikuasainya serta fokus merawat umat, aparat kepolisian perlu dibantu, tidak bisa mengandalkan sepenuhnya kepada mereka.

Di samping itu –meminjam statemen KH. Isa– masing-masing pihak perlu bekerja keras dan memiliki ketabahan hati, dalam upaya memberantas korupsi.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: