Sadah Ba’alawi dan Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia
Alwi Alatas
DALAM beberapa waktu belakangan ini terjadi perdebatan sengit di media sosial berkenaan dengan nasab kaum Ba’alawi serta hubungannya dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kaum Ba’alawi di Indonesia memiliki asal usul dari Hadramaut, Yaman.
Di masa lalu mereka biasa disebut dengan gelar sayyid (plural: sadah) dan sekarang ini populer dengan sebutan habib (plural: Habaib).
Mereka yang belakangan ini mengkritik kaum Ba’alawi menyatakan bahwa Ba’alawi bukanlah keturunan Nabi Muhammad ﷺ sebagaimana yang selama ini dikenal oleh banyak orang.
Selain itu, sebagian mereka juga menuduh kalangan Ba’alwi serta organisasi Rabithah Alawiyah yang menaunginya sebagai bentukan dan pelayan kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Tulisan ini tidak akan membahas tentang nasab Ba’alawi yang sudah banyak diperbincangkan di media sosial. Fokus tulisan ini adalah tentang hubungan di antara kaum Ba’alawi dan pemerintah kolonial Belanda serta meluruskan beberapa tudingan yang beredar di tengah masyarakat terkait dengan hal ini.
Ada beberapa isu yang akan didiskusikan di sini, yang satu sama lain saling berkaitan;
Pertama adalah pernyataan yang menyebutkan bahwa kaum Ba’alawi atau habaib hadir di Indonesia karena didatangkan oleh pemerintah kolonial. Kedua adalah tuduhan bahwa status habaib sebagai keturunan Nabi merupakan arahan dari pemerintah kolonial Belanda, antara lain lewat peranan L.W.C. van den Berg dan Snouck Hurgronje.
Ketiga adalah tuduhan bahwa para habaib merupakan pendukung pemerintah kolonial Belanda dan mereka berperan dalam melanggengkan penjajahan; contoh utamanya adalah Sayyid Utsman bin Yahya, Mufti Batavia.
Isu-isu di atas akan dibahas satu demi satu di bawah ini.
Ada yang mengatakan bahwa kaum Ba’alawi telah didatangkan oleh pemerintah kolonial ke Hindia Belanda melalui pasar-pasar tenaga kerja, bahkan dikatakan pasar budak. Tetapi sama sekali tidak dijelaskan mereka dipekerjakan di mana dan di bidang apa. Apakah mereka dipekerjakan di perkebunan, pertambangan, atau selain dari itu?
Sejauh yang penulis ketahui, anggapan di atas tidaklah benar. Yang lebih tepat adalah kaum Ba’alawi dan orang-orang Arab Hadrami lainnya datang ke Hindia Belanda atas keinginan dan cara mereka sendiri.
Banyak dari mereka yang tertarik dengan peluang ekonomi yang ada di Hindia Belanda dan mereka biasanya berprofesi sebagai pedagang. Raffles (1965: 75) menyebutkan di dalam History of Java bahwa banyak dari orang Arab yang ada di Hindia Belanda berprofesi sebagai pedagang, lebih banyak lagi yang berperan sebagai ulama.
Snouck Hurgronje (1994: IX/1814) di dalam sebagian nasihatnya kepada pemerintah kolonial Belanda memberi saran agar kedatangan imigran baru dari Hadramaut disekat oleh pemerintah.
Ini mengindikasikan bahwa orang-orang Hadrami itu datang sendiri dan kehadiran mereka dilihat sebagai masalah oleh sebagian orang Belanda. Dokumen-dokumen di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta yang mencatat kedatangan imigran Hadrami ke Hindia Belada juga umumnya mencatat profesi mereka sebagai pedagang.
Tuduhan bahwa status habaib atau Ba’alawi sebagai keturunan Nabi merupakan arahan atau rekayasa pemerintah kolonial Belanda, maka ini merupakan pandangan yang kontradiktif.
Nasab habaib – atau dalam hal ini nasab Ubaidillah bin Ahmad bin Isa – sebagai keturunan Nabi setidaknya sudah muncul dan disebut di beberapa kitab pada abad ke 9/10 Hijriah (15/16 Masehi), sebagaimana yang dinyatakan oleh KH Imaduddin Utsman al-Bantanie (2023, 23-24) yang mengkritik nasab habaib.
Artinya sebelum kemunculan Snouck di penghujung abad ke-19, kalangan Ba’alawi sudah dikenal sebagai keturunan Nabi.
Selain itu, mustahil pemerintah kolonial Belanda dapat merekayasa nasab habaib tanpa menimbulkan protes suku-suku Hadrami lainnya yang tidak ikut dijadikan sebagai keturunan Nabi, yaitu kalangan syaikh (plural: masyaikh).
Jika status Ba’alawi sebagai keturunan Nabi baru dimunculkan oleh Belanda pada era itu, tentu hal itu akan diketahui dan diperdebatkan sejak awal oleh masyarakat Hadrami pada ketika itu, tetapi hal ini sama sekali tidak kita dengar.
Sebenarnya pada tahun 1867 – ini sebelum L.W.C van den Berg memulai karirnya di Hindia Belanda dan ketika itu usia Snouck Hurgronje baru sepuluh tahun – orang-orang Hadrami sudah hadir di Hindia Belanda. Begitu pula, istilah “sajid” (sayyid) dan “sech” (syaikh) sudah digunakan dan muncul di koran Belanda (“Executoriale verkoop van onroerend goed,” 1867, 7).
Istilah sayyid merupakan gelar yang pada masa itu biasa digunakan oleh keluarga-keluarga Hadrami yang menghubungkan nasab mereka dengan Nabi Muhammad ﷺ, dan istilah syaikh digunakan oleh keluarga-keluarga Hadrami lainnya.
Selain itu, jika ada akademisi yang melakukan penelitian di Arsip nasional RI di Jakarta untuk periode awal abad ke-20, maka ia akan dengan mudah menemukan nama-nama Ba’alawi pada entri “sayyid” dan nama-nama Hadrami lainnya pada entri “syaikh” di dalam, misalnya, gulungan “Klapper Bogor”.
Artinya hal itu merupakan status sosial yang sudah dikenal luas di tengah masyarakat Hadrami pada masa itu dan pemerintah kolonial hanya mencatatnya saja.
Memang pada pertengahan tahun 1910-an dan dekade-dekade berikutnya terjadi konflik dan perpecahan serius di antara kaum Ba’alawi dan Masyaikh – yang mana kedua belah pihak kini sudah kembali berhubungan baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik yang terjadi ketika itu memiliki akar permasalahan yang sama dengan konflik yang terjadi belakangan ini, yaitu berkenaan dengan stratifikasi sosial dan ketidaksetaraan status sosial-keagamaan.
Terlepas dari itu, pada dekade-dekade 1910-an-hingga 1930-an tidak berkembang tuduhan terhadap sadah Ba’alawi bahwa mereka adalah agen pemerintah kolonial Belanda.
Sebenarnya, ketika kaum Ba’alawi berusaha untuk mendesak pemerintah Hindia Belanda agar memberikan dukungan bagi mereka dalam isu tertentu, mereka tidak berhasil melakukannya. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memutuskan untuk bersikap netral.
Poin yang baru saja dipaparkan di atas sedikit menjawab persoalan ketiga, yaitu apakah sadah Ba’alawi merupakan pendukung pemerintah kolonial yang kemudian berperan dalam melanggengkan penjajahan. Di bawah ini akan dijelaskan lebih jauh tentang masalah ini.
Berkenaan dengan Sayyid Utsman bin Yahya, Mufti Batavia, memang sikap beliau yang memilih untuk bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda merupakan sesuatu yang kontroversial. Walaupun di sisi lain, Sayyid Utsman juga memiliki jasa dalam penyebaran ilmu agama Islam lewat buku-buku dan murid-muridnya.
Sikap Sayyid Utsman yang bersahabat dengan pemerintah kolonial sebenarnya tidak mewakili pandangan seluruh kaum Ba’alawi pada masa itu. Sayyid Utsman telah mendapat kritik keras dari kalangan Ba’alawi sendiri, khususnya mereka yang menjadi pendukung pan-Islamisme.
Tersebarnya gagasan pan-Islamisme di akhir abad ke-19 telah membuat hubungan di antara sebagian sadah Ba’alawi serta Masyaikh dengan pemerintah kolonial Belanda menjadi cenderung berseberangan.
Orang-orang Belanda sendiri umumnya memiliki prasangka buruk dan ketidaksukaan terhadap orang-orang Arab. K.A. Steenbrink (1989, xix) di dalam kata pengantar buku Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, menuliskan betapa:
“banyak orang Eropa takut berlebih-lebihan terhadap semua orang yang memakai surban atau yang melaksanakan dengan taat ibadah agamanya. Rasa takut ini sering dipupuk oleh tulisan kuasi-ilmiah dalam surat kabar dan majalan popular.”
Rasa takut ini kadang dimanfaatkan oleh pejabat lokal tertentu dengan melemparkan tuduhan fanatisme beragama kepada orang Arab tertentu yang tidak disukainya, agar ia diusir.
Laporan Tahunan Pemerintah Kolonial (Kolonial Verslag) pada tahun 1882 juga pernah melaporkan rencana pemberontakan di Palembang “dengan bantuan seluruh masyarakat arab di tempat itu.” Tetapi hal ini tidak pernah terbukti (Steebrink, 1989, xvii).
Pada akhir abad ke-19, orang-orang Arab pan-Islamis sering menyerang pemerintah Kolonial Belanda lewat tulisan-tulisan mereka di media-media Timur Tengah. Ini membuat pemerintah kolonial jengkel, karena citra buruk yang telah ditimbulkan oleh tulisan-tulisan itu.
Bukan hanya lewat tulisan, ada pula upaya yang dilakukan lewat kunjungan ke Turki. Snouck Hurgronje (1994: IX/1772) menulis di salah satu suratnya yang bertanggal 24 Desember 1900 kepada pemerintah kolonial:
“Salah seorang di antara mereka telah berangkat ke Liverpool dengan kapal yang sama yang dipakai oleh Amin Bey [duta Turki, pen.]. (Liverpool adalah tempat kediaman Kiamil Bey sekarang). Dari sana orang itu terus ke Konstantinopel, di mana ia akan berusaha sekuat-kuatnya untuk membenarkan pendapat-pendapat yang tidak baik tentang pemerintahan Hindia Belanda, di kalangan orang-orang yang berpengaruh di Konstantinopel. Kehadiran orang tersebut di Konstantinopel pantas dianjurkan agar diketahui oleh Duta Belanda di sana. Orang itu bernama Sayid Taha al-Haddad. Dialah yang terutama melawan Sayid Usman, karena ia [Sayid Utsman, pen.] telah membacakan doa pada kesempatan penobatan Sri Baginda Ratu, dan pada setiap kesempatan yang ada Sayid Taha menyatakan perasaan Pan-Islamnya. Banyak di antara orang Arab di sini mengharapkan hasil yang baik dari usaha-usahanya [Sayid Taha] demi keperluan persamaan hak dengan orang Eropa. Maka mereka memang telah memberikan sumbangan uang untuk membayar ongkos perjalanan Sayid Taha tersebut.”
Orang-orang Arab Hadrami di Hindia Belanda, termasuk kalangan Ba’alawi, tidak menyukai stratifikasi sosial yang dibuat oleh pemerintah kolonial. Ini terlepas dari kenyataan bahwa mereka berada di posisi kedua dalam stratifikasi kolonial tersebut, masih lebih tinggi daripada masyarakat pribumi, dan terlepas dari ironi bahwa mereka sendiri mempertahankan stratifikasi sosial yang ada di internal komunitas Arab Hadrami.
Bagaimanapun, mereka merasakan ketidakadilan serta kebijakan kolonial yang diskriminatif, dan karenanya menuntut emansipasi.
Sebagian orang Belanda memiliki kecurigaan yang sangat besar terhadap gerakan pan-Islamisme, bahwa pada akhirnya gerakan itu hendak menyingkirkan orang-orang Eropa dari Hindia Belanda.
“Mengutip tulisan W.E. Asbeck Brusse tahun 1897 tentang Pan-Islam, bahwa tujuan jangka pendek gerakan Pan-Islam di Betawi adalah ‘mendapatkan persamaan status (gelijkstelling) untuk orang Arab dan kemudian untuk semua orang Islam, dengan orang Eropa, atau lebih tepat, untuk menghapuskan perbedaan-perbedaan status sekarang ini dalam peradilan hak dan kewajiban di antara orang Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Jika tujuan ini sudah tercapai, maka menurut pendapat para pengikut Pan-Islam, orang-orang Islam tidak sukar lagi untuk mendapat kedudukan yang lebih daripada orang Eropa dan kemudian memojokkan mereka sama sekali. Serangan Maklumat (majalah Turki, penulis) mempersiapkan pengusiran orang Belanda dari Hindia Timur (Oost-Indie).’” (Algadri, 1988: 80-81)
Pada tahun 1910-an, banyak kalangan Ba’alawi yang ikut berperan dalam perjuangan Sarekat Islam yang pada dekade itu tumbuh dengan sangat pesat dan mengkhawatirkan pemerintah kolonial.
Hanya saja pada akhir tahun 1910-an dan awal 1920-an terjadi banyak perubahan: Turki Utsmani yang menjadi tumpuan harapan kaum pan-Islam semakin mundur dan akhirnya runtuh, berlaku konflik di antara sadah Ba’alawi dan kalangan Masyaikh, dan muncul ideologi komunisme yang memecah Sarekat Islam serta ideologi nasionalisme yang berkompetisi dengan Islam sebagai platform perjuangan.
Pada masa-masa berikutnya, sadah Ba’alawi sepenuhnya beralih ke perjuangan sosial keagamaan dan tidak lagi bersentuhan dengan politik. Demikianlah keadaannya ketika Rabithah Alawiyah didirikan pada tahun 1928, sehingga aktivitas mereka dapat dikatakan sunyi dari hiruk-pikuk pergerakan kemerdekaan.
Kendati demikian, sadah Ba’alawi berbaur dengan masyarakat lokal lewat kegiatan-kegiatan keagamaan, misalnya lewat perayaan maulid yang dipimpin oleh Habib Ali bin Abdul Rahman al-Habsyi. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Rabithah Alawiyah setiap tahunnya di Batavia dan dihadiri oleh ribuan orang dari berbagai kota (Alatas, 2021, 81).
Adapun di bidang pergerakan kemerdekaan, sekumpulan anak muda Hadrami dari kalangan masyaikh dan sayyid membentuk Persatuan/Partai Arab Indonesia (PAI). Lewat lembaga ini, mereka bergabung dengan organisasi pergerakan lainnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Secara perorangan, sebagian Ba’alawi ikut melibatkan diri dalam perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Bahkan ada sekumpulan orang Arab yang dipimpin oleh Muhammad Asad Bin Shahab mendirikan sebuah kantor berita Arab (Arabian Press Board/APB) di awal kemerdekaan Indonesia, atau tepatnya pada 2 September 1945 (Salam, 1986: 8-9).
Dalam pemberitaannya, APB menunjukkan keberpihakan kepada pemerintah RI dan karenanya kantor APB pernah digerebek dan dokumen-dokumennya disita oleh militer Belanda di era revolusi. Penjelasan tentang APB pernah penulis sampaikan (Alatas, 2020) di media online Hidayatullah (lihat Orang-orang Arab-Indonesia dalam Arus Pergerakan Nasional dan Kemerdekaan)
Penulis juga mengetahui bahwa ada dari kalangan Ba’alawi yang menyertai perang kemerdekaan dan kemudian terdaftar sebagai veteran pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Tentu saja ini tidak bermakna bahwa kalangan Ba’alawi selalunya baik. Dari kalangan ini banyak bermunculan ulama besar dan orang-orang sholeh.
Tetapi ada juga Ba’alawi yang terlibat dalam hal-hal yang tidak baik. Mereka manusia yang tidak ma’sum. Karenanya penting bagi kalangan Ba’alawi, atau siapapun dari kaum Muslimin, untuk selalu memperbaiki diri dan tidak memandang diri mereka lebih tinggi dari yang lainnya.
Selain itu, sebaiknya dihindari sikap mengungkit dan membesar-besarkan nasab. Masyarakat pada dasarnya tidak suka dibeda-bedakan. Kejarlah ilmu, indahkanlah adab, dan perbanyaklah amal sholeh, insya Allah rasa segan dan cinta akan datang dengan sendirinya, tanpa perlu diminta dan dituntut. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah staf pengajar di bidang sejarah dan peradaban pada International Islamic University Malaysia (IIUM)
Daftar Pustaka
Alatas, Alwi. 2020, 18 Agustus. Orang-Orang Arab Indonesia dalam Arus Pergerakan Nasional dan Kemerdekaan.
Alatas, Alwi. 2021. Rabithah Alawiyah: Rumah Besar Sādah Alawiyyin di Nusantara. Jakarta: Rabithah Alawiyah.
Algadri, Hamid. 1988. Politik Belanda terhadap Islam dan keturunan Arab di Indonesia. Jakarta: Haji Masagung.
Al-Bantanie, K.H. Imaduddin Utsman. 2023. Terputusnya Nasab Habib kepada Nabi Muhammad SAW. Banten: Maktabah Nahdlatul Ulum.
Executoriale verkoop van onroerend goed. 7 Juni 1867. Javasche Courant.
Hurgronje, C. Snouck, et.al. 1994. Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, Vol. IX. Jakarta: INIS.
Raffles, Thomas Stamford. 1965. The History of Java, Vol. 1. London: Oxford University Press.
Salam, Solichin (ed.). 1986. APB, Arabian Press Board: Sejarah dan Perjuangannya. Jakarta: Panitia Sejarah APB.
No comments:
Post a Comment