Syeikh Ahmad Surkati dan Derita Jamaah Haji Indonesia di Makkah
BELUM lama ini sempat beredar sebuah video berdurasi 54 detik yang memperlihatkan sejumlah jamaah haji yang berasal dari kloter 14 Embarkasi Makassar dikabarkan ‘terlantar’ di salah satu hotel yang berada di kota Madinah.
Usut punya usut, setelah ada penjelasan dari ketua kloter yang memimpin rombongan haji yang rata-rata lansia, koper dan jamaah yang menumpuk di depan hotel itu sedang menunggu proses pemindahan dari Hotel Frontel ke Hotel Taiba Front agar satu lokasi dengan koleter lain dari satu asal Embarkasi yang sama.
Kadung telah viral akibat rasa pedulinya jamaah satu negara yang tidak tega melihat jamaah satu bangsa menderita, nitizen di tanah air tak urung akhirnya terkesan membentuk opini seolah pemerintah buruk perangai dalam tata pengelolaan haji tahun ini.
Penderitaan jamaah haji memang bukan hal baru yang pernah dialami. Derita itu bahkan pernah terjadi disepanjang zaman yang bukan saja akibat salah urus dari para penyelenggara.
Meski demikian, hasrat umat Islam untuk melaksanakan kewajiban rukun Islam kelima ini memang tak pernah surut sepanjang zaman. Sudah sejak berabad-abad lamanya umat Islam termasuk dari Nusantara berdatangan silih berganti tak pernah henti berlayar sepanjang musim haji, melaksanakan rukun haji di Makah dan berziarah ke Masjid Nabawi di Madinah.
Di masa penjajahan saat negeri ini masih berstatus sebagai negeri Hindia Belanda, setelah mulai beroperasinya kapal uap jamaah haji dari Nusantara jumlahnya bahkan semakin meningkat dan tiba di pelabuhan Jeddah setelah mereka berbulan-berbulan berada diatas gelombang mengarungi luasnya samudera dengan satu tekad, memenuhi panggilan-Nya ke Baitullah.
Jamaah Haji Nusantara berdatangan dari berbagai pelosok baik dari kalangan rakyat biasa hingga para penguasa, raja-raja dan Sultan. Sebagian dari mereka menambah status sosialnya dengan gelar haji yang konon memiliki latar belakang sangat politis sebagai alat kontrol dan indentifikasi pengawasan penguasa penjajah terhadap umat Islam sepulang dari Makkah yang selalu dipandang bahaya dan ancaman, karena perangainya yang berubah sepulang haji dari sikap takut menjadi pemberani.
Tidak sedikit dari hikayat kaum kiri yang juga melukiskan mereka yang bergelar haji itu yang pada akhirnya menjadi incaran pemerintah penjajah karena haji-haji tersebut dianggap sebagai biang kerok kerusuhan dan pemberontakan, sebut saja antaranya adalah Haji Misbah di Banten dan kisah roman yang terlukiskan pada buku sastra “Hikayat Siti Mariah” karangan Hadji Moekti.
Di Makkah mereka yang menunaikan ibadah haji di masa itu, bukan saja sekedar melaksanakan rukun dan sunnah berhaji. Umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul dan berinteraksi berbagi informasi penting tentang kondisi bangsa masing-masing.
Tidak sedikit ada yang memanfaatkannya guna menimba ilmu agama pada ulama masyhur di Tanah Haromain termasuk dari Nusantara, sebut saja Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Kedua ulama besar itu bahkan kelak menjadi guru para ulama Nusanatara dan dari rahimnyalah melahirkan dua orang muridnya yang mendirikan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah (1914) dan Nahdlatul Ulama (1926).
Jamaah haji yang menimba ilmu di Masjid al-Haromain ini umumnya mengikuti halaqoh-halaqoh yang banyak dijumpainya dan ada yang secara khusus sengaja belajar agama dengan intesif hingga memperoleh syahadah pada saat mereka kembali pulang yang kelak lulusanya itu menjadi ulama Indonesia yang berpengaruh.
Sebut saja Kiai Hadji Ahmad Dachlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah dan Kiai Hadji Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama (NU). Dan banyak ulama lainnya yang tersebar di Nusantara.
Beberapa ulama terdahulu lulusan haji dari Makkah lainnya itu adalah Haji Miskin dari Minangkabau. Ia tiba dari Hijaz ke tanah air tahun 1803.
Kemudian bersama Haji Sumanik dan Haji Piobang yang juga alumni haji dari Makkah, mereka kemudian mengembangkan gerakan Paderi di Sumatera Barat.
Tujuan utama gerakan ini adalah mengembangkan pemurnian ajaran Islam untuk melawan praktik-praktik tradisional setempat. Munculnya gerakan ini juga tidak disukai oleh Belanda yang dianggap sebagai cikal bakal pemberontakan di tanah Minang.
Karena itu sejak kedatangan Haji Miskin dkk serta munculnya gerakan Paderi, penjajah Belanda mulai mengawasi secara ketat pelaksanaan ibadah haji.
Belanda takut para alumni haji ini akan membawa pemikiran baru lalu mengembangkan gerakan untuk menentang kolonialisme, sebagaimana gerakan yang telah dikembangkan Pan-Islamisme yang dicetuskan oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani.
Berangkat dari ketakutan itulah, pada 1825, Belanda mulai mengeluarkan berbagai peraturan urusan haji, salah satunya disebut sebagai ordonansi haji. Dengan ordonansi ini Belanda memberlakukan ongkos naik haji yang sangat tinggi dan biaya pajak yang sangat fantastis hingga 110 gulden besarnya.
Bukan hanya itu saja, Pemerintah kolonial mengawasi pula aktivitas pribumi selama bermukim di Makkah. Warga pribumi yang menetap di Makkah dalam pengawasan pemerintah kolonial Belanda tersebut utamanya adalah mereka yang sedang menuntut ilmu agama yang jumlahnya saat itu diperkirakan mencapai hingga ± 400 orang, bahkan konon mendekati 7000 orang.
Angka-angka tersebut bersumber pada sebuat berita yang dimuat dalam majalah Pandji Poestaka, majalah berbahasa melayu yang diterbitkan pertama kalinya oleh Balai Poestaka tahun 1922.
Jamaah haji asal Indonesia yang kemudian menetap di Makkah untuk belajar, kehidupan mereka tergantung dari kiriman orang tua dan anggota keluarganya di tanah air. Tapi sejak pengawasan yang teramat ketat dari pemerintah kolonial yang bukan saja berdampak pada gerak geriknya yang diawasi dengan ketatnnya, pengiriman uangpun di awasi dan dibatasi dan bahka ada yang terpaksa dihentikan karena tekanan yang kuat dan aturan menyulitkan yang dibuat oleh Pemerintah Belanda.
Akibatnya para pelajar yang bermukim di Makkah harus menderita yang berkepanjangan dan tidak sedikit tinggal di pojok-pojok masjid mengharap bantuan dari belas kasih jamaah yang datang silih berganti disetiap musim haji tiba. Untuk kembali pulang, mereka tidak lagi memiliki ongkos dan bekal yang cukup.
Upaya untuk mengatasi penderitaan agar dapat kembali pulang ke tanah air mereka upayakan dengan segala ikhtiar yang dilakukan. Salah satunya adalah meminta bantuan kepada pihak Pemerintah Kolonial di Batavia yang dianggap sebagai biang keladi.
Namun ini sia-sia dengan alasan Pemerintah Kolonial tidak mampu membiyai kepulangannya karena jumlahnya dinilai sangat besar. Usaha lainnya adalah mengharap pertolongan kepada Raja Hijaz, ini pun berujung nihil karena kondisi keuangan kerajaan yang saat itu tidak memiliki kemampuan untuk membantu dalam jumlah yang besar.
Situasi penderitaan ini digambarkan oleh majalah Poestaka Pandji dan tampilnya seorang tokoh yang kemudian mampu mencarikan jalan keluar untuk mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi oleh para pelajar di Makkah dengan isi kutipannya sebagai berikut;
“Pembatja tahoe, bahwa di Makkah banjak anak Hindia jang moekim, perloe menoentoet ‘ilmoe agama. Dimasa sebeloem melését kaoem keloearganja disini koeat mengirimkan wang ketanah Soetji itoe diperhentikan. Meréka menanggoeng sengsara, makin lama makin sangatnja. Hendak poelang kemari ta’ ada wang. Minta pertolongan kepada Pemerintah, Pemerintah ingin menolongnja, tetapi ta’ ada padanja wang. Dipintanja pertolongan kepada baginda Radja Hidzaj, sia-sia poela, sebab bagindapoen ta’ beroeang.”
Djika seorang doea jang perloe ditolong, djadilah. Tetapi setelah diselidiki ternjata ada lebih koerang 4000 orang; bahkan ketika diperiksa lebih saksama, konon kabarnja bilangan itoe mendekati 7000. Apa daja?. Di Betawi atas andjoeran t.Ahmad Sjoorkati, pemimpin Al-Irsjad, berdirilah soeatoe komité oentoek menolong hadji-hadji jang menanggoeng sengsara itoe. Beliau poela Voorzitternja.”
Comite Kesengsaraan Moekimin di Makkah
Di tengah kebuntuan dalam mencari solusi mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi di Makkah itulah, dari kutipan berita yang dimuat dalam majalah “Poestaka Pandji” itu, pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah, Syeikh Ahmad Surkati, tampil mengambil peran dalam mengatasi permasalahan dan kesulitan yang di derita oleh mukimin selama di Makkah dan atas inisiatifnya kemudian dibentuknya Comite Penoeloeng Hadji-hadji jang terlantar di Hijaz.
Pada tanggal 11 Januari 1938 ada sekitar 3.113 jamaah haji yang masih bermukim di Makkah, padahal saat itu tengah terjadi Perang Dunia Kedua (1939-1945) dan keadaan di Tanah Suci sangat sulit untuk bertahan hidup.
Lahirnya Komite ini mendapatkan sambutan dari berbagai pihak di tanah air, terutama oleh mereka yang sedang menanggung penderitaan di Makkah, bahkan dalam waktu yang hampir bersamaan sudah berhasil terbentuk komite cabang dibeberapa kota di jawa dan di daerah lainnya di luar pulau jawa.
Komite ini selain bekeria untuk mengidentifikasi nama-nama jamaah haji asal daerahnya, juga ditujukan untuk penggalangan dana melalui jaringan Syeikh Ahmad Surkati lewat organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang karenanya menjadikan Komite ini sukses dalam menjalankan aksi dan misinya.
Komite yang diketuai langsung oleh Syeikh Ahmad Surkati ini, di daerah sering kali disebut orang sebagai “stichting soorkattie”. Surkati sendiri telah mendorong didirikannya komite serupa oleh Perkumpulan-Perkumpulan Umat Islam dan secara bersinergi bekerjasama dengan komite yang dibentuknya.
Di antaranya yang berhasil dibentuk adalah Comite Kesengsaraan Moekimin di Makkah. Dalam waktu yang relatif cukup singkat, komite yang dibentuk oleh Syeikh Ahmad Surkati berhasil mendulang dukungan dari berbagai pihak dan sejumlah dana berhasil dikumpulkan dari para donatur, terutama dari para pengusaha Arab.
Donasi yang diberikan oleh para pengusaha Arab itu terbilang cukup besar, ada yang mendermakan sebanyak f. 200, hingga f. 925.
Syeikh Ahmad Surkati bersama dengan sekretaris komite juga menemui Gubernur Jenderal Hindia-Belanda. Selain mencari dukungan untuk mendapatkan persetujuan legal komite yang dibentuknya, tercatat nama Gubernur Jenderal Hindia masuk dalam dafar para penyumbang.
Kemampuan Surkati dalam membangun jaringan yang kuat, menjadikan komite yang dibentuknya semakin memudahkan misi yang sedang dijalankan. Koleganya yang berada di Hijaz telah membuka akses proses penanganan selama di Makkah yang menjadikan kerja Komite dapat berjalan dengan mulus.
Selain sebagai seorang ulama yang dihormati, Syeikh Ahmad Surkati pernah menduduki jabatan terhormat sebagai Mufti di Makkah. Ia adalah sarjana asal sudan lulusan universitas Al-Haromain yang berhak mendapatkan gelar al-allamah setelah berhasil merampungkan tesisnya tentang “Qodho wa Qodar” dan beliau disebut-sebut sebagai orang sudan pertama yang mendapatkan gelar akademis bergengsi tersebut.
Kepercayaan dan jaringannya yang luas di Makkah, menjadikan Komite yang dibentuk oleh Surkati ini telah berhasil memberinya jalan keluar dan mengatasi kesulitan yang tengah di hadapi oleh jamaah haji Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Makkah.
Dengan kerjasama yang solid dan pengorganisasian yang rapih, bersama elemen umat Islam di tanah air, dari koneksi yang luas di negara-negara Arab, khususnya di Makkah, Surkati dan Komitenya telah berhasil memulangkan secara besar-besaran alumni haji yang terlantar di Makkah secara bertahap.
Mereka yang berhasil kembali tiba di pelabuhan Tanjung Periok menggunakan kapal-kapal milik Pemerintah Belanda dan Inggris. Dan untuk mereka yang tetap bertahan bermukim di Makkah, berhasil pula diatasinya dengan memberinya bantuan untuk penghidupan yang layak agar bisa melanjutkan selama mukim dan studi di kota suci umat Islam, Makkah al-Mukarromah.*/Abdullah Abukabar Batarfie, Ketua Pusat Dokumentasi & Kajian Al-Irsyad Bogor
No comments:
Post a Comment