Al-Qur'an Menyebut Nabi Adam dan Nabi Daud sebagai Khalifah, Adakah Persamaannya?
Al-Raghib Al-Isfahani, dalam "Mufradat fi Gharib Al-Qur'an", menjelaskan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya.
Lebih lanjut, Al-Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan tersebut dapat terlaksana akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan.
"Tidak dapat disangkal oleh para mufasir bahwa perbedaan bentuk-bentuk kata di atas (khalifah, khalaif, khulafa') masing-masing mempunyai konteks makna tersendiri, yang sedikit atau banyak berbeda degan yang lain," ujar Quraish Shihab.
Menurutnya, kalau kita bermaksud merujuk kepada Al-Qur'an untuk mengetahui kandungan makna kata khalifah (karena ayat Al-Qur'an berfungsi pula sebagai penjelas terhadap ayat-ayat lainnya), maka dari kata khalifah yang hanya terulang dua kali itu serta konteks-konteks pembicaraannya, kita dapat menarik beberapa kesimpulan makna --khususnya dengan memperhatikan ayat-ayat surah Shad yang menguraikan sebagian dari sejarah kehidupan Nabi Daud .
Nabi Daud as sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur'an, berhasil membunuh Jalut: "Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan/kerajaan dan hikmah serta
Jika demikian, kekhalifahan yang dianugerahkan kepada Daud as bertalian dengan kekuasaan mengelola wilayah tertentu. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu pengetahuan.
Makna "pengelolaan wilayah tertentu", atau katakanlah bahwa pengelolaan tersebut berkaitan dengan kekuasaan politik, kata Quraish Shihab, dipahami pula pada ayat-ayat yang menggunakan bentuk khulafa.
"Ini berbeda dengan kata khala'if, yang tidak mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita dapat berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memiliki kekuasaan politik dinamai oleh Al-Qur'an khala'if; tanpa menggunakan bentuk mufrad (tunggal)," katanya.
Tidak digunakannya bentuk mufrad untuk makna tersebut agaknya mengisyaratkan bahwa kekhalifahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan khalifah yang bermakna penguasa dalam bidang politik itu. Hal ini dapat mewujud dalam diri pribadi seseorang atau diwujudkannya dalam bentuk otoriter atau diktator.
Menurut Quraish Shihab, kalau kita kembali kepada ayat Al-Baqarah 30, yang menggunakan kata khalifah untuk Adam as, maka ditemukan persamaan-persamaan dengan ayat yang membicarakan Daud as, baik persamaan dalam redaksi maupun dalam makna dan konteks uraian.
"Adam juga dinamai khalifah. Beliau, sebagaimana Daud, juga diberi pengetahuan --Wa 'allama Adam al-asma' kullaha-- yang kekhalifahan keduanya berkaitan dengan Al-Ardha," jelasnya.
Inni ja'il fi al-ardhi khalifah (Adam) dan Ya Daud inna Ja'alnaka khalifatan fi al-ardh (Daud).
Adam dan Daud keduanya digambarkan oleh Al-Qur'an sebagai pernah tergelincir tetapi diampuni Tuhan. (Baca masing-masing QS 2: 36, 37, dan QS 38:22-25).
Sampai di sini, menurut Quraish Shihab, kita dapat mengambil kesimpulan sementara, yaitu:
(1) Kata khalifah digunakan oleh Al-Qur'an untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini Daud (947-1000 SM) mengelola wilayah Palestina, sedangkan Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelola bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.
(2) Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual, dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu. (Baca QS 20:16, dan QS 38:261.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment