Fuqaha, Sang Penjaga Hukum Islam

 

Dalam Islam, masalah hukum syariah harus dipegang oleh ahlinya, tidak sembarang orang  boleh bicara hukum, kumpulan orang faqih itulah disebut fuqaha

PERKEMBANGAN ilmu fiqih dalam Islam tidak lepas dari peran fuqaha dari jaman sahabat sampai generasi berikutnya. Karenanya, keberadaan mereka merupakan karunia Allah untuk kaum Muslimin.

Suatu ketika Imam  Al-A’masy seorang perawi hadis yang tinggal di Kufah, Iraq, mengisi  kajian hadits. Saat sesi tanya jawab, ada seorang jamaah bertanya tentang masalah yang agak rumit. 

Di majelis itu ada Imam Abu Hanifah. Merasa tidak bisa menjawab, tabi’in yang juga dikenal paling pandai membaca al-Qur’an ini meminta Imam Hanafi menjawabnya.

Pendiri mazhab Hanafi kemudian menjawabnya dengan gamblang dan mudah. Mendengar jawaban itu Imam al-A’masy bertanya kepada salah satu ahli fiqih ini sumber yang dipakainya.

Imam Hanafi pun menjawab sumbernya berasal dari dari hadits yang barusan sang imam sampaikan. Mendengar jawaban itu Imam al-A’masy berkata kepada Imam Hanafi, “Kalian(para fuqaha ) seperti dokter, sedang kami (para ahli hadits) seperti apoteker”. (Alauddin al-Kasani, Badai’ Ash-Shonai’ fi Tartib asy-Syaroi’, VII/337).

Pengakuan Imam al-A’masy ini merupakan bukti bahwa posisi para fuqaha  begitu tinggi dalam ajaran Islam. Fuqaha   merupakan bentuk plural (jamak) dari faqih, yang berarti orang yang paham atau mengerti sesuatu.

Dalam terminologi Islam, faqih diartikan sebagai orang yang paham secara mendalam tentang hukum Islam yang digali dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadits Nabi ﷺ. Kumpulan dari beberapa orang faqih disebut fuqaha.

Dalam Islam, masalah hukum syariah harus dipegang oleh ahlinya. Tidak sembarang orang  boleh berbicara tentang hukum dalam Islam jika tidak memiliki ilmu yang memadahi.  

Di jaman Rasul, persoalan hukum langsung ditangani oleh beliau sendiri baik melalui wahyu maupun ijtihad beliau yang dibenarkan wahyu. Setelah Nabi ﷺ wafat, persoalan hukum yang dihadapi umat Islam semakin luas karena banyak orang-orang non-Arab yang masuk Islam.

Persoalan hukum semakin kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci dalam Al-Quran dan al-Hadits terbatas jumlahnya. Misalnya masalah pengairan, keuangan, kemiliteran, pajak, cara penetapan hukum di pengadilan, dan lain-lain.

Pada masa inilah muncul beberapa sahabat  besar yang mencoba meninterpretasi Al-Quran dan Hadits untuk menemukan hukum yang tidak terperinci dan belum jelas dalam kedua kitab tersebut. Selain itu mereka memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang tidak ada kejelasan dalam nash mengenai hal itu.

Mereka bertindak sebagai mufti dalam masalah hukum dengan memberikan fatwa-fatwa kepada masyarakat. Pada mulanya para sahabat  berdomisili di Madinah. Dengan berkembangnya syiar Islam, mereka berpencar ke berbagai wilayah. Di tempat baru ini mereka memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama.

Di Madinah yang punya otoritas sebagai pemberi fatwa antara lain; Zaid bin Tsabit, Ubai bin Kaab, Abdulloh bin Umar dan Siti Aisyah. Di Makkah ada Abdullah bin Abbas.

Di Kuffah sebagai muftinya yaitu Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud. Di Syam  ada Mu’adz bin Jabbal dan Ubadan bin Shamir.   

Sementara di mesir  terdapat Abdullah bin Ammar (Abdul Wahab Khallaf, Khulashah Tarikh Tasryi’ Islam, h.32).

 Fatwa-fatwa mereka ini kemudian dilanjutkan oleh murid-muridnya dari kalangan tabi’in hingga muncul banyak imam mazhab dalam bidang fiqih. Namun yang terkenal sampai sekarang hanya empat yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali.

Munculnya empat mazhab tersebut telah merepresentasikan perbedaan ijitihad para fuqaha sebelumnya. Hasil dari ijtihad mereka sudah terwakili dalam keempat mazhab tersebut.

Keempatnya memiliki metodologi yang berbeda dalam pengambilan hukum sehingga hasil ijtihadnya juga berbeda. Perbedaan pendapat (ikhtilaf) antar madzhab fiqih maupun ikhtilaf yang terjadi antar ulama dalam satu madzhab bukanlah sesuatu yang tercela, selama perbedaan tersebut tidak pada bagian pokok agama dan keyakinan.

Selama dalam perkara furu’i dan ijtihadi, perbedaan pendapat tersebut malah merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat serta merupakan bagian dari kekayaan tasyri’i pada umat ini.

Adanya perbedaan pendapat di kalangan fuqaha  ini juga tidak menunjukkan adanya pertentangan dalam syari’at, melainkan ini terjadi karena kelemahan manusia dalam memahami syari’at. Dan demi menghilangkan kesempitan (haraj), maka kita dibolehkan beramal dengan salah satu pendapat fuqaha  yang ada.

Tingkatan Fuqaha

Keempat imam di atas disebut sebagai mujtahid mutlak. Adapun ulama yang mengikuti metodologi mereka terdapat beberapa tingkatan. 

Pertama, tingkatan mujtahid fil mazhab, yaitu kalangan fuqaha  yang mengikuti pendapat Imam mazhabnya, baik dalam perkara pokok (ushul) maupun cabang (furu’).

Kedua, tingkatan mujtahid fil masail, yaitu kalangan fuqaha  yang hanya menetapkan hukum selama belum ditetapkan oleh imamnya.

Ketiga, tingkatan ashabut takhrij, yaitu kalangan fuqaha yang hanya mampu menjelaskan atau merinci persoalan-persoalan secara ringkas dan global. Pada umumnya, tingkatan ini bnyak dilakukan kalaangan fuqaha, karena sifatnya yang hanya menjelaskan dan merinci saja.

Keempat, tingkatan ashabut tarjih, yaitu kalangan fuqaha  yang dapat mengetahui dan menetapkan riwayat-riwayat yang lebih autentik dibanding yang lain.

Kelima, tingkatan al-muqalid, yaitu kalangan fuqaha  yang hanya mampu membedakan pendapat antara yang kuat dan yang lemah. Mereka tidak terlalu dominan pada salah satu mazhab.

Mereka hanya mengambil sisi kuat dari berbagai pendapat dan tidak menggunakan pendapat yang mereka anggap itu lemah.

Keenam, tingkatan fuqaha  yang tidak mampu membedakan antara berbagai pendapat fiqih. Tingkatan ini merupakan tingkatan yang paling rendah.

Mereka hanya tahu pendapat kalangan ulama fiqìh, namun tidak mampu mengetahui perbedaan dari pandangan-pandangan itu.

Demikianlah sejarah munculnya khasanah di kalangan fuqaha. Semoga bermanfaat.*/Bahrul Ulum

No comments: