Kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Seekor Anjing Bertabur Hikmah
Gus Musa Muhammad menceritakan kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan seekor anjing yang sarat dengan hikmah.
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah (61-101 H) adalah khalifah terbaik Dinasti Umayyah yang digelari Al-Faruq kedua. Beliau dikenal sebagai pemimpin saleh, ahli ibadah, alim dan zuhud. Umar bin Badul Aziz wafat pada usia 40 tahun.
Mari kita simak penjelasan Gus Musa dalam satu kajiannya berikut ini:
Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah tidak lama sekitar 3 tahun, beliau wafat sebab sakit. Meski sebentar menjabat khalifah, kecintaan beliau terhadap ilmu menjadikannya termasuk sosok ulama pada zamanya. Ia kerap meluangkan waktunya ke Madinah setiap kembali menunaikan Haji dari Makkah.
Sebelum kembali ke Damaskus, di Madinah Umar bin Abdul Aziz banyak belajar kepada imam Malik. Bahkan kedua putranya Al-Amin dan Al-Makmum dikirim ke Madinah untuk menjadi santri Imam Malik.
Keberhasilan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam belajar kepada Imam Malik membuatnya termasuk ulama di zamannya terekam dalam salah satu karya Ibnu Katsir.
Bertemu Seekor Anjing
Dalam karya Ibnu Katsir dikisahkan riwayat Khalifah Umar bin Abdul Aziz bertemu seekor anjing.
وقال محمد بن إسحاق: حدثني بعض أصحابنا قال: كنا مع عمر بن عبد العزيز في طريق مكة فجاء كلب فانتزع عمر كتف شاة فرمى بها إليه، وقال : يقولون: إنه المحروم
Muhammad bin Ishaq berkata telah bercerita kepadaku sebagian sahabat kami yang mengatakan: "Kami pernah bersama Umar bin Abdul Aziz di jalanan Makkah, kemudian seekor anjing datang. Maka Umar mencabut (bagian) bahu (atau paha depan) kambing-nya (kambing yang sudah dimasak), lalu memberikannya kepada anjing tersebut."
Dikatakan: "Orang-orang yang bersamanya mengatakan, "Sesungguhnya anjing itu Mahrum."
Sebelum mengurai kisah ini lebih dalam, kita harus memahami terlebih dahulu arti kata mahrum. Kata ini terdapat dalam Surat Az-Zariyat ayat 19:
وَفِىۡۤ اَمۡوَالِهِمۡ حَقٌّ لِّلسَّآٮِٕلِ وَالۡمَحۡرُوۡمِ
Wa fi amwalihim haqqul lis-saa-ili wal Mahruum.
Artinya: "Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (tidak meminta)."
Dalam terjemah Al-Qur'an bahasa Indonesia, kata Mahrum diartikan "orang miskin yang tidak mendapat bagian." Meski sebenarnya tidak sesederhana itu.
Ada banyak penafsiran dan pemaknaan dari kalangan sahabat, tabi'in, dan ulama. Ibnu Abbas misalnya dan para Imam Mujahid seperti Al-Auzai, az-Zuhri, Malik, Syafi'i, At-Tsauri, Hanafi, Ahmad memaknainya dengan Al-Muharif yang berarti:
لا سهم له في بيت المال، ولا كسب له، ولا حرفة يتقوت منها
Artinya: "Tidak (memiliki) bagian di Baitul Mal, tidak (punya) mata pencaharian, dan tidak (memiliki) pekerjaan yang (dapat memenuhi kebutuhan) makan(nya)."
Sayyidah Aisyah mengartikan Al-Muharif sebagai orang yang kesusahan dalam mendapatkan pekerjaan. Sementara Abu Qilabah, beliau termasuk golongan Tabi'in dan banyak meriwayatkan hadits dari sahabat Anas bin Malik. Abu Qilabah berasal dari Kota Bashrah dan wafat di Syam pada 104 H pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.
Ia mengatakan, bahwa di Yamamah pernah terjadi banjir yang menghilangkan harta seseorang, dan seorang sahabat berkata: "Hadza al-mahrum (orang tersebut adalah mahrum)". Bahkan ia mengatakan:
أعياني أن أعلم ما المحروم
Artinya: "Telah melelahkanku (usaha untuk) mengetahui (makna atau maksud lafad) al-Mahrum."
Kisah di atas menampilkan sebuah contoh "pengamalan" sebuah ayat Al-Qur'an. Perintah baik Al-Qur'an dibuktikan dengan prilaku, tidak hanya dipahami dalam nalar.
Hikmah dan Pelajaran Berharga
Sebagaimana umumnya manusia, kita dapat memahami kebaikan dengan mengatakan di pikiran kita, "ini baik", "itu baik", "hal ini baik" atau "hal itu baik". Tapi pemahaman kita tidak pernah mewujud dalam perbuatan, hanya sebatas pemahaman yang perlahan-lahan terlupakan dengan gerak waktu.
Apalagi, jika kebaikan itu harus dipahami, dimaknai, dan dimengerti terlebih dahulu, seperti kisah di atas. Untuk memahami bahwa anjing atau binatang termasuk dalam kategori al-Mahrum dibutuhkan pengetahuan mendalam.
Pengetahuan yang "dibersamai" dengan keluhuran budi dan kedermawanan hati, sehingga pengamalannya tidak butuh panjang pikir atau kalkulasi eman-emanan (sayang jika diberikan pada binatang).
Kepada manusia saja, kita seringkali berkalkulasi dalam memberi, meski harta yang kita miliki sudah lebih dari cukup, seperti orang kaya yang enggan membayar zakat atau pajak. Apalagi dengan binatang, kita lebih sering memberinya makanan sisa.
Artinya, pemberian kita terhadap binatang bukan pemberian sesungguhnya, melainkan pemberian yang sebenarnya bukan pemberian. Karena kita memberikan sesuatu yang sudah tidak kita butuhkan, dan akan kita buang. Andai pun binatang itu tidak ada, makanan sisa tersebut tetap akan kita buang di tempat sampah. Dengan kata lain, kita sedang memberikan sampah untuk dimakan. Tentu saja, tidak semua dari kita seperti itu.
"Ini menunjukkan bahwa kedermawanan kita masih jauh dari kata tumbuh. Kita masih berada di ruangan yang penuh kekikiran."
Pengetahuan kita tentang kebaikan memberi dan berderma tidak berarti apa-apa, sekadar pengetahuan yang mendekam di pikiran kita. Dan kita seakan-akan tidak pernah berusaha untuk mengubah kebekuan pengetahuan kita itu. Malah, tanpa sadar, kita menganggapnya seperti bukan apa-apa.
Karena itu, kita perlu mengambil keteladanan Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebagai contoh. Ia tanpa ragu memberikan daging bahu (paha depan) kambingnya pada seekor anjing. Bukan makanan sisa yang ia berikan. Ia mencabut atau mengambil daging yang masih utuh, dan memberikannya pada anjing tersebut. Kemudian, orang-orang di sekitarnya mengatakan, bahwa anjing tersebut adalah Al-Mahrum. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim)
Jika binatang saja termasuk dalam kategori al-Mahrum, apalagi manusia? Pertanyaannya, bisakah kita melakukannya?
(rhs)Rusman Hidayat Siregar
No comments:
Post a Comment