Catatan Sejarah: Omong Kosong Yitzhak Rabin tentang Resolusi PBB 242

 Catatan Sejarah: Omong Kosong Yitzhak Rabin tentang Resolusi PBB 242

Yitzhak Rabin. Foto/Ilusrasi: NPS
Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019) mengatakan dikeluarkannya Resolusi 242 oleh Dewan Kemanan PBB pada 22 November 1967, merupakan suatu prestasi diplomatik dalam konflik Arab - Israel .

Resolusi itu menekankan "tidak dapat diterimanya perebutan wilayah melalui perang" dan memuat rumusan yang sejak itu mendasari semua inisiatif perdamaian --tanah bagi perdamaian.

Hanya saja, mengomentari resolusi ini, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin yang menjabat pada 1974 – 1977 mengatakan Resolusi PBB 242 memerlukan perundingan-perundingan antara kedua belah pihak.

"Ini omong kosong," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).

Faktanya, ujar Paul Findley, tidak ada disebut-sebut tentang perundingan-perundingan langsung dalam resolusi itu atau perlunya diadakan perundingan-perundingan sebelum ditariknya pasukan Israel.

Dalam Resolusi itu hanya dinyatakan "meminta Sekretaris Jenderal untuk menunjuk seorang wakil khusus untuk pergi ke Timur Tengah guna menjalin dan menjaga kontak dengan negara-negara yang berkepentingan, untuk mencapai persetujuan dan membantu usaha-usaha mencari penyelesaian damai dan dapat diterima sesuai ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip dalam resolusi ini."

Para pejabat AS diam-diam setuju dengan Israel bahwa harus diadakan perundingan-perundingan untuk mengawali penarikan Israel dari wilayah-wilayah yang direbut dalam perang. Tapi persepsi mereka tentang perundingan-perundingan itu sangat berbeda dari keyakinan Israel di kemudian hari.

Para pejabat AS secara naif beranggapan bahwa begitu resolusi PBB diterima, hanya perundingan-perundingan teknis dan singkat sajalah yang diperlukan antara Israel dan tetangga-tetangga Arabnya untuk melaksanakan rincian-rincian dari penarikan Israel.

Mereka meyakinkan negara-negara Arab bahwa demikianlah permasalahannya, dan negara-negara Arab selanjutnya berkeras bahwa Israel harus menarik diri tanpa syarat. Namun Israel berkeyakinan bahwa perundingan-perundingan itu harus mencakup semua aspek dari penarikan dan perdamaian, termasuk penempatan kembali bukan hanya para pengungsi Palestina melainkan para pengungsi Yahudi dari negara-negara Arab juga.

Karena masalah khusus menyangkut perundingan-perundingan pendahuluan itulah maka Israel mogok melaksanakan resolusi selama enam tahun.

Amerika Serikat berulang kali mendesak Israel untuk menarik diri tanpa perundingan-perundingan terinci tetapi Israel menolak, dan mendesak diadakannya perundingan-perundingan langsung.

Pada 9 Juni 1970, Menteri Luar Negeri AS, William Rogers, mengecam pendirian Israel dengan mengatakan: "Israel harus menjelaskan bahwa ia menerima prinsip penarikan sebagaimana dinyatakan dalam resolusi Dewan Keamanan bulan November 1967 dan bahwa ia tidak lagi mendesakkan rumusan 'perundingan-perundingan langsung tanpa prasyarat.'" Namun Israel menolak.

Perang pecah pada 1973 ketika Mesir dan Syria berusaha mendobrak kemacetan diplomatik dengan serangan militer atas wilayah Arab yang dikuasai Israel.

Masalah perundingan-perundingan awal akhirnya terselesaikan pada akhir perang 1973 dengan keluarnya Resolusi PBB 338, yang menyatakan bahwa "perundingan-perundingan akan dimulai oleh kedua belah pihak yang berkepentingan dengan dukungan selayaknya demi tercapainya perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah."

Akan tetapi, setelah memenangkan soal itu, Israel lantas mulai berkeras bahwa penarikan tidak berarti dari semua garis depan. Ia tetap mempertahankan penafsiran unik atas Resolusi 242 itu hingga hari ini.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: