Jejak Israel: Selalu Melecehkan Resolusi PBB 242
Mantan anggota Kongres AS , Paul Findley (1921 – 2019) mengatakan dikeluarkannya Resolusi 242 oleh Dewan Kemanan PBB pada 22 November 1967, merupakan suatu prestasi diplomatik dalam konflik Arab-Israel.
Resolusi itu menekankan "tidak dapat diterimanya perebutan wilayah melalui perang" dan memuat rumusan yang sejak itu mendasari semua inisiatif perdamaian --tanah bagi perdamaian.
Sebagai ganti ditariknya pasukan dari wilayah Mesir, Yordania, dan Syria yang direbut dalam perang 1967, Israel diberi janji perdamaian oleh negara-negara Arab .
"Resolusi itu menjadi landasan bagi penyelenggaraan pembicaraan-pembicaraan damai antara Israel dan negara-negara Arab yang dimulai di Madrid, Spanyol , pada 1991," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the U.S. - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Perdana Menteri Israel, Menachem Begin, dalam mengomentari resolusi tersebut mengeluarkan omong kosong. "Baik dokumen internasional ini --gencatan senjata 1949 antara Israel dan Yordania-- maupun Resolusi 242 tidak menjadi penghalang bagi klaim dasar Rakyat Yahudi bahwa Tanah Israel secara sah dimiliki oleh Rakyat Yahudi."
Faktanya, ujar Paul Findley, konfrontasi besar mengenai penafsiran tentang Resolusi 242 Dewan Keamanan PBB pecah antara Amerika Serikat dan Israel setelah Menachem Begin berkuasa pada 1977. Meskipun pemerintahan Israel sebelumnya menerima dapat diterapkannya resolusi itu pada semua wilayah --Sinai, Tepi Barat, termasuk Jerusalem Timur milik Arab, Gaza, dan Dataran Tinggi Golan-- Begin berargumen bahwa resolusi itu tidak mencakup Tepi Barat milik Yordania, atau Judea dan Samaria, sebagaimana dia selalu menyebutnya.
Ketika Begin pertama-tama menyatakan secara terbuka bahwa Resolusi 242 tidak membatalkan klaim Israel atas Tepi Barat, Kementerian Luar Negeri AS segera menanggapi dengan pernyataan terbuka: "Kami beranggapan bahwa resolusi ini berarti penarikan mundur pada ketiga garis depan dalam pertikaian Timur Tengah... Ini berarti bahwa tidak ada wilayah termasuk Tepi Barat yang secara otomatis dilepaskan dari pokok-pokok yang harus dirundingkan."
Sebuah telaah Kementerian Luar Negeri pada 1978 mengenai masalah itu, yang dibuat setelah Begin tetap mempertahankan penafsiran uniknya, menyimpulkan: "Kami telah meriset catatan-catatan mengenai perundingan-perundingan terbuka dan tertutup yang menyebabkan diterimanya Resolusi 242, dan penjelasan-penjelasan tentang pemungutan suara dalam penerimaannya, dan kami berkesimpulan bahwa tidak ada keraguan sama sekali bahwa para anggota Dewan, dan Israel... mempunyai inti pemahaman yang sama bahwa prinsip penarikan itu berlaku untuk ketiga garis depan."
Pendapat ini di kemudian hari didukung secara otoritatif oleh pengarang resolusi, Lord Caradon dari Inggris, yang menulis: "Resolusi ini memerintahkan penarikan mundur dari wilayah-wilayah pendudukan."
"Persoalannya adalah wilayah-wilayah mana yang diduduki. Sama sekali tidak ada keraguan dalam persoalan ini. Adalah suatu kenyataan yang sangat jelas bahwa Yerusalem Timur, Tepi Barat, Gaza, Golan, dan Sinai diduduki dalam konflik tahun 1967; penarikan dari wilayah-wilayah pendudukan itulah yang ditetapkan dalam Resolusi itu."
Para pejabat AS telah berkali-kali mengulangi pernyataan ini secara terbuka. Pada Juni 1977, pemerintahan Carter mengeluarkan pernyataan tentang pandangan-pandangannya mengenai unsur-unsur dari suatu perdamaian komprehensif.
Pernyataan itu secara jelas menyatakan bahwa Israel, "dalam ketentuan Resolusi 242, untuk mengembalikan... perdamaian, jelas harus menarik diri dari wilayah-wilayah yang diduduki. Kami berpendapat resolusi itu berarti penarikan dari ketiga garis depan yaitu, Sinai, Golan, Tepi Barat-Gaza... Tidak ada wilayah, termasuk Tepi Barat, yang secara otomatis tidak termasuk pokok-pokok yang akan dirundingkan."6 Lebih dari satu dasawarsa kemudian, Menteri Luar Negeri George Shultz berkata: "Ketetapan-ketetapan Resolusi 242 berlaku untuk semua garis depan."
Omong Kosong
Hanya saja, Arthur Goldberg, duta besar AS untuk PBB justru mengeluarkan omong kosong baru. "[Resolusi PBB 242] berbicara tentang penarikan dari wilayah-wilayah pendudukan tanpa mendefinisikan ruang lingkupnya."
Faktanya, ujar Paul Findley, terdapat makna ganda yang disengaja dalam Resolusi 242. Yakni dalam frasa yang mengatakan "dari wilayah-wilayah" dan bukannya "semua" wilayah.
Tujuan dari frasa itu adalah memungkinkan dibuatnya penyesuaian-penyesuaian perbatasan yang akan meralat jalur-jalur zigzag yang ditinggalkan menjelang akhir pertempuran pada 1948.
Yerusalem Timur milik Arab tidak secara spesifik disebutkan dalam resolusi melainkan dianggap oleh semua negara kecuali Israel sebagai yang termasuk dalam paragraf pembukaan yang menekankan "tidak dapat diterimanya perebutan wilayah melalui perang."
Meskipun terdapat makna ganda, Raja Hussein dari Yordania berulang kali meyakinkan para pejabat tinggi AS pada hari-hari sebelum dikeluarkannya resolusi itu bahwa yang diharapkan hanyalah perubahan-perubahan kecil dalam wilayah itu dan bahwa setiap perubahan akan berlaku timbal balik.
Sebagaimana dijelaskan oleh Menteri Luar Negeri Dean Rusk kepada Hussein pada 6 November, enam hari sebelum dikeluarkannya resolusi:
"Amerika Serikat siap mendukung dikembalikannya sebagian besar dari Tepi Barat kepada Yordania dengan penyesuaian-penyesuaian perbatasan, dan akan menggunakan pengaruhnya untuk mendapatkan kompensasi bagi Yordania atas setiap wilayah yang harus dilepaskannya."
Sebagai ilustrasi, Rusk mengatakan kepada Hussein bahwa jika Yordania melepaskan sedikit wilayah antara Yerusalem dan Tel Aviv yang dikenal sebagai Latrun Salient, "Amerika Serikat akan menggunakan pengaruh diplomatik dan politiknya untuk mendapatkan akses bagi Yordania ke sebuah pelabuhan Laut Tengah di Israel sebagai kompensasi." Hussein menerima jaminan yang sama dari Presiden Johnson dan Duta Besar AS Arthur Goldberg.
Paul Findley mengatakan semua pemerintahan sejak Johnson telah mengulangi jaminan itu kepada Raja Hussein. Misalnya, pada Januari 1983 menteri luar negeri pemerintahan Reagan, George Shultz, menulis dalam sebuah surat untuk Hussein bahwa "sesuai dengan Resolusi 242, Presiden percaya bahwa wilayah tidak boleh direbut lewat perang.
Namun beliau juga percaya bahwa Resolusi 242 memang, memungkinkan perubahan-perubahan dalam perbatasan yang ada sebelum Juni 1967, namun hanya jika perubahan-perubahan semacam itu disetujui oleh kedua belah pihak." Shultz menambahkan bahwa "Amerika Serikat menganggap Yerusalem Timur [milik Arab] sebagai bagian dari wilayah pendudukan."
Baru dalam pemerintahan Bush, Amerika Serikat mulai menepati janjinya untuk mendukung resolusi dengan tindakan. Pada awal 1992, Bush menolak memberi Israel US$10 miliar dalam bentuk jaminan pinjaman kecuali jika Israel berjanji akan menghentikan sama sekali seluruh aktivitas pemukiman di wilayah-wilayah pendudukan dan mau berunding mengenai landasan Resolusi 242.
Hanya saja, di tengah kampanye kepresidenan tahun 1992 dan berkuasanya Yitzhak Rabin, Bush melunak dan menyerahkan jaminan itu, dengan meniadakan hampir semua syarat.
enyerbuan-masjid-al-aqsa-oleh-ekstrimis-yahudi-1695114552">Mesir dan Arab Saudi Kutuk Penyerbuan Masjid Al-Aqsa oleh Ekstrimis Yahudi
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment