Omong Kosong Israel dalam Perang 1967: Menuduh Arab Menyerang Duluan
Mantan anggota Kongres AS, Paul Findley (1921 – 2019) mengatakan perang 1967 adalah yang ketiga dalam konflik Arab-Israel, dan yang paling sukses bagi Israel . Israel meraih semua sasaran perangnya, dan yang paling penting di antaranya adalah didudukinya seluruh tanah Palestina , termasuk Jerusalem Timur yang milik Arab , Semenanjung Sinai milik Mesir , dan Dataran Tinggi Golan milik Syria .
Tidak seperti krisis Suez 1956, ketika tentangan dari Washington berhasil memaksa Israel untuk menarik diri dari wilayah yang telah direbutnya, para pejabat Israel kali ini bersikap hati-hati sekali dalam menanamkan pengertian para pejabat AS tentang posisi mereka.
"Akibatnya Israel tidak mendapatkan tekanan dari AS untuk menyerahkan hasil-hasil yang telah dicapainya," tulis Paul Findley, dalam bukunya berjudul "Deliberate Deceptions: Facing the Facts about the US - Israeli Relationship" yang diterjemahkan Rahmani Astuti menjadi "Diplomasi Munafik ala Yahudi - Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel" (Mizan, 1995).
Pertempuran dimulai pada 5 Juni 1967 dan berakhir pada 10 Juni 1967. Abba Eban, duta besar Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyampaikan pernyaaan yang menurut Paul Findley sebagai omong kosong sebagai berikut:
"Sama sekali tidak diragukan lagi bahwa ... pemerintah negara-negara Arab ... secara metodis mempersiapkan dan melancarkan suatu serangan agresif yang dirancang untuk menimbulkan kehancuran segera dan menyeluruh atas Israel."
Faktanya, ujar Paul Findley, seperti dalam perang 1956, Israel memulai pertempuran pada 1967 dengan suatu serangan mendadak atas Mesir. Sekali lagi, seperti pada 1956, orang-orang Israel memperdaya Amerika Serikat.
Menteri Luar Negeri Abba Eban secara pribadi meyakinkan Duta Besar AS untuk Israel Walworth Barbour bahwa Mesirlah yang pertama kali menyerang.
Namun sejak perang berkobar, para pemimpin Israel --tidak seperti banyak pendukungnya di Amerika Serikat-- secara terbuka telah mengakui bahwa yang menyerang adalah Israel dan, lebih-lebih lagi, bahwa Israel tidak menghadapi ancaman langsung bagi eksistensinya.
Menachem Begin, perdana menteri pada 1982, mengatakan bahwa perang 1967 adalah salah satu "pilihan," bahwa "kami putuskan untuk menyerangnya (Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser)."
Ezer Weizman, bapak angkatan udara Israel dan di kemudian hari menjadi menteri pertahanan, mengatakan pada 1972 bahwa "tidak ada ancaman kehancuran" dari orang-orang Arab.
Jenderal Mattityahu Peled, mantan anggota staf umum yang kemudian menjadi penyokong perdamaian, berkata pada 1972: "Menyatakan bahwa angkatan bersenjata Mesir yang terkumpul di perbatasan-perbatasan kita akan dapat mengancam eksistensi Israel bukan hanya merupakan hinaan bagi pikiran waras setiap orang yang mampu menganalisis situasi semacam ini, melainkan juga hinaan bagi Zahal (angkatan bersenjata Israel)."
Dan Kepala Staf Yitzhak Rabin berkata pada 1968: "Saya tidak percaya bahwa Nasser menginginkan perang. Dua divisi yang dikirimnya ke Sinai pada 14 Mei tidak akan memadai untuk melepaskan serangan melawan Israel. Dia tahu itu dan kami pun tahu."
David Ben-Gurion berkata dia "sangat meragukan apakah Nasser ingin berperang." Lagi pula dinas rahasia Amerika Serikat telah menyimpulkan sesaat sebelum perang bahwa Israel tidak menghadapi ancaman dekat dan bahwa jika diserang Israel dapat dengan cepat mengalahkan setiap negara Arab atau gabungan negara-negara Arab.
Anggota kabinet Israel Mordecai Bentov mengungkapkan pada 1972 bahwa "seluruh cerita" Israel tentang "bahaya pembasmian" itu "hanya dibuat-buat dan dibesar-besarkan untuk membenarkan pencaplokan wilayah-wilayah Arab yang baru."
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment