Pemalsuan Hadis Marak setelah Perang antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
Ulama hadis Bukhari dan Muslim telah membuat kriteria dan persyaratan penerimaan riwayat yang ketat. Persyaratan itu dikenal di kalangan ulama hadis , seperti tersebut dalam kitab-kitab musthalah al-hadits.
"Bahkan, kriteria buatan Bukhari dan Muslim diakui canggih oleh semua ulama," tulis Mahmud az-Zaby dalam buku berjudul "Al-Bayyinat, fi ar-Radd' ala Abatil al-Muraja'at" yang diterjemahkan Ahmadi Thaha dan Ilyas Ismail menjadi "Sunni yang Sunni -- Tinjauan Dialog Sunnah-Syi'ahnya al-Musawi" (Pustaka, 1989).
Itu sebabnya hadis riwayat kedua ulama tersebut dipandang sahih. Para ulama pun menyebut kitab karya Bukhari-Muslim dengan Shahihayn (Dua Kitab Hadits Sahih).
Ilmu musthalah al-hadits dan ilmu al jarh wat-ta'dil, dua metode ilmiah dalam periwayatan hadis yang baku, merupakan jasa dan sumbangan terbesar Bukhari dan Muslim dalam bidang ilmu-ilmu agama.
Metode tersebut menerangkan keadaan perawi hadis, dengan istilah "kuat" (tsiqat) dan "lemah" (dha'if) periwayatannya. "Dengan itu kita dapat mendeteksi para pendusta, yang membuat hadis palsu," tutur Mahmud az-Zaby.
Gerakan pemalsuan hadis yang dipelopori oleh kaum Rafidhah , seusai perang antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abu Sofyan , dapat diatasi dengan metode tersebut.
Menurut ibn Sirin, semula ulama hadis tidak mempersoalkan silsilah-periwayatan hadis (isnad). Tetapi, setelah perang antara 'Ali dan Mu'awiyah, para ulama hadis meminta daftar nama para perawi. Ketika diperlihatkan daftar nama orang Sunni, langsung hadisnya diterima. Tetapi, ketika daftar nama yang mencakup orang-orang pembid'ah dikemukakan, hadis mereka ditolak.
Metode tersebut tidak dimiliki oleh kaum Rafidhah. Bahkan mereka menolaknya, sebab metoda periwayatan Suni itu menghukum mereka sebagai pendusta yang membuat hadis-hadis palsu, seperti diakui oleh ibn Abil Hadid.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment