Konsep Perlindungan Agama Menurut KH. Hasyim Asy’ari

Hasyim Asyari KH. Hasyim Asyari

KH. Hasyim Asy’ari juga mengkritik orang-orang yang menggunakan paradigma takfir, aliran kebatinan, Syiah Rafidhah, pengikut tasawuf menyimpang, dan kelompok Ibahiyyun

Kholili Hasib

PADA Muktamar NU ke-15 di Surabaya pada Desember 1940, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan pidato pembukaan yang menarik perhatian pada kiai dan santri yang hadir.

“Ujian bagi kita belumlah reda. Kini makin terasa betapa semakin hebatnya usaha musuh-musuh Islam hendak memadamkan cahaya Allah SWT. Berulangkali melalui media pers dan mimbar-mimbar dilancarkan serangan penghinaan terhadap junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ. Kami sudah mendesak kepada pemerintah (Hindia-Belanda) agar menempatkan satu fasal dalam peraturan perundang-undangan tentang hukuman bagi orang-orang dan golongan dari mana pun datangnya yang menyerang kesucian Islam serta penghinaan terhadap Nabi Besar Muhammad ﷺ,” demikian potongan pidato KH. Hasyim Asy’ari pada Muktamar NU tersebut.

Perhatian muktamirin pada isu viralnya penghinaan-penghinaan terhadap Islam melalui media massa pada masa itu. Kasus penghinaan itu muncul sejak awal tahun 1900-an hingga menjelang kemerdekaan RI.

Sehingga isu ini pernah diangkat dan diulas oleh media milik NU yaitu “Berita NO (Nadlatoel Oelama)” pada edisi 1 Januari 1938.

Koran Berita NO pada edisi tersebut menyebut golongan anti Arab yang biasa mengeluarkan statemen penghinaan pada Islam. Misalnya ditulis: “….maka dikatakannyalah bahwa mereka itulah bangsa yang membawa tingkah tidak baik, tingkah laku juga merusakkan bangsa dan kebangsaan kita. Akhirnya tumbuhlah aliran anti Arab dalam i’tiqad kita. Apabila aliran ini sudah mencengkeram benar, dan sudah mandarah daging, maka sebagai akibat jug, otomati timbulah kebencian apa-apa juga yang bersifat Arab, terhitung juga Agama juga semula datang dari Arab, Agama Islam”.

Koran NU menilai bahwa fenomena anti Arab itu yang menimbulkan kebancian terhadap Islam dan sunnah-sunnah yang dijalankan oleh umat Islam. Pada tahun itu dari Manado terdengar suara penghinaan terhadap Islam yang dilontarkan oleh oknum bernama Erns Brandt:

Moehammad adalah seorang miskin, penggembala, ia kawin dengan Chatidjah djanda kaja, hartanja dibikin loedes ; Moehammad  istrinja 14 perampas bini orang,  menoeroeti hawa nafsoenja, mana bisa dapat kesoetjian dari orang begitoe ; siapa2 jang tidak soeka ikoet pada agamanja ditoesoeknja, (diboenoehnja) dengan pedang terhoenoes ; orang Islam tjoema sdikit, terdiri dari orang bodoh-bodoh”. (Majalah Adil, edisi 13 Agustus 1938).

Masalah tersebut akhirnya menjadi perhatian KH. Hasyim Asy’ari. Sebab, kondisi umat Islam sedang pada keadaan ujian yang sangat berat. Penjajahan, kemiskinan dan kebodohan.

Tiga keadaan yang sangat rawan mempengaruhi akidah umat Islam. Maka, dalam pidato Muktamar ke-15 di Surabaya itu, KH. Hasyim Asy’ari mengangkat isu perlindungan terhadap agam Islam.

KH. Hasyim Asy’ari merekomendasikan tiga cara untuk melindungi agama Islam; pertama, para ulama bersatu untuk fokus pada isu utama yaitu penghinaan agama, menunda dan mengurangi perdebatan furu’iyyah antar madzhab dan ormas Islam, meminta pemerintah kolonial Belanda untuk menyusun regulasi melindungi hak-hak beragama umat Islam.

Meskipun rekomendasi ketiga bagi KH. Hasyim Asy’ari tidak begitu yakin namun tetap diusahkan. Usul kepada pemerintah kolonial memang akhirnya gagal. Tetapi rekomendasi pertama dan kedua berhasil dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari.

Beliau menjadi pemimpin ukhuwah yang memimpin gerakan menangkis penghinaan terhadap agama.

Dalam sebuah risalahnya yang berjudul Mawa’idz, KH. Hasyim Asy’ari menulis nasihat penting yang ditujukan kepada para ulama. Pendiri Nahdhatul Ulama (NU) ini menyeru para ulama bersatu padu tidak terpecah-belah untuk membela agama Islam, berusaha keras menolak orang yang menghina al-Quran dan Allah SWT, dan memerangi bentuk-bentuk kesesatan.

“Wahai para ulama yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap urusan furu’ (cabang agama), dimana para ulama telah memiliki dua pendapat atau lebih yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). Pertahankanlah agama Islam, berusahalah sekuat tenaga memerangi orang yang menghina al-Quran, menghina sifat Allah dan tunjukkanlah kebenaran kepada para pengikut kebatilan dan penganut akidah sesat. Ketahuilah, jihad dalam usaha memerangi (pemikiran-pemikiran) tersebut adalah wajib” (KH.Hasyim Asy’ari, Mawa’idz, hal. 33 dalam kompilasi kitab KH.Hasyim Asy’ari, Irsyadu al-Sariy fi Jam’i Mushannafati al-Syaikh Hasyim Asy’ari).

Peringatan tentang pentingnya menjaga kesucian agama juga telah ditulis dalam kitab Muqaddimah Qonun al-Asasi li Jam’iyati Nahdhatil Ulama dan Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah. 

Dalam kitab Qonun al-Asasi, KH.Hasyim Asy’ari telah melihat terjadinya kerancuan dalam keyakinan kaum Muslimin pada zaman itu. Di antaranya, ada kaum yang membalik konsep al-haq (kebenaran), sehingga yang ma’ruf dianggap munkar, yang mungkar dianggap ma’ruf (KH.Hasyim Asy’ari, Qonun al-Asasi li Jam’iyati Nahdhatil Ulama,hal. 24).

KH. Hasyim Asyari, pernah menceritakan tentang fenomena kesesatan pemikiran kaum Muslimin di pulau Jawa. Pada sekitar tahun 1330 H muncul ajaran-ajaran ‘asing’ dan tokoh-tokoh yang membawa pemikiran yang tidak sesuai dengan mainstream Muslim Jawa waktu, yakni berakidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

KH. Hasyim Asy’ari juga mengkritik orang-orang yang menggunakan paradigma takfir (mengkafirkan orang yang menganut terhadap madzhab lain dalam bidang furuiyyah), penganut aliran kebatinan, kaum Syiah Rafidhah, pengikut tasawuf menyimpang yang menganut pemikiran manunggaling kawulo gusti, dan kelompok Ibahiyyun (KH.Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 10).

Ia berpendapat, aliran Syiah yang mencaci Shahabat Abu Bakar dan Umar adalah aliran yang dilarang untuk diikuti. Beliau mengutip penjelasan Imam Qadhi Iyadh tentang hadis orang yang mencela sahabat, bahwa ada larangan untuk shalat dan nikah dengan pencaci maki Shahabat tersebut. Karena mereka sesungguhnya menyakiti Rasulullah ﷺ (Risalah Ahlis Sunnah, hal. 11).

Peringatan itu ditujukan kepada kaum Muslimin agar tidak mengikuti paham Syi’ah.Menurutnya, madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah bukan madzhab sah. Madzhab yang sah untuk diikuti adalah Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Beliau mengatakan: “Di zaman akhir ini tidak ada madzhab yang memenuhi persyaratan kecuali madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Adapun madzhab yang lain seperti Madzhab Syi’ah Imamiyyah dan Syi’ah Zaidiyyah adalah ahli bid’ah. Sehingga pendapat-pendapatnya tidak boleh diikuti” (KH. Hasyim Asy’ari, Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, halaman 9).

Sebagai ulama yang mendalami tawuf, KH.Hasyim Asy’ari sangat jeli dan kritis mengamati penyimpangan di dalam praktik orang-orang tertentu. Kesalahan praktik itu di antaranya disebabkan adanya aliran-aliran ‘asing’ yang masuk ke dalam praktik tasawuf dan kurangnya bekal ilmu para penganut thariqah.

Peringatan adanya jahlatul mutashawwifah (orang-orang bodoh yang mengaku bertasawuf) disebutkan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Ciri-ciri  mereka disebutkan menganut paham ibahiyyah (aliran menggugurkan kewajiban syariat untuk maqom tertentu), reinkarnasi, dan manunggaling kawulo (KH. Hasyim Asy’ari,Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 12).

Kewajiban syari’at bagai penganut tariqah sufi dan para sufi tetaplah wajib dijalankan, dimanapun, kapapun dan dalam keadaan apapun. Syaikh Hasyim Asy’ari menolak jika kewajiban syariat Nabi Muhammad itu terpakai untuk orang tertentu dan terbatas pada waktu tertentu.

Orang yang meymakini gugurnya syariat pada orang dan waktu tertentu dikatakan sebagai orang yang mendustakan dan merendahkan al-Quran. Kelompok yang menggugurkan kewajiban syariah ini disebut kaum Ibahiyyah.

Dengan pemahaman ini, tidak ada perbedaan antara seorang murid (pengikut tariqah) dengan mursyid (pemimpin tariqah), antara wali dan yang bukan wali, seluruhnya menanggung kewajiban syari’at. Agama sama sekali tidak membedakan status masing-masing hamba untuk melaksanakan kewajiban. (KH.Hasyim Asy’ari, al-Dhurar al-Muntatsirah fi Mas’il Istna ‘Asyarah, hal. 16).

Ia pernah berfatwa tentang hukum orang yang berkeyakinan bahwa syariat Nabi Muhammad ﷺ sudah tidak berlaku lagi dan al-Quran sudah tidak memiliki faidah sekarang ini. Menurutnya, Syariat Nabi Muhammad masih tetap berlaku sampai nanti hari Kiamat, begitu pula al-Quran.

Barangsiapa yang mengingkari maka Islamnya rusak/murtad. Begitu juga orang yang mengikuti pendapat orang tersebut kemudian membenarkannya keyakinan atau ucapan tadi” (KH. Hasyim Asyari, al-Dhurar al-Muntasirah fi Masil Tis’a ‘Asyarah, hal. 15).

Begitu pula, menurut KH.Hasyim Asy’ari, para ulama telah bersepakat tentang hukum kafir terhadap orang-orang yang merendahkan Allah. Di antaranya, yaitu orang-orang yang meyakini ke-Esa-an Allah namun ia juga berkeyakinan bahwa Allah itu tidak kekal, meyakini Allah memiliki anak, meyakini bahwa dalam menciptakan Allah memiliki pembantu,  mengingkari kenabian Nabi Muhammad ﷺ, atau mengakui ada nabi setelah Nabi Muhammad ﷺ. Kelompok-kelompok ini tidak diragukan kekufurannya (kafir bi la raybi).

Berkenaan dengan merasuknya kesesatan dalam kaum Muslimin seperti tersebut, KH.Hasyim Asy’ari memperingatkan agar hati-hati dalam mencari ilmu. Ia menyatakan bahwa hendaklah kaum Muslimin berhati-hati jangan ceroboh mencari guru.

Janganlah berguru kepada orang yang bukan ahlinya, ahli bid’ah, dan tidak tsiqah agamanya. Ia mengutip sebuah hadis dari Ibnu Sirrin: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu” (KH.Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlis Sunnah wal Jama’ah,hal. 17).*

Doktor bidang Aqidah dan Filsafat Islam dari Univ Darussalam Gontor Ponorogo, dengan judul disertasi: Al-Ma’rifah al- Hadasiyyah ‘Inda Al-Imam Al-Ghazali wa Dauruha fii Tahshili al-‘Ulum al-Kauniyyah (Pengetahuan Intuitif Menurut al-Imam al-Ghazali dan Peranannya dalam Pemerolehan Ilmu Pengetahuan)

No comments: