Khalifah Umar Pecat Khalid bin Walid karena Krisis Kepercayaan

Haekal: Khalifah Umar Pecat Khalid bin Walid karena Krisis Kepercayaan
Umar bin Kattab memecat Khalid dari segala jabatannya sama dengan alasan ketika ia memecatnya dari pimpinan militer, begitu ia memangku tugas Khalifah. Ilustrasi: art station
Muhammad Husain Haekal berpendapat Umar bin Kattab memecat Khalid bin Walid dari segala jabatannya sama dengan alasan ketika ia memecatnya dari pimpinan militer, begitu ia memangku tugas khalifah .

"Krisis kepercayaan antara kedua orang itu sudah ada sejak di masa Khalifah Abu Bakar atau sebelumnya," tulis Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).

Umar sudah lama mengharapkan Abu Bakar memecat Khalid ketika terjadi peristiwa Malik bin Nuwairah atau peristiwa lain.

Kala itu, Khalifah Abu Bakar menolak usulan Umar bin Khattab. Nah, begitu Umar menjadi Kalifah, ia memecat sebagai panglima tertinggi, digantikan Abu Ubaidah bin Jarrah.

Khalid memegang jabatan setingkat batalion. Pimpinan angkatan bersenjata Muslimin di Yarmuk masih tetap berada di tangannya. Nama besarnya dan kepercayaan Abu Bakar kepadanya berjalan tanpa harus ia dipecat, hanya cukup dengan mengembalikan Abu Ubaidah ke tempatnya dalam pimpinan militer dan Khalid sendiri berada di bawah panji Abu Ubaidah.

Sesudah Khalid mendapat kemenangan di Yarmuk dan membebaskan Damsyik, peranannya bersipongang ke seluruh Semenanjung, seperti juga di Irak dan di Syam.

Di samping itu pasukan Romawi masih tetap kuat berhadapan dengan pasukan Muslimin. Tidak bisa lain buat Umar harus menerima sepupunya itu kendati masih dengan berat hati dan dia sangat mengagumi peranannya kendati tetap masih dengan prasangka buruknya.

Sesudah kemudian Heraklius lari ke ibu kota kerajaannya dan pasukan Muslimin berhasil menumpas pembangkangan di utara Syam serta memperkuat perbatasannya dengan pihak Romawi, Umar merasa sudah aman dari kemungkinan kembalinya Heraklius dan pasukannya.

Buat Khalid sendiri hanya tinggal nafsu keangkuhannya yang harus dibungkam, dan mengenai rampasan perang dan yang lain ia harus tunduk kepada pendapat Khalifah, seperti yang dilakukan oleh semua wakilnya.

Akan tetapi Khalid masih juga bertahan pada rasa harga diri yang tinggi dan pada kemampuan dirinya. Lalu ia memutuskan sendiri apa yang dikira menjadi haknya dalam membagi-bagikan hadiah dari harta rampasan perang, yang sebenarnya bertentangan dengan pendapat Amirulmukminin, dan sudah tidak sesuai dengan kebijaksanaannya.

Segala anggapan buruk terhadap Khalid sebelum dan sesudah peristiwa Malik bin Nuwairah sudah bertimbun dalam hati Umar. Yang sudah terjadi dengan pemanggilan Khalid ke Hims untuk tampil di depan umum sebagai pihak yang tertuduh, topi kehormatannya ditanggalkan dan ia harus diikat dengan serbannya sendiri, ia disoal seolah ia sudah mengkhianati amanat umat.

Sesudah itu dilanjutkan dengan pemecatan dan diasingkan jauh dari medan kebanggaan dan kejayaannya sampai ia menemui ajalnya di atas ranjang seperti seekor keledai liar, dan ada pengecut yang tak bisa tidur!

"Semoga Allah memberi rahmat kepada Khalid dan kepada Umar. Keduanya merupakan dua kekuatan yang paling tangguh," ujar Haekal.

Semenanjung Arab terbuka luas bagi kedua kekuatan yang tadinya terpencil itu. Setelah kedua kekuatan itu terbuka dan tersebar luas, kedua raja Persia dan Romawi bersama-sama merasa kesal. Kemudian kedua kekuatan itu saling berbenturan, dan sudah tentu salah satunya harus ada yang mengerut supaya yang lain dapat menyebar.

Khalid sudah rela menjadi kekuatan yang mengerut itu, agar tidak terjadi perbenturan yang akan membuat kedua kekuatan itu binasa. Sudah merupakan karunia Allah juga bahwa ketika pengerutan itu terjadi keadaan kaum Muslimin di Syam sudah tenteram dengan kekuasaan yang mereka bangun, keadilan sudah dapat ditegakkan dan kebijakan pemerintah berjalan mantap.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: