Kisah Pembebasan Mesir: Orang-Orang Kopti Memilih Netral ketika Pasukan Muslim dan Romawi Bertempur

Kisah Pembebasan Mesir: Orang-Orang Kopti Memilih Netral ketika Pasukan Muslim dan Romawi Bertempur
Andaikata bangsa ini terang­-terangan membantu pasukan Arab lalu Romawi yang menang, seribu kali celakalah mereka. Ilustrasi: Ist
Sukses pasukan muslim di bawah Amr bin Ash menguasai Farama atau Pelusium, Mesir, dipandang sejarawan sebagai keajaiban. Bagaimana hal ini terjadi? Bagaimana 4000 prajurit itu dapat mengepung kota yang diperkuat dengan tembok-tembok dan benteng-benteng yang begitu kukuh dan kuat, dengan melumpuhkan pasukannya, menyerbu tembok-tembok serta menerobos benteng-benteng itu?

Di antara mereka mencari dalih dengan beranggapan bahwa orang-orang Kopti Farama memberikan bantuan kepada pasukan Arab selama melakukan pengepungan. "Itulah yang menyebabkan mereka berhasil mengalahkan pihak musuh," tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" dan diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab "Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).

Menurut Haekal, sudah tentu orang-orang Kopti itu tidak akan membantu Romawi dalam berperang dengan pihak Arab kalau tidak karena terpaksa dalam keadaan mereka berada di bawah kekuasaannya. Mereka tidak senang terhadap kekuasaan Kaisar dan para pejabatnya.

Akan tetapi sudah tentu mereka juga tidak akan membantu pasukan Arab, kecuali bantuan-­bantuan yang bersifat pribadi yang dilakukan secara sukarela dan diam-­diam, yaitu mereka yang benar-benar sudah tak dapat menahan kemarahan kepada pihak Romawi dan pemerintahannya.

Mereka mempertaruhkan kemerdekaan dan hidup mereka dengan memperlihatkan segala rahasia Romawi. Tetapi yang di luar itu, menghadapi golongan yang sedang berperang itu bangsa Mesir bersikap seperti penonton yang penuh perhatian.

Mereka sudah merasakan pelbagai macam kekejaman, pemerasan dan penindasan dari Romawi sehingga mereka sudah kehilangan semangat untuk membantunya.

Mereka tidak tahu keadaan pihak Arab, akan juga menjadi sasaran kebencian mereka atau akan mereka sambut dengan senang hati. Soalnya, kekuatan dan kekuasaan Romawi di Mesir membuat mereka sangsi siapa yang akhirnya akan memperoleh kemenangan.

Menurut Haekal, berita-berita kemenangan Arab di Syam dan di Irak sudah sampai kepada mereka, tetapi mereka belum melupakan kemenangan Heraklius terhadap Persia di Mesir sampai akhirnya mereka terusir.

Andaikata bangsa ini terang­-terangan membantu pasukan Arab lalu Romawi yang menang, seribu kali celakalah mereka. Mereka akan dijerumuskan ke dalam berbagai macam penyiksaan berlipat ganda dari yang sebelum itu. Dan tidak pula wajar mereka akan membantu Romawi sedang dendam mereka sudah begitu berat. Bahwa sekarang perang masih baru dimulai, dan tak ada yang tahu bagaimana nasibnya, lebih bijaksana apabila mereka menunggu saja dulu sambil melihat, dan kemudian menyesuaikan sikap demikian rupa untuk menghindari segala bahaya kekejaman, dan berusaha mengambil manfaatnya sedapat mungkin.

Unsur Asing

Sikap bangsa Mesir ini adalah sikap yang wajar buat semua bangsa dalam menghadapi situasi demikian pada masa itu. Bangsa ini sangat mengharapkan sekali sekiranya Romawi keluar dari negerinya itu, agar segala kekayaan negerinya hanya berada di tangan bangsa sendiri dan memperoleh hak-haknya sendiri pula yang wajar, sehingga segala kemerdekaan, di seluruh negeri, kehormatan dan harga diri diperoleh kembali.

Akan tetapi sejak Iskandar Agung merenggut kemerdekaan dan kebebasannya, seperti juga terhadap kemerdekaan dan kebebasan bangsa­ bangsa lain, ia sudah tak berdaya lagi.

Setelah Iskandar Agung meninggal Mesir kembali di bawah Ptolemaeus Yunani. Mereka ini memisahkan diri dari masyarakatnya dan dari Roma. Mereka merdeka sendiri di Mesir dan menjadi orang-orang Mesir.

Bangsa Mesir ini tidak melihat adanya unsur asing yang akan merombak atau memberontak kepadanya. Waktu itu keluarga-keluarga kerajaan di Mesir dan di luar Mesir berasal dari unsur asing. Demikian itulah keadaannya sampai sekarang.

Pada zaman tertentu keluarga-keluarga itu datang ke negeri-negeri yang takhtanya sudah mantap sebagai penyerang, dengan bantuan serdadu­-serdadu bayaran yang menjadikan perang dan penaklukan itu sebagai profesinya.

Setelah perang usai dan orang kembali tenang dan aman, keluarga-keluarga ini pun sudah merasa aman dengan negeri-negeri tempat mereka sekarang bertakhta dan sudah dijadikan tanah air mereka sendiri. Rakyat juga menyambut mereka dan dijadikan benteng yang akan melindungi mereka dari pertentangan sesama mereka.

Demikian itulah keadaan Keluarga Ptolemaeus. Mereka berlindung di Mesir dan menjadi bangsa Mesir. Mereka menjadi milik Mesir dan Mesir menjadi milik mereka.

Keadaan ini tetap berjalan demikian sampai kemudian datang Julius Caesar, setelah itu menyusul Antonius, dan mereka tinggal di Mesir pada masa Kleopatra. Dengan kedatangan mereka ini Mesir tergabung ke dalam Imperium Romawi yang membentang luas sampai ke ujung barat dan ke ujung utara di Eropa, dan ke pedalaman Samawah di Asia.

Unsur Baru

Tak seberapa lama setelah penggabungan ini rupanya muncul suatu unsur baru mengalihkan perhatian dunia dari konsep ekspansi dalam penaklukan untuk mengejar keagungan ke suatu bidang dengan tujuan yang lebih luhur dan lebih patut bagi umat manusia ketika manusia sudah mencapai tingkat kematangan pribadinya. Unsur itu ialah ajaran agama Nasrani.

Agama ini mengajak orang kepada hidup kasih sayang dan persaudaraan serta memandang rendah segala kenikmatan hidup duniawi, dan menjauhkan diri dari saling bunuh untuk itu. Tak lama setelah agama Masehi tersebar di Roma dan di Mesir manusia sudah melupakan segala permusuhan dan kebencian di antara mereka.

Di depan mereka tergambar konsep sebuah imperium suci, orang dapat hidup di dalamnya dalam persaudaraan, saling mencintai di bawah naungan Allah.

Hanya saja citra demikian segera menjadi cair yang membuat iman manusia kepada rasa persaudaraan justru menjadi lemah, yaitu tatkala sekte-sekte agama Nasrani mulai berkembang biak. Penganut-­penganut masing-masing sekte memandang penganut sekte lain dengan rasa benci dan dengki. Dengan demikian manusia kembali seperti sediakala.

Orang-orang Mesir kembali membenci kerajaan Roma yang bercokol di negeri mereka, dan mereka makin benci karena adanya penganiayaan besar yang diterapkan oleh pihak Romawi.

(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: