Syekh Maulana Malik Ibrahim: Ulama Azerbaijan, Pelopor Dakwah di Jawa

Syekh Maulana Malik Ibrahim
 Di sebelah timur Sumatra, ada pulau besar (Jawa) yang sangat subur. Namun sayang, sebagian besar penduduknya masih menyembah berhala. (Ibnu Batutah dalam Salim A.p Fillah, 2021)

Kalimat tersebut diungkapkan oleh Ibnu Batutah dalam buku catatan perjalanannya, al-Rihlah yang terbit pada abad ke-14 M.

Dalam bukunya, Ibnu Batutah mengungkapkan kesedihannya, bahwa sebagian besar masyarakat Jawa belum disentuh oleh dakwah Islam. Mereka masih diliputi kemusyrikan.

Pada abad ke-15 M, salinan buku al-Risalah di perpustakaan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, dibaca oleh seorang mahasiswanya, Malik Ibrahim. Mahasiswa tersebut lahir dan dibesarkan di Azerbaijan.

Setelah membaca al-Rihlah, Ibrahim sangat mengagumi perjalanan keliling dunia yang dilakukan oleh penulisnya sendiri, Ibnu Batutah.

Karena pengaruh al-Rihlah, mahasiswa tersebut memiliki cita-cita kuat untuk berdakwah di Jawa, pulau subur yang diceritakan oleh Ibnu Batutah. Ia berharap, penduduk Jawa yang mayoritas masih musyrik, diberi hidayah oleh Allah swt. untuk menjadi umat Nab Muhammad saw.

Setelah dinyatakan lulus kuliah dari al-Azhar, Ibrahim mulai mewujudkan cita-citanya. Ia menumpang kapal layar (dahulu belum ada kapal motor) yang digerakkan oleh tiupan angin muson barat.

Dibutuhkan waktu sekitar dua tahun baginya untuk bisa mencapai pelabuhan Gresik, kota termaju di Jawa saat itu. Karena ia terlebih dahulu harus singgah, menetap, dan bekerja di beberapa kota pelabuhan yang dilaluinya, untuk mengumpulkan dana. Dana tersebut dijadikan sebagai modal agar bisa survive ketika sampai di Jawa.

Sewaktu kapal yang ditumpangi Ibrahim merapat di pelabuhan Gresik, ternyata Majapahit dilanda konflik bersenjata. Konflik tersebut dikenal sebagai Perang Paregreg.

Saat itu, Majapahit yang diperintah Raja Wikramawardhana, harus menghadapi kelompok pemberontak yang berkekuatan besar.

Perang Paregreg membuat sebagian besar petani tidak pergi ke sawah selama berbulan-bulan, karena takut dibunuh oleh pemberontak. Majapahit pun mengalami gagal panen, padahal sebelumnya dikenal sebagai kerajaan berswasembada pangan.

Akibat gagal panen, masa paceklik (krisis pangan) tidak dapat dihindari. Kelaparan juga dialami sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah, yang tidak mampu membeli bahan pangan, karena harganya meroket.

Kondisi Majapahit yang dilanda krisis pangan, membuat Ibrahim tidak langsung berdakwah bil qalam melalui ceramah-ceramah. Ia memulai dakwah bil hal, dengan memanfaatkan dana yang dimilikinya, untuk membeli sawah-sawah terbengkalai di daerah aliran sungai Bengawan Solo.

Sebagian sumber sejarah menceritakan, bahwa profesi pertama yang digeluti Ibrahim di Majapahit adalah sebagai pedagang. Ia berjualan di bandar (pasar besar sekitar pelabuhan) Gresik, yang keuntungannya dipakai untuk menambah modal dalam pendanaan dakwahnya.

Meskipun tidak lama berdagang, keuntungan yang diperoleh Ibrahim sangat banyak. Karena ia berdagang dengan ananah dan humanis, seperti yang diajarkan dalam Islam. Tidak sedikit orang Majapahit yang senang bertransaksi dengan Ibrahim, bahkan terpesona dengan agama Islam yang dianutnya.

Ibrahim mengelola sawah-sawah terbengkai yang dibelinya, agar bisa ditanami kembali. Dengan ditemani sejumlah orang sahabat barunya (asli Jawa yang masih non-muslim), ia mulai aktif sebagai petani.

Ibrahim pun mempelopori revolusi pertanian padi, dari sistem tadah hujan, menjadi sistem irigasi, dengan memanfaatkan aliran sungai Bengawan Solo.

Revolusi pertanian tersebut akhirnya diketahui oleh Raja Wikramawardhana. Ibrahim pun diberi berhektar-hektar tanah oleh kerajaan untuk diolah menjadi sawah sistem irigasi. Banyak orang laki-laki juga dikerahkan kerajaan untuk membantu Ibrahim dalam menjalankan revolusi pertanian tersebut.

Perluasan wilayah pembuatan sawah irigasi semakin cepat dilaksanakan, setelah adanya bantuan dari ribuan tentara angkatan laut Cina pimpinan Laksamana Cheng Ho. Selama beberapa bulan, sambil menanti datangnya angin muson timur yang akan membawa mereka ke India dan Timur Tengah, tentara Cina membantu program revolusi pertanian yang digagas Ibrahim.

Program revolusi pertanian pun akhirnya berhasil, sehingga swasembada pangan dapat kembali dicapai Majapahit. Rakyat kelas menengah ke bawah tidak didera kelaparan lagi.

Sepeninggal Wikramawardhana, putri beliau, Dyah Suhita, dinobatkan sebagai penguasa baru Majapahit. Perang Paregreg pun berakhir, karena kelompok pemberontak dapat ditumpas.

Suhita yang perempuan, diangkat sebagai penguasa Majapahit, karena adik laki-lakinya, Dyah Ranawijaya (Brawijaya) masih kecil.

Tulisan ini juga dimaksudkan revisi atas artikel sebelumnya berjudul Ratu Dwarawati: Muslimah Vietnam, Pelopor Dakwah di Jawa. Dalam artikel tersebut, oleh penulis, disebutkan bahwa Wikramawardhana merupakan kakek Brawijaya. Padahal setelah diteliti lebih lanjut, ternyata Wikramawardhana adalah ayah kandung Brawijaya.

Keluhuran akhlak yang ditunjukkan Ibrahim, dan keberhasil revolusi pertanian membuat banyak pejabat maupun rakyat Majapahit secara sukarela _login_ke agama Islam.

Meskipun tidak masuk Islam, Ratu Suhita sangat menghormati Ibrahim yang dikenal sebagai figur berakhlak luhur. Ulama asal Azerbaijan yang oleh masyarakat dipanggil Syekh Maulana Malik Ibrahim tersebut, menerima gelar kehormatan sebagai Wong Agung ing Majapahit.

Oleh Ratu Suhita, Syekh Maulana Malik Ibrahim diberi sebidang tanah di Gresik untuk membangun pesantren dan sekolah da’i. Pesantren ini dijadikan sebagai basis dakwah beliau. Dan karena berkedudukan di kota pelabuhan tersebut, maka kelak beliau digelari sebagai Sunan Gresik.

Banyak sejarahwan yang menyatakan Sunan Gresik bukan termasuk pendiri ataupun penggiat Wali Songo, karena beliau wafat sebelum ormas para ulama tersebut dibentuk.

Namun beliau dianggap sebagai “ayah ideologis” Wali Songo, karena Sunan Gisik dan Sunan Ampel yang mendirikan ormas para ulama tersebut sempat berguru dan berkonsultasi secara intensif kepada Sunan Gresik. Wallahua’lam.*/Muh. Nurhidayat, Pengajar Ponpes Kun Sholihan dan PKBM al-Madinah, Gunungkidul, D.I. Yogyakarta

No comments: