Kekhalifahan Turki Utsmaniyah Lindungi Kaum Yahudi
Pada Mei 1453, Mehmed II al-Fatih berhasil memimpin penaklukan atas Konstantinopel. Jatuhnya kota itu menandakan berakhirnya Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium.
Sementara itu, di Semenanjung Iberia terjadi peristiwa besar beberapa dekade usai takluknya Konstantinopel. Di wilayah yang kini berdiri negara Spanyol dan Portugal itu, negeri (taifa) Islam terakhir, yakni Granada, dapat dikuasai aliansi kerajaan-kerajaan Katolik. Para sejarawan menyebut momen ini sebagai "penaklukan kembali Andalusia" atau Reconquista.
Berita tentang keadaan di Iberia telah sampai kepada al-Fatih. Bagaimanapun, barulah pada masa penerusnya, sultan Beyezid II (1481-1512), Ottoman mulai mengambil tindakan nyata: menyelamatkan umat Islam Andalusia.
Sebab, begitu berkuasa, pihak kerajaan Katolik memberlakukan persekusi massal atas penduduk Muslim Andalusia. Mereka dipaksa berpindah agama atau hengkang dari Iberia. Bila melawan, mereka akan dibunuh.
Yang luar biasa, jasa Ottoman tidak hanya menolong kaum Muslimin dari serangan kaum pendukung Reconquista. Kerajaan Islam tersebut juga secara terbuka menerima para pengungsi Yahudi Andalusia, yang hendak menyelamatkan diri dan agamanya dari kejaran ekstremis Katolik di sana.
Setelah dekret diberlakukan, kedua motor Reconquista yakni raja Ferdinand II Isabella I memulai persekusi massal. Umat Islam dan Yahudi menjadi sasaran. Bahkan, kaum Yahudi tetap saja diancam karena dituding berpura-pura menjadi Katolik.
Mendapati berita tentang gelombang anti-semitisme demikian, sultan Beyezid II mengizinkan puluhan ribu pengungsi Yahudi dari Iberia (disebut sebagai Yahudi Sefardim) untuk menetap di kota-kota yang dikuasai kesultanan, termasuk Konstantinopel, Bursa, Damaskus, dan Kairo.
Daerah-daerah di Semenanjung Balkan yang telah ditaklukkan Ottoman juga dibukanya untuk kedatangan kelompok-kelompok imigran Yahudi Sefardim. Malahan, mereka pun dipersilakan untuk tinggal di Baitul Makdis alias Yerusalem. Alhasil, populasi kaum Yahudi di kota suci itu meningkat pesat, yakni dari semula sekitar 70 keluarga pada 1488 menjadi 1.500 keluarga pada awal abad ke-16 M.
Di ibu kota Ottoman, Konstantinopel, komunitas Yahudi mencapai 30 ribu orang. Pemerintah kota setempat juga mengizinkan berdirinya 44 sinagog baru. Sementara itu, di Salonika--kini bagian dari negara Yunani--kehadiran gelombang pengungsi tersebut mengubah wajah demografis kaum Yahudi setempat.
Sejak masa pemerintahan Beyezid II, jumlah orang-orang Yahudi Sefardim secara berangsur-angsur melampaui komunitas Yahudi Romania. Bahkan, budaya dan struktur sosial komunitas tersebut akhirnya melesap ke dalam tradisi Sefardim.
Dengan bertempat tinggal di wilayah Utsmaniyah, kelompok Yahudi Sefardim merasa seperti memperoleh "Andalusia kedua." Jadi, ketika Semenjung Iberia masih dikuasai Muslimin, mereka menikmati kehidupan yang penuh toleransi. Bahkan, banyak ahli sejarah sepakat, masa-masa di Andalusia itu memunculkan musim semi peradaban Yahudi.
Pemerintahan Islam di sana juga menerapkan meritokrasi. Alhasil, tak sedikit pejabat yang berasal dari kalangan umat Yahudi. Keadaan yang serupa juga dirasakan mereka di Ottoman, bahkan beberapa dekade sebelum Reconquista Andalusia pecah.
Pada 1453, Rabbi Isaac Tzarfati menulis surat kepada Dewan Yahudi Eropa Tengah. Tokoh Yahudi yang sebelumnya berhasil lari dari persekusi di Eropa Tengah itu memuji daerah tempat tinggalnya yang baru di wilayah Ottoman.
Dikatakan dalam suratnya, "Negeri ini (Turki Utsmaniyah) dirahmati Tuhan dan penuh kebaikan. Di sini (saya) menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Kami (kaum Yahudi) tidak di tindas dengan pajak yang berat. Perniagaan kami dapat berlangsung bebas.Setiap kami dapat hidup dalam damai."
Sementara itu, Ottoman pun menuai buah manis dari kebijakannya yang hangat terhadap para pengungsi Yahudi Sefardim. Sebagai imbalan atas kebaikan pemerintahan Islam, mereka beserta anak keturunannya terus berkiprah di berbagai bidang, termasuk militer, perdagangan, serta ilmu pengetahuan. Kejayaan kekhalifahan pun kian berkibar.
Sebagai contoh, duo bersaudara Yahudi, David dan Samuel bin Nahmias, memasarkan mesin cetak pertama di Konstantinopel pada 1493. Mesin tersebut adalah teknologi mutakhir pada masa itu sehingga mempercepat produksi literatur dan dokumen, terutama naskah-naskah keagamaan dan birokrasi.Rol
No comments:
Post a Comment