Peran Ahmad Surkati dan Al-Irsyad dalam Polemik Nasab Baalawi: Sejarah dan Pengaruhnya di Indonesia

Polemik mengenai nasab Baalawi akhir-akhir ini menjadi topik yang hangat diperbincangkan di berbagai kalangan. Kontroversi ini dipicu oleh beberapa pihak yang meragukan keaslian nasab kaum Baalawi yang selama ini mengklaim sebagai keturunan Fatimah Az-Zahra, puteri Rasulullah SAW.

Diskusi ini tidak hanya terjadi di media sosial tetapi juga dalam berbagai forum dan diskusi publik. Polemik ini membawa kita kembali ke awal abad ke-20, ketika seorang tokoh penting, Syaikh Ahmad Surkati, memainkan peran kunci dalam isu serupa melalui pendirian Al-Irsyad Al-Islamiyyah.

Ahmad Surkati dan Kedatangan ke Indonesia

Syaikh Ahmad Surkati, seorang ulama asal Sudan, tiba di Indonesia pada tahun 1911. Kedatangannya diundang oleh Jamiat Khair, lembaga Islam tertua di Batavia (sekarang Jakarta), yang dikelola oleh keturunan Arab. Surkati dikenal karena pandangannya yang kuat mengenai kesetaraan umat manusia, yang sering kali berbenturan dengan pandangan tradisional mengenai nasab atau keturunan.

Surkati percaya bahwa keutamaan seseorang tidak ditentukan oleh keturunan, melainkan oleh ilmu dan ketaqwaan. Ini tercermin dalam syairnya, “Tidaklah kebanggaan itu karena pakaian atau keturunan, dan bukan pula karena tumpukan uang atau emas, tetapi kemuliaan itu karena ilmu dan adab. Dan agama adalah pelita bagi orang yang berakal.”

Pandangan ini mulai menimbulkan polemik, terutama ketika Surkati semakin vokal tentang pentingnya kesetaraan berdasarkan kemampuan dan ketaqwaan.

Pendirian Al-Irsyad Al-Islamiyyah

Setelah berselisih dengan pihak Jamiat Khair mengenai pandangannya tentang kesetaraan, Surkati keluar dari lembaga tersebut. Pada 6 September 1914, ia bersama Umar Manggusy serta sahabat-sahabatnya antara lain, Saleh Ubaid, Said Salim Masy’abi, dan Muhammad Obeid Aboed, mendirikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Madrasah ini dibangun dengan landasan prinsip kesetaraan dan kemampuan, yang mengedepankan persamaan hak dan kewajiban antar manusia di hadapan hukum dan Allah SWT.

Prinsip-Prinsip Al-Irsyad

Al-Irsyad Al-Islamiyyah mengusung prinsip bahwa semua Muslim adalah saudara, tanpa memandang keturunan. Prinsip ini didasarkan pada beberapa ayat Alquran, seperti:

  1. Al-Hujurat ayat 10: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmah.”
  2. Al-Hujurat ayat 13: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal, sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa.”
  3. An-Nisa ayat 58: “Jika engkau menghukum di antara manusia, hendaklah engkau menghukuminya dengan adil.”
  4. Al-Mujadilah ayat 11: “Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”

Dampak dan Kontroversi

Pandangan Surkati tentang kesetaraan dan kemampuan menimbulkan kontroversi, terutama di kalangan komunitas Arab yang sangat menghargai nasab. Namun, Surkati dan Al-Irsyad terus menekankan pentingnya pendidikan dan ketaqwaan sebagai ukuran utama keutamaan seseorang. Hal ini tercermin dalam hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik, di mana Rasulullah SAW bersabda, “Tidak beriman seseorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.”

Kontroversi ini mengingatkan kita pada polemik nasab Baalawi yang terjadi saat ini. Pertanyaan tentang keaslian nasab Baalawi mencerminkan ketegangan yang sama antara tradisi dan pandangan modern mengenai status sosial dan keutamaan individu.

Syaikh Surkati bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat tanpa pandang bulu, dari golongan masyarakat biasa, buta huruf atau orang konservatif-tradisional, hingga golongan masyarakat terpelajar, orang-orang yang tercerahkan, atau mereka yang disebut dengan golongan Al-Mutafarinjin (orang Barat-Eropa). Semua ini ia sebut dengan panggilan “Saudara” (Al-Akh).

Ia juga menyebut orang-orang yang berpendidikan dan alim dengan panggilan ‘Hadhrat Al Fadhil’ atau ‘yang terhormat.’ Surkati dikenal sangat menghormati dan menghargai orang-orang yang memiliki kecerdasan, orang-orang pandai, dan orang-orang dari keluarga yang terhormat atau bangsawan.

Lebih khusus lagi, ia sangat peduli pada mereka yang sedang ditimpa kesusahan, orang-orang fakir miskin, anak yatim, dan wanita-wanita janda, serta menginfakkan sebagian dari hartanya untuk mereka secara rahasia atau sembunyi-sembunyi. Ia selalu menanyakan tentang orang-orang yang ia kenali tetapi jarang nampak.

Tokoh nasionalis Indonesia, Soekarno, sangat kagum pada sosok Surkati. Suatu ketika, Soekarno berkata, “Sungguh aku (Soekarno) amat menyesali bisa mengunjungi dan bertemu dengan Anda (Syekh Surkati) di saat penglihatan As-syekh Surkati sudah tiada.” Mendengar hal tersebut, Surkati menjawab, “Alhamdulillah, karena di saat penglihatan saya (Syekh Surkati) sudah tiada, tapi pandangan kalian sudah terbuka sehingga kalian tahu akan hakikat Islam.”

Sukarno yang begitu kagum pada sosok Surkati, menyebutnya sebagai Abaana Al Ruh Al Jalil, yang bermakna tokoh seorang ulama pembaharu yang telah menanamkan jiwa-jiwa kemuliaan pada setiap individu, karena menurut Surkati bahwa “Mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah.”

Menghormati Sejarah dan Kontribusi Baalawi

Di tengah polemik nasab Baalawi, penting untuk menghormati sejarah dan kontribusi mereka yang telah berperan dalam penyebaran Islam dan pembangunan masyarakat di Indonesia. Meski ada keraguan yang dilontarkan, banyak pihak yang percaya bahwa nasab Baalawi telah terjaga dengan baik melalui catatan dan tradisi yang ketat. Mereka telah memberikan kontribusi besar dalam penyebaran ajaran Islam dan pembangunan masyarakat.

Polemik mengenai nasab Baalawi dan peran Ahmad Surkati dalam sejarah Indonesia menunjukkan pentingnya prinsip kesetaraan dan kemampuan dalam Islam. Perdebatan ini bukan hanya tentang sejarah dan silsilah, tetapi juga tentang identitas dan integritas komunitas. Dengan menghormati proses verifikasi nasab yang ada dan memahami kontribusi para Baalawi, kita dapat meredakan polemik ini dan memperkuat solidaritas umat Islam.

Seperti yang diajarkan oleh Ahmad Surkati dan Al-Irsyad Al-Islamiyyah, keutamaan seseorang ditentukan oleh ilmu dan ketaqwaan, bukan oleh keturunan atau status sosial. Prinsip ini tetap relevan dalam menghadapi tantangan sosial dan religius di era modern ini.

Menciptakan Kesatuan Umat

Polemik nasab Baalawi seharusnya tidak menjadi alasan untuk memecah belah umat. Sebaliknya, ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat solidaritas dan saling pengertian di antara umat Islam.

Dengan demikian, setiap orang dapat kembali fokus pada tujuan bersama, yaitu menjalankan ajaran Islam dengan baik dan mendukung peran positif yang selama ini dijalankan oleh para Baalawi di masyarakat. Prinsip al musawah, yang berarti kesetaraan, seperti yang diajarkan oleh Ahmad Surkati, tetap menjadi dasar penting dalam membangun masyarakat Islam yang adil dan harmonis.*/Abdullah Abubakar Batarfie 

No comments: