Peranan Para Raja Nusantara Dalam Transformasi Sosial, Politik, Agama

Peran raja di Nusantara dalam mendorong proses Islamisasi tidaklah diragukan. Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil Peran raja di Nusantara dalam mendorong proses Islamisasi tidaklah diragukan. Foto:   Makam Fatimah binti Maimun (wafat 1028 M) di Leran, Gresik, Provinsi  Jawa Timur.
Foto: Abdul Hadi WM
Peran raja di Nusantara dalam mendorong proses Islamisasi tidaklah diragukan. Foto: Makam Fatimah binti Maimun (wafat 1028 M) di Leran, Gresik, Provinsi Jawa Timur.
Peranan penting istana kerajaan dan para raja di Nusantara dalam mendorong proses Islamisasi tidaklah diragukan. Dalam membahas Islamisasi di sepanjang rute laut dan peranan yang dimainkan para penguasa di hadapan rakyatnya, banyak sejarawan tidak bisa menghindari kenyataan betapa kuatnya peranan istana dan para raja tersebut. 

Sejarawan AC Milner mengingatkan untuk tidak mengabaikan perhatian atas peranan mereka.

Para penguasa Asia Tenggara haruslah dilihat bahwa mereka telah memainkan peranan yang sangat penting dalam proses Islamisasi. Bahwa inovasi-inovasi dan inkalkulasi agama harus disandarkan pada mereka. 

"Para raja telah berperan sentral dan memainkan karakteristik dominan di negara-negara Asia Tenggara," kata Milner, dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia diterbitkan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.

Paling tidak ada tiga alasan mengapa para penguasa dan istana harus diberi perhatian lebih dalam mengkaji proses Islamisasi yang kemudian mendorong transformasi sosial, politik dan agama.

Pertama, dimilikinya peranan istimewa dan posisi strategis mereka di hadapan rakyatnya. Dunia pandang kerajaan-kerajaan dan para rajanya di Nusantara relatif homogen, semuanya memiliki sistem penghayatan dan tradisi yang relatif seragam sebagai warisan dunia pandang tradisi lokal dengan nilai-nilai Hinduisme India. 

Kerajaan-kerajaan Nusantara merupakan titik pertemuan antara tradisi-tradisi politik Jawa, Burma, Thailand dan Vietnam di satu sisi dan ide-ide politik agama India di sisi lain. 

Reid menggambarkan bahwa unsur dominan kepercayaan tradisional tentang kekuasaan pada istana-istana di Nusantara bersifat spiritual. Penguasa yang kuat “mengendalikan kekuatan-kekuatan kosmis, yang tidak hanya dimediasi melalui dewa-dewa tetapi mewujudkan kehadiran dewa-dewa tersebut di bumi.

Melalui kekuasaan politik duniawi yang dikombinasikan dengan realitas kepercayaan agama, raja-raja Nusantara hadir menggantikan peranan-peranan yang dimainkan para kepala suku lokal sebelumnya. Seorang raja tidak hanya mendeklarasikan diri sebagai intermediasi antara manusia dan keberadaan Tuhan; tetapi juga mengklaim sebagai inkarnasi Bodhisatwa atau Dewa Hindu”

Dalam kasus Melayu, Milner mengatakan, sebagaimana halnya Raja Jawa, Raja Melayu juga dipercaya sebagai pemilik semua tanah di wilayahnya dan rakyatnya menyadari dirinya sebagai budak-budak Raja. Dengan demikian, orang-orang Melayu menyadari dan menggambarkan dirinya hidup tidak dalam negara atau di bawah hukum-hukum Tuhan, melainkan di bawah hukum Raja.

Masyarakat Jawa percaya bahwa mereka hanya memerlukan beberapa hari saja di dalam istana untuk menyadari keharusan melakukan pemujaan berhala di mana para penguasa istana memerintah atas nama Tuhan, mereka juga percaya tanah dan rakyat adalah milik raja-raja mereka. 

Raja Alam di Minangkabau dipandang oleh rakyatnya sebagai pancaran Tuhan. Seperti halnya rakyat Pasai, Dampier menyatakan, rakyat Mindanau juga mendekati rajanya dengan hormat dan pemujaan, dengan membungkuk dan berlutut.

Ketika Islam masuk ke dalam struktur masyarakat seperti ini, dengan tradisi penghayatan dan dunia pandang yang sudah mengakar kuat, posisi tradisional raja dan rakyat seperti digambarkan di atas tidak berubah dan pada gilirannya memfasilitasi saluran yang efektif bagi proses Islamisasi. 

Sekali rajanya berpindah agama memeluk Islam, dengan mudah diikuti oleh seluruh rakyatnya. Gejala ini adalah umum terjadi di kerajaan-kerajaan Nusantara dan Nusantara sebagai model konversi agama kerajaan-kerajaan Hindu kepada Islam.

Kedua, terdapat hubungan para penguasa istana dengan jaringan perdagangan dunia. Sudah menjadi determinasi sejarah Nusantara bahwa Islamisasi terjadi pada saat era perdagangan (the age of commerce) yang mengalami puncak kesibukannya pada abad ke-15 sampai 17. Dapat dikatakan bahwa pada saat itu hampir tidak ada satu pun kerajaan yang berada di pelabuhan-pelabuhan kota (city-ports) yang tidak terhubungkan dengan perdagangan internasional. 

Sementara itu, situasi perdagangan sendiri tengah mengalami puncak kesibukannya pada periode booming perdagangan perak (silver boom) yang terjadi antara tahun 1570 sampai 1630. Agar perdagangan itu tetap aktif dan terjaga, maka tidak mungkin bagi istana-istana di Nusantara tidak mengikatkan diri mereka pada situasi perdagangan internasional saat itu.

Konsekuensinya, relasi antara istana dan perdagangan tumbuh berkembang luar biasa. Dalam konteks inilah, Hooker mengatakan, Islam secara khas adalah sebuah fenomena istana, di mana saudagar-saudagar besarnya umumnya adalah orang-orang Arab, Muslim India dan Cina. 

Sejak awal, Islam selain sebagai agama rakyat yang menyebar di lapisan bawah kemudian juga berkembang menjadi karakter istana. Sebagai agama dakwah (missionaris), Islam kemudian menyebar melalui kota-kota pelabuhan di Nusantara di mana transaksi-transaksi antara para saudagar Muslim dan kerajaan-kerajaan lokal terjadi. 

Menurut Jay, perpindahan agama kepada Islam menyebar ibarat gelombang dari Timur ke Barat, melalui negara-negara kepulauan. Setelah itu, selama lebih dari bentangan dua abad, kebanyakan pusat-pusat perdangan besar termasuk pelabuhan-pelabuhan di utara Jawa, berada dalam pengaruh penguasa-penguasa Muslim lokal.

Ketiga, dampak besar masuk Islamnya para penguasa dan pengaruhnya pada transformasi masyarakat. Dalam pandangan dan kepercayaan tradisional pra-Islam, penguasa atau raja-raja dipersepsi sebagai dewa-raja (god- kings), pancaran dewa (god-emanations) atau reinkarnasi dewa (god-reincarnations) di mana rakyat menghamba dan melayani mereka sepenuh hati dengan jiwa raga. Karena raja dipercaya oleh rakyatnya sebagai titisan dewa sehingga legitimasi kekuasaan raja sangat kuat. Taat kepada raja dihayati sebagai taat kepada dewa. Maka, berontak kepada raja adalah sesuatu yang tabu atau tidak mungkin. Kepercayaan ini terus berlanjut hingga masuknya pengaruh Islam. Karenanya, mudah diduga, sistem kepercayaan lama ini melempangkan jalan yang mudah bagi Islamisasi. Konversi agama para penguasa lokal memfasilitasi percepatan gelombang masuknya Islam secara kuantitatif. 

Sebagai contoh dalam ejarah Melayu, seperti dikutip oleh Milner, menginformasikan bahwa Sultan Muhammad Syah, Raja Malaka adalah orang pertama yang masuk Islam di Malaka, dan kemudian memerintahkan semua rakyatnya, baik golongan rendah atau golongan elit, untuk masuk Islam.

Di Buton, Halu Oleu atau Timbang-timbangan raja ke-6 Kerajaan Buton masuk Islam pada 1538 dan bergelar ‘ulul amri wa qa’imuddin (pemerintah dan penegak agama). Setelah ia masuk Islam kemudian diikuti serentak oleh rakyatnya. Rol

No comments: