Anak Angkat dalam Islam: Kisah Nabi Muhammad Menikahi Zainab binti Jahsy
Syaikh Yusuf al-Qardhaw i mengatakan persoalan anak angkat di zaman Nabi Muhammad SAW tidak begitu mudah, sebab masalah ini sudah menjadi aturan masyarakat dan berakar dalam kehidupan Bangsa Arab .
"Oleh karena itu dalam kebijaksanaan Allah untuk menghapus dan memusnahkan pengaruh-pengaruh perlembagaan ini tidak cukup dengan omongan saja, bahkan dihapusnya dengan omongan dan sekaligus dengan praktik," tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemahkan H. Mu'ammal Hamidy berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993).
Menurutnya, hikmah kebijaksanaan Allah dalam persoalan ini telah memilih Rasulullah SAW sebagai pelakunya. Hal ini untuk menghilangkan setiap keragu-raguan dan demi menolak setiap keberatan orang mukmin tentang dibolehkannya mengawini bekas istri anak-anak angkatnya. Selain itu, supaya mereka yakin, bahwa apa yang disebut halal, yaitu semua yang dihalalkan Allah; dan apa yang disebut haram, yaitu semua yang diharamkan Allah.
Zaid bin Haritsah yang kita kenal sebagai Zaid bin Muhammad, telah dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy sepupu Nabi sendiri. Akan tetapi kehidupan mereka berdua selalu guncang. Zaid banyak mengadu kepada Nabi tentang keadaan istrinya itu. Nabi sendiri juga mengetahui keinginan Zaid untuk mencerainya.
Akhirnya, dengan wahyu Allah, Zainab akan dikawin oleh Nabi. Akan tetapi kelemahan manusia kadang kala sangat mempengaruhi, maka Nabi takut bertemu dengan orang banyak. Oleh karena itu dia katakan kepada Zaid: "Tahanlah istrimu itu dan takutlah kepada Allah!"
Di sinilah ayat al-Quran kemudian turun untuk menegur sikap Nabi. Dan seketika itu beliau menyingsingkan lengan bajunya untuk tampil ke tengah-tengah masyarakat, guna menghapus sisa-sisa aturan kuno dan tradisi yang sudah usang yang mengharamkan seseorang mengawini bekas istri anak angkatnya yang pada hakikatnya dia adalah orang asing itu. Maka berfirmanlah Allah:
"Dan (ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid bin Haritsah): 'tahanlah untukmu istrimu dan takutlah kepada Allah', dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan, dan engkau takut manusia, padahal Allahlah yang lebih berhak engkau takutinya. Maka tatkala Zaid memutuskan untuk mencerai Zainab, kami (Allah) kawinkan engkau dengan dia, supaya tidak menjadi beban bagi orang-orang mukmin tentang bolehnya mengawini bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan mencerainya, dan keputusan Allah pasti terlaksana." ( QS al-Ahzab : 37)
Kemudian al-Quran meneruskan untuk melindungi pribadi Nabi Muhammad SAW dalam perbuatan ini dan memperkuat perkenannya serta menghilangkan anggapan dosa karena perbuatannya itu. Maka berkatalah al-Quran:
"Tidak boleh ada keberatan atas diri Nabi dalam hal yang telah diwajibkan oleh Allah kepadanya menurut sunnatullah pada orang-orang yang telah lalu sebelumnya, sebab perintah Allah itu suatu ketentuan yang telah ditentukan, (yaitu) orang-orang yang menyampaikan suruhan Allah dan mereka takut kepadaNya, dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah; dan kiranya cukuplah Allah sebagai pengira. Tidaklah Muhammad itu ayah bagi seseorang dari laki-laki kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup bagi sekalian Nabi, dan Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu." ( QS al-Ahzab : 38-40)
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment