Baghdad, Contoh Gemilang Pembangunan Ibu Kota Baru
Baghdad menjadi pusat peradaban Islam pada masa Bani Abbasiyah. Red: Hasanul Rizqa
Kota ini segera menjadi pusat peradaban kosmopolit dan cikal-bakal modernitas. Beberapa institusi pendidikan yang berdiri dalam masa itu adalah Univer sitas Baghdad, Universitas al-Hikmah, dan Universitas al-Muntasyiriyah, demikian Ensiklopedi Islam memaparkan.
Khalifah kedua Dinasti Abbasiyah, Abu Ja'far al-Mansur, sudah memiliki visi pembangunan Baghdad yang pada mulanya hanyalah kawasan periferi. Sebelum memutuskan Baghdad sebagai ibu kota, al-Mansur mengirimkan sejumlah pakar untuk meneliti keadaan geografis dan sosial wilayah tersebut.
Denah awal kota ini berbentuk lingkaran yang dikelilingi tembok selebar 50 hasta dengan tinggi 90 kaki. Di luarnya dijaga dengan parit yang dalam. Ada empat gerbang utama sebagai pintu masuk ke kota-benteng ini.
Khalifah-khalifah Abbasiyah sepeninggal al-Mansur seperti berlomba-lomba memperindah Baghdad. Tidak mengherankan bila pada 800 Masehi, Baghdad menjadi kota unggul tempat peradaban-peradaban global bertemu dan bertukar gagasan.
Jumlah penduduknya dalam masa itu mencapai lebih dari satu juta jiwa. Hal itu menjadikannya kota modern yang mendahului zamannya, bila dibandingkan 'kota-kota' lain di Asia maupun Eropa.
Era keemasan Baghdad berlangsung dalam masa pemerintahan Sultan Harun al-Rasyid (786-809) dan Khalifah al- Ma'mun (813-833). Sang sultan mendirikan pusat peradaban atau perpustakaan Bait al-Hikmah, yang tetap bertahan hingga abad ke-13 Masehi.
Sebelum dihancurkan serbuan balatentara Mongol pada 1258, Bait al-Hikmah merupakan pusat transfer ilmu pengetahuan dari pelbagai penjuru dunia, utamanya Yunani, Suriah, India, dan Persia. Para sarjana yang bekerja dan menggelar aktivitas di sana memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang menjadi dasar sains dan filsafat modern.
Mereka menerjemahkan teks-teks keilmuan dari pelbagai bangsa ke dalam bahasa Arab yang kemudian menjadi rujukan peradaban Barat modern 'menemukan kembali' peradaban Yunani Kuno.
Cakupan keilmuan yang berkembang di Bait al-Hikmah merentang luas, antara lain matematika, kedokteran, kimia, bio logi, kartografi/geografi, astronomi, hingga pemikiran, serta kalam.
Puncak kejayaan Bait al-Hikmah ...
Dalam masa kekuasaan putra Sultan Harun al- Rasyid, Khalifah al-Ma'mun, Bait al-Hikmah kian cemerlang. Lembaga penerjemahan teks-teks asing berubah menjadi perguruan tinggi. Istana khalifah, rumah para terpelajar, masjid, serta perpustakaan di Baghdad menjadi lokasi yang didatangi para sarjana dari pelbagai negeri.
Baghdad menjadi ramai oleh cendekiawan-cendekiawan yang berwawasan global. Bahkan, sang khalifah ikut terlibat langsung dalam aktivitas keilmuan. Para sarjana yang aktif di Bait al-Hikmah mendapatkan dukungan finansial dari istana. Kemajuan semakin nya ta setelah kekhalifahan Islam itu mengadopsi pengetahuan tentang pembuatan kertas dari Cina.
Dengan demikian, karya-karya terjemahan dapat diabadikan, bukan sekadar gulungan daun papirus lagi. Terjemahan ini mencakup karya-karya para pemikir Yunani Kuno, utamanya Aristoteles, Phytagoras, Hippocrates, Plato, Socrates, dan Euclid.
Untuk menyebutkan beberapa nama ilmuwan Muslim yang aktif di Bait al-Hikmah. Di antaranya adalah pakar matematika sekaligus penggagas Aljabar dan algoritma, Ibnu al-Khawarizm. Dia pula yang memperkenalkan konsep angka nol, yang diadopsinya dari sistem bilangan Hindi. Selain itu, ada Bapak Ilmu Optik Modern, Ibnu al-Haytami.
Setelah Baghdad hancur akibat serangan Hulagu Khan pada 1401 dan Timurlenk, Dinasti Khan menguasai kota tersebut hingga satu abad berikutnya. Namun, ada hikmah di balik penyerbuan itu karena menjadi jalan bagi Islamisasi orang-orang Turk.ROl
No comments:
Post a Comment