Benarkah Ibnu Taimiyah Anti-Tasawuf Secara Mutlak?

 Ibnu Taimiyah berdebat dengan Ibnu Athaillah di Mesir. Red: Hasanul Rizqa Sufi  tasawuf (ilustrasi).

Foto: trekearth.com
Sufi tasawuf (ilustrasi).
Inilah kisah tentang iklim keilmuan Islam dalam abad kedelapan Hijriyah. Ketika itu, marak perdebatan tentang tasawuf, terutama yang dikaitkan dengan pemikiran Syekh al-Akbar Muhammad bin Ali alias Ibnu 'Arabi.

Di antara pendukung Ibnu Arabi adalah sang penulis kitab Al-Hikam, Ibnu ‘Atha’illah. Guru besar Universitas al-Azhar itu kerap membela sang sufi kelahiran Andalusia tersebut.

Pemikiran Ibnu ‘Arabi bukan tanpa pertentangan. Salah seorang yang paling terdepan mengkritiknya adalah Ibnu Taimiyah (w 728 Hijriyah).

Sebenarnya, cukup banyak kesamaan antara Ibnu Taimiyah dan Ibnu ‘Atha’illah. Keduanya sama-sama pakar di bidang fikih. Usia keduanya juga terbilang sebaya.

Kitab Ibnu Taimiyah al-Faqih al-Muadzdzab karya Abdurrahman asy-Syarqawi mencatat bagaimana diskusi yang panjang antara Ibnu Taimiyah dan Ibnu ‘Atha’illah.

Judul buku tersebut secara harfiah berarti 'Ibnu Taimiyah, Ahli Fiqih yang Tersiksa.' Dengan demikian, kentara keberpihakan penulis pada Ibnu ‘Atha’illah.

Namun, apakah Ibnu ‘Atha’illah sendiri memandang Ibnu Taimiyah sebagai musuh? Ternyata tidak begitu.

Dirawikan, pada tahun 700 Hijriyah, Ibnu Taimiyah mengadakan lawatan ke Mesir. Begitu resahnya masyarakat Mesir dengan kedatangan alim ini. Bahkan, beberapa perwakilan warga meminta sultan setempat untuk segera mengusir atau memenjarakan ahli ushul fiqh tersebut.

Mengetahui hal ini, Ibnu Taimiyah lebih memilih dipenjara. Namun, belum tiba keputusan final, ia diminta untuk datang ke Kairo.

Setibanya di kota tujuan pada waktu petang, Ibnu Taimiyah melaksanakan shalat maghrib di Masjid Universitas al-Azhar. Tanpa disadarinya, ternyata Ibnu ‘Atha’illah sudah menjadi makmum di belakangnya.

Sesudah itu, terjadilah dialog berikut ini, sebagaimana dikutip dari buku Sepintas Sastra Sufi: Tokoh dan Pemikirannya karya M Fudoli Zaini.

Ibnu ‘Atha’illah (IA) : “Apa yang Anda ketahui tentang diri saya, wahai Syekh Ibnu Taimiyah? Saya heran kepada Anda, wahai faqih. Anda seorang pendukung sunah, hapal dan paham terhadap atsar-atsar, sempurna dalam pemikiran dan pemahaman.

Namun, Anda telah melancarkan ungkapan-ungkapan yang orang-orang terdahulu dan sekarang menolak menggunakannya. Hingga dalam hal ini, Anda telah keluar dari mazhab imam Anda, yaitu Imam Ahmad ibnu Hanbal dan mazhab imam-imam lainnya.”

Ibnu Taimiyah (IT) : “Tujuan orang yang fanatik kepada suatu mazhab agar dengan sendirinya ia bersikap bodoh terhadap ilmu, agama, dan kodrat orang lain. Jadilah ia bersikap zalim. Dan Allah SWT melarang manusia bersikap bodoh dan zalim, serta memerintahkan (kepada) ilmu dan keadilan.”

IA : “Apa belum tiba waktunya bagi Anda wahai faqih untuk mengetahui bahwa istighatsah itu tidak lain adalah wasilah dan syafaat? Dan bahwa Rasulullah SAW itu dimohonkan kepada beliau SAW istighatsah, wasilah, dan syafaat?”

IT : “Dalam hadis sahih dinyatakan, ‘Aku berikan syafaat.’ Dan atsar telah sepakat bahwa ayat, ‘Semoga Tuhanmu akan memberimu kedudukan terpuji.’ Yang dimaksud dengan 'kedudukan terpuji' tak lain adalah syafaat. Adapun istighatsah di situ ada syubhat syirik kepada Allah. Oleh karenanya, dilarang. (Pelarangan itu) untuk mencegah perbuatan yang tidak dikehendaki.”

IA : “Semoga Allah memperbaiki Anda, wahai faqih. Adapun pemahaman Anda bahwa istighatsah adalah permintaan tolong kepada selain Allah dan itu syirik.

Siapa di antara kaum Muslim yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang mengira bahwa selain Allah bisa melaksanakan qadha dan qadar, memberi pahala dan siksa?

Setiap orang yang istighatsah kepada Rasul SAW tidak lain adalah meminta syafaat kepada beliau di sisi Allah SWT.

Sebagaimana misalnya, Anda berkata, ‘Makanan ini telah mengenyangkan saya.’ Apakah makanan itu yang mengenyangkan Anda ataukah Allah yang telah mengenyangkan Anda dengan makanan tersebut?

Adapun pengharaman Anda atas istighatsah karena ia (dinilai Ibnu Taimiyah--Red) menuju pada syirik, bagaikan Anda mengharamkan buah anggur karena ia menuju pada khamr. Atau, bagaikan pengebirian kaum laki-laki yang tidak menikah karena hal itu bisa menuju pada zina.”

Spontan, baik Ibnu ‘Atha’illah maupun Ibnu Taimiyah tertawa bersama-sama. Lantas, Ibnu ‘Atha’illah melanjutkan kata-katanya.

IA : “Saya tahu, betapa luas pandangan syekh Anda, Imam Ahmad, dan betapa luas pula cakupan pandangan fiqih Anda.

(Namun) mengambil makna lahir saja kadang-kadang isa menjerumuskan kita pada kekeliruan, wahai faqih. Antara lain pendapat Anda tentang Ibn ‘Arabi. Ia seorang imam agama yang wara’. Anda memahami tulisan-tulisannya secara lahiriah saja.

Sedangkan, para sufi mengatakan sesuatu sering dengan isyarat dan celotehan ruhani. Kata-kata mereka sering dimaksudkan tersirat.

Maka, orang seperti Anda yang pintar, cerdas, dan mengetahui baik ilmu bahasa, hendaknya mencari makna yang tersembunyi di balik kata-kata yang tersurat.

Lagipula, vonis Anda terhadap Ibn ‘Arabi didasarkan pada teks yang sengaja diselipkan oleh para musuhnya.

Pernahkah Anda membaca pernyataan Ibn ‘Arabi, ‘Barangsiapa membangun imannya dengan argumen-argumen dan dalil-dalil, maka imannya tidak bisa dipercaya.

Ia bisa terpengaruh oleh bantahan-bantahan orang. Keyakinan itu tidak bisa tumbuh dari dalil-dalil rasional, melainkan ditimba dari kedalaman kalbu.’”

IT : “Demi Allah, Anda telah berbuat yang terbaik. Kalau sahabat Anda (Ibn ‘Arabi –Red) seperti yang Anda katakan, maka dialah orang yang paling jauh dari kekafiran.”

Dari percakapan ini, menurut M Fudoli Zaini, terbaca bahwa sebenarnya sosok Ibnu Taimiyah tidak apriori anti-tasawuf. Buktinya, ia menghargai para sufi, semisal Ibnu ‘Atha’illah.

Karenanya, betapa ironis bila ada kalangan anti-tasawuf yang justru mendaku bersandar pada pandangan Ibnu Taimiyah. Dari sisi lain, Ibnu ‘Atha’illah tidak berusaha memosisikan tasawuf lebih benar.Rol

No comments: