Keteguhan Abu Hanifah di Hadapan Godaan Harta

Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang teguh pendirian. Rep: Muhyiddin/ Red: Erdy Nasrul Harta (ilustrasi)
Foto: dok wiki
Harta (ilustrasi)
Abu Hanifah, seorang imam besar dalam mazhab fikih, dikenal tidak hanya karena keluasan ilmunya, tetapi juga karena keteguhan dan integritasnya, terutama ketika berhadapan dengan godaan harta. Salah satu kisah yang sering diceritakan adalah bagaimana ia menolak jabatan dan kekayaan yang ditawarkan oleh penguasa saat itu, demi menjaga kemurnian ilmunya dan integritas pribadinya.

Pada masa kekhalifahan Bani Umayyah dan awal Abbasiyah, Abu Hanifah beberapa kali ditawari jabatan tinggi sebagai hakim (qadhi) oleh khalifah. Namun, ia menolak dengan tegas, meski tawaran tersebut disertai dengan janji kekayaan yang besar. Alasan Abu Hanifah menolak jabatan ini adalah karena ia khawatir jabatan tersebut akan mengurangi kebebasannya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan. Ia tidak ingin terikat oleh kepentingan politik atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi fatwa-fatwanya.

Sikap ini tidak hanya terlihat dalam penolakannya terhadap jabatan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Abu Hanifah adalah seorang pedagang kain yang sukses, namun ia selalu berhati-hati dalam menjalankan bisnisnya agar terhindar dari riba atau transaksi yang tidak adil. Ketika beliau mendapati suatu transaksi yang dianggap tidak jujur, ia lebih memilih menanggung kerugian daripada mengambil keuntungan dengan cara yang tidak halal.

Keteguhan Abu Hanifah dalam menjaga integritasnya di hadapan godaan harta menunjukkan betapa tingginya komitmen beliau terhadap prinsip-prinsip keislaman. Ia lebih memilih hidup sederhana dan mandiri daripada mendapatkan kekayaan atau jabatan yang bisa mengorbankan kebenaran dan keadilan yang diyakininya.

Dalam buku Oase Iman karya Abdul Hamid Al-Bilali dijelakan, Imam Abu Hanifah adalah salah satu dari mereka yang menang atas hawa nafsunya dan tidak ada kekasih selain Allah yang masuk ke dalam hatinta. Selain itu, beliau juga menolak untuk bersikap hina dan merendah kepada selain Allah SWT.

Diceriratakan, pada suatu waktu Khalifah Al-Mansur memerintahkan Al-Hasan bin Quhthubah untuk memberikan sepuluh ribu Dirham kepada Abu Hanifah. Ketika mengetahui bahwa dirinya akan mendapat kiriman tersebut, Abu Hanifah tidak berkata-kata kepada siapapun, seakan-akan sedang pingsan.

maka datanglah utusan Al-Hasan bin Quhthubah membawa uang tersebut menemui Abu Hanifah, namun orang-orang yang ada di sana mengatakan bahwa hari itu Abu Hanifah tidak berbicara sepatah katapun. Kemudian utusan tersebut meletakkan uang di tempat sholat Abu Hanifah di pojok ruangan dan berpamitan pergi. Uang di dalam kantong tersebut tetap berada di tempatnya.

Ketika Abu Hanifah wafat, putranya yang bernama Hamad sedang tidak ada di tempat. Setelah pulang ia membawa kantong tersebut menemui Al-Hasan bin Quhthubah dan berkata:

“Aku menemukan wasiat ayahku yang berisi: 'Jika aku selesai dimakamkan, ambillah kantong yang ada di pojok rumah dan berikan kepada Al-Hasan bin Quhthubah, katakan kepadanya: Inilah harta yang Anda titipkan kepada kami' "

"Inilah mereka, para laki-laki kesatria yang memahami hakikat harta, dan mereka memperlakukan harta dengan pemahaman ini," jelas Abdul Hamid Al-Bilali.Rol

No comments: