Kisah Pemuda Batal Mencuri, Jadi Suami Janda Kaya
Sang ulama tinggal di sebuah rumah kecil yang bersisian dengan Masjid Jami' at-Taubah, yang juga menjadi tempatnya mengajar. Majelis ilmunya diikuti banyak jamaah dari dalam maupun luar Kota Damaskus.
Pada suatu ketika, seorang pemuda mendatangi masjid ini. Bukan hanya untuk mengaji, ia juga ingin menjadi pembantu Syekh Salim.
"Wahai pemuda," kata sang syekh yang menemui lelaki muda tersebut usai majelis bubar, "engkau boleh tinggal bersamaku. Namun, ketahuilah satu hal."
"Baik, ya Syekh."
"Kami di sini hanya memakan apa-apa yang Allah karuniakan," jelasnya singkat.
Akhirnya, si pemuda tinggal bersama keluarga Syekh Salim. Tiap malam, ia tidur di pelataran masjid. Tiap hari sejak menjelang subuh, ia sudah menyiapkan segala hal untuk pelaksanaan shalat berjamaah dan majelis yang akan dipimpin ulama tersebut.
Tiga bulan lamanya pemuda itu bersama Syekh Salim. Akhirnya ia menyadari makna kalimat yang pernah disampaikan sang mubaligh di awal-awal perjumpaan.
Syekh Salim dan keluarganya hidup penuh kezuhudan. Bila ada rezeki, mereka bisa makan rutin dua atau tiga kali dalam sehari. Bila sedang kekurangan makanan, mereka berpuasa. Pemuda itu pun mengikuti irama kehidupan sang tuan rumah.
Bagaimanapun, kali ini agak berbeda. Sudah tiga hari berturut-turut syekh berpuasa. Mungkin karena sudah kebiasaan, tubuh syekh tersebut tidak terlalu kelaparan. Namun, pemuda tadi tidak kuat. Dia sangat lapar.
Sampai tengah malam itu, pemuda tersebut tidak bisa tidur. Perutnya sungguh-sungguh didera kelaparan.
Tebersitlah keinginan untuk mencuri makanan di rumah warga sekitar masjid. Ini sesungguhnya mudah dilakukan. Sebab, umumnya tembok rumah-rumah penduduk Damaskus berimpitan sehingga dapat dipanjat.
Si pemuda memulai aksinya. Dalam kegelapan malam, ia memanjat dinding dan bergerak ke atap rumah warga.
Dari celah atap, pemuda itu mengintip, tetapi seketika dirinya memalingkan wajah. Sebab, tampak sejumlah perempuan muda sedang berbaring di dalam kamar rumah itu. Ia segera pergi dari sana karena tujuannya adalah mencuri makanan, bukan yang lain-lain.
Pemuda ini terus merangkak ke atap rumah berikutnya. Dia mencium aroma makanan. Diintipnya dapur rumah itu. Tampak sepanci sop terung yang baru saja dimasak.
Pelan-pelan, pemuda ini meluncur turun dari atap, lalu masuk ke dalam dapur. Di tengah kegelapan, dia membuka tutup panci, kemudian mengambil terung dari dalamnya.
Saat sedang mengunyah, hampir saja dia menelan terung itu. Tiba-tiba, dirinya dikecam rasa takut kepada Allah.
"Ya Allah! Setan telah berhasil menggodaku tiga hal. Pertama, dia menyuruhku mencuri; lalu membuatku melihat perempuan yang bukan mahram, dan akhirnya memasuki rumah orang tanpa izin."
Seketika, pemuda ini memuntahkan terung tadi. Dia lantas mengendap-endap keluar dari dapur itu.
Sesampainya di masjid, hari sudah masuk waktu sahur. Dia pun membersihkan ruang shalat seperti biasa, masih dengan perut yang sakit menahan lapar.
Usai mengimami shalat subuh, Syekh Salim menerima tamu, yakni seorang perempuan yang bercadar dan dua orang pendampingnya. Melihat pemandangan itu, si pemuda tidak begitu peduli. Ia hanya terduduk lemas dan bersandar pada dinding, cukup jauh dari mereka.
Tiba-tiba, Syekh Salim memanggilnya, "Wahai, pemuda. Kemarilah."
Pemuda ini pun datang.
"Apakah kamu sudah menikah?" tanya ulama itu lagi.
"Belum, wahai syekh," jawab pemuda tersebut, masih dengan wajah sayu.
"Apakah kamu mau menikah?" tanya gurunya itu.
Si pemuda tidak menjawab sepatah kata pun. Pertanyaan itu pun diulangi sang syekh tiga kali berturut-turut.
"Wahai, syekh," kata pemuda ini, "saya datang kepadamu sebagai orang yang tidak punya apa-apa. Saya hidup bersama keluargamu. Apa yang engkau makan, itulah yang kumakan. Jika engkau berpuasa, saya pun puasa. Tapi akhir-akhir ini saya benar-benar tak berdaya. Perut saya saja merintih karena menahan lapar. Lantas, bagaimana mungkin saya menikah? Dengan apa saya nafkahi keluarga saya nanti?"
"Wahai pemuda. Perempuan yang datang kepada saya ini adalah janda. Dia baru saja menyelesaikan masa iddah. Dia takut akan fitnah, sehingga meminta saya untuk menikahkannya dengan seorang pria," kata sang syekh.
"Kamu tidak perlu khawatir. Perempuan ini memiliki rumah dan hidup berkecukupan," sambung ulama tersebut.
Syekh kemudian meminta persetujuan dari perempuan tadi, yang lantas menyanggupi tawarannya. Pemuda itu menuruti saja.
Maka sang syekh memanggil beberapa orang warga sekitar masjid untuk menjadi saksi. Dia juga mengambil satu buah kendi sebagai mas kawin pemuda tadi untuk sang janda.
Akhirnya, menikahlah mereka. Setelah selesai ijab kabul, syekh pun menyuruh pemuda tadi pergi.
"Pergilah ke rumah istrimu," ucap syekh sembari memberi selamat dan mendoakan kebaikan.
Pasangan itu pun berjalan keluar masjid. Di jalan, si pemuda melewati rumah yang tadinya hampir disatroni, tetapi batal karena berisi gadis-gadis muda. Kini, ia mendekat ke rumah yang tadi dimasukinya karena tergoda aroma sop terung.
"Silakan masuk," kata wanita yang baru saja dinikahinya itu dengan lembut.
Pemuda itu terkejut. Inilah rumah yang tadi dimasukinya tanpa izin.
"Suamiku, tadi kudengar engkau belum makan. Duduklah di sini. Aku sudah memasak sup terung di dapur," kata sang istri.
Si pemuda diam saja.
Tak lama, terdengar suara istrinya berteriak. Wanita ini terkejut karena mendapati betapa berantakan keadaan dapurnya kini.
Dengan tenang, pemuda ini memanggilnya itu, "Kemarilah, wahai istriku."
Ia pun menceritakan kronologi sesungguhnya.
"Wahai suamiku. Engkau telah meninggalkan perbuatan buruk karena sup ini bukan milikmu. Tapi kini Allah telah menggantinya dengan yang lebih baik. Bukan hanya sup ini, tetapi juga seluruh rumah ini, dan aku sendiri--sekarang menjadi milikmu," kata perempuan tersebut.Rol
No comments:
Post a Comment