Kisah Pendeta Buhaira, Takjub Melihat Tanda Kenabian

Sang pendeta berpesan kepada Abu Thalib agar selalu menjaga keponakannya ini. Red: Hasanul Rizqa Ilustrasi Rasulullah
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Rasulullah
Sebuah biara berdiri di pinggir jalan utama yang menuju pusat Negeri Syam (Suriah). Di dalamnya, seorang kepala biara tinggal.Orang-orang menyebutnya sebagai Buhaira. Dalam bahasa setempat, buhaira berarti 'lautan luas' atau 'yang terpilih.' Gelar itu menandakan, besarnya penghormatan masyarakat setempat pada sang rahib.

Seperti disebut dalam Ensiklopedi Islam, nama tokoh Kristen ini adalah Gergeus. Sehari-hari, dirinya mendaras Injil dan Taurat, serta mengajarkan isi kitab itu dan ilmu-ilmu falak kepada para muridnya.

Aliran Kristen yang ia ikuti adalah Nestorian atau Nastur. Sekte ini tidak menerima doktrin ketuhanan Nabi Isa AS atau Yesus. Bahkan, pantang baginya menyebut Yesus sebagai Tuhan atau "anak Tuhan."

Buhaira Gergeus memiliki seorang murid nan setia bernama Mudzhib. Di kemudian hari, Mudzhib menjadi guru bagi Salman al-Farisi, sebelum sahabat Nabi ini masuk Islam.

Biara Buhaira Gergeus berlokasi di pinggir jalan utama menuju ke Syam dan selalu tinggal di dalamnya. Dia tinggal di sana, khususnya pada musim lewat para pelancong dan kafilah dagang.

Pada siang hari itu, Buhaira Gergeus sedang berdiri di depan biaranya. Ia amat menanti-nantikan momen kini. Banyak kafilah dagang dari Jazirah Arab yang berdatangan ke Syam. Dan, di antara mereka selalu ada yang berasal dari Makkah.

Bagi Buhaira, kedatangan kafilah-kafilah Makkah itu sangat diharapkan. Bukan lantaran barang-barang komoditas yang mereka bawa, melainkan siapa yang akan bersama mereka.

Sesuai dengan pembacaannya atas kitab-kitab suci, Buhaira percaya bahwa sang nabi Allah akhir zaman (khatam al-anbiya wal mursalin) lahir pada masa ini. Dan, sosok istimewa itu berasal dari Tanah Arab.

Kemudian, tampaklah rombongan kafilah Quraisy yang berasal dari Makkah. Mereka sedang bergerak menuju jalan di depan biara milik pendeta Buhaira.

Buhaira takjub menyaksikan rombongan tersebut dari kejauhan. Sebab, pohon-pohon dan batu-batu di pinggir jalan tampak menunduk begitu dilewati oleh mereka. Gumpalan awan juga selalu menaungi dan melindungi kafilah ini dari terik sinar matahari.

Buhaira semakin terkesima saat melihat adanya seorang anak laki-laki di antara rombongan tersebut. Sang rahib pun berinisiatif untuk menghampiri kafilah ini, yang sedang beristirahat tak jauh dari gerejanya.

"Salam sejahtera untuk kalian, apakah kalian berasal dari Makkah?" kata Buhaira menyapa rombongan ini.

"Benar, wahai Tuan," jawab Abu Thalib, seorang tokoh Quraisy dalam kafilah ini.

Meskipun sedang berbicara dengan mereka, pandangan mata Buhaira tak lepas dari sosok anak kecil yang duduk di samping Abu Thalib. Seakan-akan tidak sabar lagi, ia segera memegang tangan anak itu.

"Ini adalah pemuka alam. Ini adalah utusan Allah, Tuhan semesta alam. Dia ini diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam," katanya.

Sontak para pemuka Quraisy terkejut. "Anda siapa, dan mengapa berkata begitu?" tanya Abu Thalib.

Rahib itu menjawab, “Ketika kalian beranjak dari satu lembah, pohon dan batu di sekitar kalian membungkuk dan bersujud. Mereka tidak sujud kecuali kepada nabi."

"Perkenalkan, saya Buhaira," lanjutnya lagi. "Saya tinggal di biara yang dekat dari sini. Alangkah senangnya saya bila Tuan-tuan bersedia saya jamu di biara saya."

Maka, para tokoh Quraisy mengikuti sang pendeta. Abu Thalib pun turut serta, tetapi menyuruh anak lelaki yang berada dalam pengawasannya itu agar tetap di tempat, untuk menjaga barang-barang mereka.

Saat para tamu itu sedang menikmati makanan di dalam biara, diam-diam Buhaira keluar dan melihat ke arah anak itu. Tampak jelas bahwa gumpalan awan menaungi si anak lelaki.

"Mengapa anak itu tidak disuruh masuk ke dalam biara ini?" tanyanya pada Abu Thalib.

"Ia saya tugaskan menjaga barang-barang."

"Silakan ia masuk. Biarlah seorang murid saya yang menjaga barang Tuan-tuan semua," kata Buhaira.

Maka anak itu pun ikut masuk ke dalam biara. Buhaira menyaksikan, awan terus mengikuti ke mana ia melangkah. Dan kini, awan itu terhenti di atas biara.

Buhaira bertanya kepaa Abu Thalib, “Maaf, Tuan, apakah hubunganmu dengan anak ini? Apakah dia adalah putramu?”

“Oh, bukan. Dia keponakanku. Namanya, Muhammad,” jawab sang tamu.

“Saya sudah menduganya. Apakah ayahnya wafat terlebih dahulu saat ia masih dalam kandungan?”

“Benar,” jawab Abu Thalib.

"Bolehkah saya melihat pada punggung anak ini?" pinta Buhaira.

Setelah diizinkan, maka pendeta ini meminta anak itu agar menyingkapkan punggungnya. Buhaira langsung memuji Allah saat melihat adanya tanda cap pada bagian tubuh itu.

“Ketahuilah," katanya kepada Abu Thalib, "saya adalah seorang pendeta yang telah mempelajari kitab-kitab Taurat dan Injil. Sekarang, segera bawa pulang anak ini kembali ke negerimu dan jagalah dia dari orang-orang Yahudi. Demi Allah, jika mereka melihatnya di sini, mereka pasti berbuat jahat kepadanya. Ketahuilah, keponakanmu ini kelak akan memegang urusan yang sangat besar.”

Mengikuti arahan sang pendeta, Abu Thalib mempersingkat kunjungannya di Syam. Ia juga berjanji pada dirinya sendiri, akan menjaga Muhammad dari segala ancaman bahaya.Rol

No comments: