Larangan Riba: Muncul Keraguan karena Wahyu yang Terakhir Turun
Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah riba , tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya. Akan tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktik transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktik-praktik tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram , ataukah tidak sama.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996) menjelaskan perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktik-praktik transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi.
Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul SAW beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai Umar bin Khattab ra sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini.
Beliau berkata: "Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu."
Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan 'Umar ra, "meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal".
Praktik Yahudi
Sejarah menjelaskan bahwa Tha'if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah , merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antarsuku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha'if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktik-praktik riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktik tersebut.
Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106 .
Di sana pun mereka telah mengenal praktik-praktik riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti ' Abbas bin 'Abdul Muthalib (paman Nabi SAW), Khalid bin Walid , dan lain-lain, mempraktikkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut.
Terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktik riba yang mereka anggap sama dengan jual beli ( QS 2 :275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan.
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment