Nabi Muhammad dalam Al-Qur'an: Ketika Wahyu yang Dinantikan Tak Kunjung Turun
Pada usia 40 tahun, yang disebut oleh Al-Quran surat Al-Ahqaf ayat 15 sebagai usia kesempurnaan, Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi. Ditandai dengan turunnya wahyu pertama Iqra' bismi Rabbik.
Dalam bukunya berjudul"Wawasan Al-Quran,Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat", Prof Dr Quraish Shihab menjelaskansebelumnya Nabi Muhammad SAW tidak pernah menduga akan mendapat tugas dan kedudukan yang demikian terhormat. Karena itu ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang menguraikan sikap beliau terhadap wahyu dan memberi kesan bahwa pada mulanya beliau sendiri "ragu" dan gelisah mengenai hal yang dialaminya. QS Yunus (10) : 94 mengisyaratkan bahwa,
"Kalau engkau ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca Kitab Suci sebelum kamu" ( QS Yunus [10] : 94).
Kegelisahan itu bertambah besar pada saat wahyu yang beliau nanti-nantikan tidak kunjung datang, hingga menurut beberapa riwayat beliau sedemikian gelisah, sampai-sampai konon beliau hampir saja mencelakakan dirinya. Rupanya Allah SWT bermaksud menjadikan beliau lebih merindukan lagi "sang kekasih dan firman-firman-Nya" agar semakin mantap cinta beliau kepada-Nya.
Surat Adh-Dhuha menyatakan sekelumit hal itu, sekaligus sekilas kedudukan beliau di sisi Allah. Surat ini turun berkenaan dengan kegelisahan Nabi Muhammad SAW karena ketidakhadiran Malaikat Jibril membawa wahyu setelah sekian kali sebelumnya datang.
"Demi adh-dhuha, dan malam ketika hening. Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak pula membenci-(mu dan siapa pun).
Mengapa adh-dhuha -yakni "matahari ketika naik sepenggalah"-yang dipilih berkaitan dengan wahyu-wahyu yang diterima oleh Nabi SAW, atau apakah adh-dhuha ada kaitannya dengan ketidakhadiran wahyu-wahyu Ilahi?
Ketika matahari naik sepenggalah, cahayanya memancar menerangi seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik, sehingga tidak menyebabkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan.
Di sini Allah SWTmelambangkan kehadiran wahyu selama ini sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian jelas, menyegarkan, dan menyenangkan. Sedangkan ketidakhadiran wahyu dinyatakan dengan kalimat, "Demi malam ketika hening."
Dari kedua hal yang bertolak belakang itu, Allah menafikan dugaan atau tanggapan yang menyatakan bahwa Muhammad SAW telah ditinggalkan oleh Tuhannya, atau bahkan Tuhan telah membencinya. Kehadiran malam tidak menjadikan seseorang boleh berkata bahwa matahari tidak akan terbit lagi, karena kenyataan sehari-hari membuktikan kekeliruan ucapan seperti itu.
Nah, ketidakhadiran wahyu beberapa saat tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa wahyu tidak akan hadir lagi atau Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya.
Ketidakhadiran antara lain menjadi isyarat kepada Nabi Muhammad SAW untuk beristirahat, karena "malam" dijadikan Tuhan sebagai waktu "beristirahat."
Dapat juga dikatakan bahwa ketidakhadiran wahyu justru pada saat Nabi Muhammad menanti-nantikannya, membuktikan bahwa wahyu adalah wewenang Tuhan sendiri. Walaupun keinginan Nabi SAW meluap-luap menantikan kehadirannya, namun jika Tuhan tidak menghendaki, wahyu tidak akan datang. Ini membuktikan bahwa wahyu bukan merupakan hasil renungan atau bisikan jiwa.
Kenabian Muhammad SAW bukan merupakan hal yang baru bagi umat manusia. Nabi Muhammad secara tegas diperintahkan untuk menyatakan hal itu, "Katakanlah, 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. Aku tidak mengetahui yang diperbuat terhadapku, tidak juga terhadapmu. Aku tidak lain hanya mengikuti yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.'" ( QS Al-Ahqaf [46] : 9)
(mhy)
Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment